"When my hair's all but gone and my memory fades.
And the crowds don't remember my name.
When my hands don't play the strings the same way.
I know you will still love me the same."
°°°
Tifa memperhatikan dengan seksama raut Dhiyo tatkala mereka tiba di tempat yang dia maksud. Dia ingin tahu bagaimana reaksi lelaki itu. Kemudian dia dapati wajah Dhiyo dengan senyum cerah berpaling menghadap padanya.
"Kamu sering ke sini?"
Mereka berada di warung lamongan yang nampak sederhana. Meski begitu, tempat tersebut cukup ramai dipenuhi pembeli.
Tifa ragu untuk mengangguk. "Nggak sering, mungkin beberapa kali sih. Ehm, makan di sini nggak apa-apa, kan?"
Dhiyo tertawa kecil hingga kedua pipinya terangkat. Membuat sepasang matanya tenggelam, nyaris tak terlihat. Tifa pikir itu cukup menggemaskan. "Ini mah tempat langgananku dulu sama temen-temen waktu masih kuliah. Santai aja, aku apa aja doyan kok. Mau duduk atau lesehan?"
"Kayaknya yang lesehan full," ujar Tifa sehabis mengamati keadaan yang tak bisa dikatakan amat lengang. Beruntung masih ada beberapa meja dengan kursi tak berpenghuni. "Mending duduk aja deh."
"Oke, terserah kamu mau di mana." Dhiyo menyilakan perempuan itu untuk memilih. Dia lalu berjalan mengekor pada sosok yang lebih kecil sembari mengamati punggung sempit di hadapannya. Masih panjangan rambut Icha ketimbang punya nih cewek deh kayaknya.
Tifa berhenti begitu sampai di meja kosong nomor dua dari pojok. Posisinya tepat di samping tembok. Ketika perempuan itu akan bersuara, Dhiyo sudah mendahuluinya.
"Aku penyetan aja, lauk paha ayam sama tempe. Minumnya es jeruk."
"O-oke. Kalau gitu aku pesenin dulu."
Masih dengan mencangklong tas kecilnya, Tifa kemudian berpaling menuju ke bagian pemesanan. Diambilnya secarik kertas dan pena yang sudah tersedia, lalu perempuan itu menulis apa saja yang hendak mereka makan.
"Ini ya Mbak," ucap Tifa sambil menyerahkan kertas pesanan.
Perempuan itu mengedarkan pandangan sebelum kembali ke mejanya. Dia melangkah usai menangkap penampakan punggung Dhiyo. Tifa ingat lelaki itu mengenakan kaos putih berkerah hitam. Potongan rambutnya yang cepak juga masih dia kenali meski dari belakang.
Namun, alisnya menyatu tatkala dia mendapati ada sosok lain tengah singgah di bangkunya. Di sana ada seorang perempuan berambut panjang. Kemeja dan celananya juga panjang, membuat orang itu terkesan elegan. Juga, sepatu berhaknya. Berbeda jauh dengan Tifa yang hanya mengenakan kaos oblong dan sepatu kets.
Lah, kok malah banding-bandingin diri sendiri sama orang lain, sih?
Tifa memelankan langkah. Dia bingung. Haruskah dirinya langsung duduk di samping perempuan itu atau tidak. Dia takut mengganggu. Pasalnya Dhiyo dan perempuan tersebut terlihat tengah asyik berbincang.
Akhirnya, Tifa memilih duduk di meja sebelah yang kebetulan kosong dengan posisi membelakangi Dhiyo.
"... kesibukan masih sama, ngurusin bisnis kecil-kecilan kayak waktu kuliah. Lumayan sekarang bisa buka cabang."
"Itu namanya bukan bisnis kecil lagi." Dhiyo terkekeh.
Perempuan itu turut tertawa. "By the way, ke sini sendirian aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
RomanceTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...