18 | Malam yang Panjang Tanpa Kopi

246 54 21
                                    

"Itu siapa, Rat?" tanya Tante Maya sambil menghapus air mata, begitu Mama datang menghampirinya.

Mama menatap Dimas sejenak, lalu kembali pada Tante Maya dan menjawab santai, "Calonnya Fara."

Aku melirik Dimas yang menggaruk pipinya dengan salah tingkah, lalu kepada Tante Maya yang mengerutkan dahi.

"Serius? Kayanya masih muda gitu." Perkataan Tante Maya yang selalu jarang disaring memang sering membuatku kesal. Aku melirik Dimas lagi, tetapi sepertinya lelaki itu biasa saja, tak masalah dengan perkataan Tante Maya.

"Emang lebih muda, kok. Dia temen sekelas Juwi di S-2 Hukum ini, pas S-1 kakak tingkat setahun di atas Juwi."

Jawaban Mama makin membuat Tante Maya mengerutkan dahi. "Kamu enggak lagi bercanda kan, Rat? Masa anak seusia Juwi mau kamu izinin nikah sama Fara?"

"Emang salah ya, Tante?" Aku tak tahan lagi dan langsung menyahut.

Tante Maya menatapku sejenak, lalu menghela napas. "Ya, enggak salah. Tapi, enggak cocok juga."

"Oh, ya? Dari mana? Dari status? Umur yang jauh lebih muda? Atau dari mana lagi yang menurut Tante enggak cocok itu?" Aku makin tersulut emosi.

Mama menatapku, menggeleng untuk melarangku meneruskan argumen dengan Tante Maya. Tante Maya tersenyum kecut, lalu membuang muka sambil bergumam kesal, "Emang sekali enggak punya sopan santun, ya bakal kaya gitu--"

"Tapi, kamu yang mulai duluan, May!"

Aku dan Tante Maya sama-sama kaget saat Mama mengeluarkan pernyataan tersebut. Mama menyilangkan lengan di dada, menatap Tante Maya dan aku bergantian.

"Fara yang emang enggak sopan padamu, aku minta maaf sebagai ibunya enggak maksimal mendidiknya waktu kecil dan di masa pertumbuhan dia dulu. Aku dan Mas Hendri yang egois emang yang paling salah di sini. Tapi, perlakuan kamu juga enggak pernah ramah sama anakku, May. Aku kadang bertanya pada diriku sendiri, kalau emang Fara salah karena lahir dari rahimku, apa dia harus terus nerima perlakuan dari keluarga Mas Hendri yang enggak nyaman kaya ini?"

Tante Maya terlihat seperti tak mampu berkata-kata. Mama selama ini selalu berusaha menahan diri untuk tak banyak berkomentar jika berhadapan dengan keluarga Papa. Alasannya agar tidak berimbas padaku nantinya. Jadi, Mama rela menekan ego dan emosinya agar aku tetap dihargai di keluarga Papa. Namun, nyatanya ....

Mama lalu mendengkus dan duduk di kursi tunggu. "Udahlah, aku enggak mau debat pas kondisi Mas Hendri kritis kaya gini. Kasihan Tasha juga, pasti dia butuh support kita buat bisa  kuat nemenin Mas Hendri."

Tante Maya masih menatap Mama dengan wajah tegang. Mulutnya seperti terkunci rapat. Aku dalam hati juga kaget, Mama benar-benar sudah tak tahan rupanya. Persis seperti kejadian beberapa bulan lalu, saat Tante Mela menyindirku bahwa tak akan ada lelaki lajang mau denganku. Mama mengatakan kalau Tante Mela sangat keterlaluan karena tah memperlakukanku seperti barang bekas.

Tante Maya akhirnya duduk di sebelah Mama dan berkata pelan, "Maaf, Rat. Aku cuman--"

"Udah, udah." Mama menepuk pelan pundak Tante Maya, lalu tersenyum. "Kita fokus sama kondisi Mas Hendri aja."

Mama lalu menatapku dan Dimas bergantian. "Kalau kalian mau cari udara segar atau minuman hangat, pergi ke kafetaria aja. Ntar Mama panggil kalau ada apa-apa."

Aku melirik Dimas yang sudah menatapku, lalu mengangguk pada Mama. Saat akan pergi, Tante Maya tiba-tiba memanggil. "Kamu enggak pengen kenalin calonmu ke Tante, a, Far?"

Pertanyaan Tante Maya sangat bertolak belakang dengan ekspresi wajahnya yang masih terlihat merendahkanku. Aku mendengkus kesal, lalu menarik lengan Dimas sambil menjawab, "Kapan-kapan aja, aku lagi nggak mood ngobrol banyak sama Tante."

Kau dan Kopi di Senja Hari [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang