Part 20: Jawaban

562 41 0
                                    

Happy Reading ...
Enjoy!
***

Arin merasa begitu lega setelah pergi main bersama Bang Ihsan dan Ayra tadi. Ia sudah lama tidak merasakan kebersamaan itu lagi. Semenjak semuanya sudah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Tepatnya, setelah dokter mengizinkannya pulang ke rumah satu setengah bulan yang lalu.

Selesai mandi Arin bersiap untuk turun ke bawah menemui kedua orang tuanya. Ia sudah yakin dengan jawabannya saat ini. Tidak ada yang perlu diragukan lagi mengenai Arka. Orangnya baik, sopan, sholeh. Semua hal yang menjadi impiannya sudah terhimpun dalam diri seorang Abdurrahman Arka Ramadhan.

"Malam semua," sapa Arin menuju meja makan.

Arin langsung menyambar sebuah roti dan satu cangkir susu yang sudah disediakan untuknya.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong kamu udah dapat jawaban dari pertanyaan keluarga Arka kemarin? Kamu mau jawab apa?" tanya papa penasaran.

Sebelumnya Arin juga udah sempat berdiskusi dengan Papa dan Mama mengenai keputusan mereka perihal Arka. Namun, jawaban mereka tetap sama. Mereka akan lebih tenang kalau Arin berada di sisi Arka yang sudah tahu sifat aslinya. Tanpa ada perkenalan dan penyelidikan lagi mereka sudah mengenali sosoknya.

"Iya. Kamu mau jawab apa, Rin?" timpal mama menambahkan.

"Hm. Insyaallah Arin mau menerima lamaran Kak Arka, Pa, Ma," sahutnya sembari tersenyum.

"Serius, Nak?"

Arin mengangguk yakin membenarkan ucapan kedua orang tuanya. Bahkan Bang Ihsan yang masih berdiri di pintu rumah ikut kaget dengan keputusan adik sepupunya.

***

Keluarga Kak Arka sudah menuju ke rumah. Iya, keberangkatan mereka sedikit mendadak. Itu karena Papa yang meminta mereka untuk segera mendapat jawaban dari putrinya. Menurutnya tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Jawabannya sudah sangat jelas.

Arin melihat sebuah mobil berwarna silver melaju ke arah rumahnya. Benar, itu adalah mobil laki-laki itu. Jantungnya kembali berdetak kencang. Ini seperti mimpi yang dulu sulit digapai.

"Silakan masuk."

Mama dan papa mempersilakan mereka masuk. Sedangkan, Arin kini sedang menyeduh minuman untuk dihidangkan untuk para tamu.

"Permisi."

Arin meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman. Setelah itu ia ikut duduk bersama keluarganya.

"Bagaimana, Nak? Apa kamu sudah mendapat jawabannya? Kami semua selaku keluarga yang mewakili Arka akan siap menerima apa pun jawabannya. Semoga itu keputusan terbaik untuk kalian berdua ke depannya. Jika memang belum bisa, insyaallah dengan lapang dada kami terima."

Ucapan dari ibu Kak Arka membuat keyakinannya semakin bertambah. Mereka semua orang baik.

"Sebelumnya, selama beberapa hari ini. Arin juga sudah berdiskusi dengan kedua orang tua, sudah melakukan shalat istikharah dan amalan lain juga. Insyaallah, Arin bersedia menerima lamaran dari Kak Arka."

Arin tersenyum dan menganggukan kepalanya. Ia beralih menatap Kak Arka dan menangkap senyum yang terpancar dari wajah laki-laki itu. Mendadak Arka membalas menatapnya. Sorot mata mereka bertemu.

"Terima kasih," ucapnya tersenyum lebar.

Dua kata singkat itu berhasil membuat pipi Arin memerah. Sebuah senyuman tak lepas mengukir bibirnya.

"Selanjutnya, kita akan segera mempersiapkan acara untuk pernikahannya. Sekiranya hanya itu untuk hari ini. Kami selaku pihak keluarga Arka sangat senang mendengar jawaban dari Arin. Kami pamit."

Percakapan masih terus berlanjut antar keluarga. Hanya Arin dan Arka saja yang seperti enggan bergabung dalam pembicaraan keluarganya. Entah karena tidak tahu apa yang ingin dibicarakan atau masih malu untuk membahas lebih lanjut.

Keluarga Arka sudah meninggalkan rumah. Sebuah senyuman indah selalu hadir dari dua keluarga. Mereka semua turut merestui dua insan ini.

"Papa, Mama, Arin ke kamar dulu, ya. Arin mau istirahat dulu," pamitnya.

Arin bergegas menuju kamar. Ia segera meraih obat-obatan di samping ranjangnya. Benar, memang Arin sudah keluar dari rumah sakit. Namun, bukan berarti ia terlepas dari obat-obatan. Sakitnya masih sering menyerang dan kambuh secara mendadak. Selayaknya orang yang terkena kanker otak.

Ting!

Suara notifikasi pesan muncul dari ponselnya. Arin mengernyitkan dahinya melihat nama pengirim. Iya, tadi ketika mereka akan pulang. Kak Arka meminta nomor handphone-nya supaya bisa melakukan komunikasi. Terlihat pesan suara yang diterimanya. Arin memutarnya segera.

"Assalamualaikum, Arin. Terima kasih ya untuk jawabannya tadi. Saya sangat senang mendengar keputusan kamu. Sekarang saya merasa doa-doa yang selalu saya lantunkan selama ini sudah dijawab-Nya. Selama ini saya selalu berdoa untuk kehadiran seorang pendamping yang bahkan saya sendiri belum tahu bagaimana bentuknya dan siapa namanya. Namun, sekarang saya sudah memiliki seseorang itu. Dia adalah kamu Adiba Syakila Atmarini. Nama yang dulu pernah mampir dalam hati seorang Arka.

Wahai Adiba Syakila Atmarini, Maukah kamu menjadi makmum dari pemilik nama Abdurrahman Arka Ramadhan?"

Arin tersenyum mendengar pesan suara yang dikirimkan laki-laki itu. Bukankah tadi ia sudah memberikan jawaban? Ia berulang kali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata seorang Arka yang terkenal cool dan cuek. Bisa seromantis ini.

Arin
[Ini maksudnya apa?]
[Mau lamar aku?]

Kak Arka
[Hm, menurut kamu?]

Arin
[Yah, sebentar lagi juga mau ngucapin akad di hadapan pak penghulu.]

Kak Arka
[Iya, makanya dilamar sekarang. Kemarin itu bareng keluarga. Sekarang saya mau langsung nanya ke orangnya.]
[Adiba Syakila Atmarini, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?]

Arin
[Dasar cowo!]
[Iya, aku terima. Aku bersedia Abdurrahman Arka Ramadhan.]

Arin tekekeh membaca kembali pesan-pesan yang dikirimkan laki-laki itu. Bahkan ia berulang kali memutar ulang rekaman suaranya. Suara Kak Arka seperti candu yang sudah mendatangkan bahagia untuknya.

Arin menghembuskan napas panjang. Sekarang ia tidak perlu susah lagi berkomunikasi dan bertemu dengannya. Sebentar lagi ia juga akan membuka lembaran baru berdua bersama sosoknya.
***

Semakin jauh aku berjalan, maka aku pernah merasa akan semakin jauh darimu. Ini tentang hati yang sudah lama aku harap berlabuh. Namun, takdir memberi jarak pada kita. Sehingga temu enggan meminta untuk ditunaikan.

Aku dulu sempat mengira rasa ini tumbuh sendiri. Namun ternyata takdir mengizinkan kita untuk bersama. Rasaku dan rasamu memiliki tujuan yang sama.

Aku sadar. Bahwa sesuatu yang ditakdirkan menjadi milikku. Akan menemukan jalannya untuk pulang. Tidak ada lagi pelabuhan yang akan dituju. Kapal ini tidak karam hingga dermaga.

Sekarang, saatnya kita pulang ke rumah yang sama.

To be Continue!

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang