22. Ragu

295 23 0
                                    

Hope you like it
and
Happy reading~

----oOo----

Garda membuka pintu putih yang berada tepat di samping kiri kamarnya. Itu adalah ruangan pribadi yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam sana. Hanya dia dan Bimo, asisten pribadinya, yang bisa masuk. Akses untuk membuka pintu itu juga tidak ecek-ecek. Yaitu menggunakan face id.

Klik

Pintu itu terbuka, menampilkan betapa gelapnya ruangan itu. Hingga ketika Garda menekan tombol di sisi dinding ruangan, terpampang jelas isi ruangan serba putih-abu itu.

"Masuk!" suruh cowok itu pada gadis yang sejak tadi mengekorinya. Gadis itu tampak celingak-celinguk saat masuk ke dalam ruangan.

"Garda lo punya museum?" celetuk Aerin dengan mata berbinar. Menatap puluhan pigura dengan kanvas bertorehkan lukisan indah yang terpajang di dinding ruangan itu. "keren banget ..."

Garda berjalan ke sisi kanan ruangan. Mengambil sebuah meja lipat lesehan, menaruhnya di atas karpet. Cowok itu juga mengambil tas miliknya dan juga Aerin yang tadi disimpannya.

"Gar, beli di mana lukisan ini?" Aerin menunjuk salah satu lukisan alun-alun Kota Blitar yang begitu indah di siang hari.

"Bikin sendiri," jawab Garda yang menata beberapa buku paket yang akan mereka pelajari.

Aerin menganga tidak percaya. "Lo yang lukis semua ini? Seriusan?" Binar mata Aerin semakin jelas kala Garda mengangguk. Gadis itu berlari menghampiri Garda kemudian menepuk pucuk kepala cowok itu meskipun harus berjinjit. "proud of you," ucap gadis itu dengan senyuman merekah.

Garda menarik ujung bibirnya sedikit. Sedikit sekali sampai-sampai kalian tidak akan menyangka jika cowok itu tersenyum.

"Kenapa lo nggak ikut lomba melukis yang diselenggarain sama sekolah minggu lalu? Kan lo bisa nuangin bakat lo."

Garda menghela napasnya, menatap karya-karyanya yang telah ia sembunyikan dari orang lain selama ini. "Waktu gue SD, gue pernah bilang ke nyokap, kalo gue pengen les melukis. Tapi nyokap bilang, lukisan cuma bakal dijadiin pajangan dan nggak berguna buat masa depan. Dari situlah gue nggak mau nunjukin kemampuan gue ke orang-orang."

"Terus kenapa lo nunjukin ke gue? Gue spesial ya?" Aerin menumpukan dagunya pada tangannya. Mengerling pada cowok di depannya tak lupa senyuman manis yang tercetak di bibirnya.

Garda mendengus. Cowok itu mendorong kening Aerin dengan jari telunjuknya. "Pede amat lo!"

"Yeuhhh, terus kenapa dong lo nunjukin ke gue?" tuntut Aerin meminta jawaban. Namun yang didapatnya hanyalah gedikkan bahu.

"Alahh pasti karena gue spesial, kan? Ngaku aja deh! Jangan-jangan lo mulai naksir sama gue ya? Aduh Garda! Jangan naksir sama gue, gue--" Garda membekap mulut Aerin agar gadis itu tidak mengoceh lagi. Apa-apaan! Naksir?

"Mulai bimbelnya!" ujar cowok itu seraya melepaskan telapak tangannya yang membekap mulut Aerin. "sorry."

Awalnya Aerin terkejut karena cowok di depannya ini mengatakan maaf untuk pertama kalinya. Namun Aerin hanya mampu mengulum senyumannya. Yes! Setidaknya ada perubahan sedikit.

Mereka berdua duduk lesehan di atas karpet yang tadi Garda siapkan, dengan posisi saling berhadapan.

Garda memerhatikan dengan seksama apa yang gadis di depannya jelaskan. Mencatat beberapa poin penting yang perlu diingat. Tak hanya mendengarkan, Garda diam-diam memerhatikan wajah Aerin tanpa sang empu ketahui. Garda sendiri tidak tahu mengapa dirinya melakukan ini. Apalagi tentang ruangan ini, Garda memperlihatkannya tanpa berpikir apa yang nantinya mungkin terjadi. Masa bodoh jika orang lain akan mengetahuinya.

GARDA: Evanescent✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang