Laboratorium

7 1 0
                                    

Kalau dipikir-pikir berulang- ulang sekalipun ini juga takkan bisa diterima logika!

ΦΦΦ

Aku duduk di sofa yang ada di ruang BK. Bu Rina selaku guru BK sang hakim ruang BK sedang mengintrogasiku.

"Jelaskan kepada ibu yang kamu lakukan di laboratorium kemarin Rita." bu Rina berbicara dengan nada penuh penekanan.

"Saya tidak melakukan apa-apa bu, biar saya yang terakhir keluar dari ruang laboratorium kemarin, saya tidak melakukan apa-apa pada alat-alat yang ada di laboratorium bu."

"Bagaimana cara ibu untuk mempercayai dirimu, Rita?" bu Rina membenahi kacamatanya yang sempat melosot dari tempatnya.

"Saya jujur bu, untuk apa saya berbohong? Saya hanya melihat-lihat alat peraga tanpa ada sekalipun saya menyetuhkan. Ibu sudah melihat CCTV saat pembelajaran kelas saya di labolatorium kan?"

"Baiklah ibu percaya," bu Rina menyesap teh buatan bu Sri. "Tetapi ibu meminta tolong kepadamu untuk membereskan ruang laboratorium, pak Teguh sedang sakit, besok ada petugas dinas yang datang berkunjung."

"Baiklah bu." Ucapku lirih, aku tak bisa melawan, memang ada benarnya. Pak Teguh selaku OB di sekolah ini sedang sakit, padahal petugas dinas dari dinas pendidikan akan datang ke sekolah ini. Yang kubisa sekarang adalah menunduk dalam-dalam dan menganut.

Aku mengangkat badanku dari sofa yang kududuki dan melenggang pergi.

Sampailah diriku di depan laboratorium. Segeralah diriku masuk kemudian membenahkan posisi dari setiap benda yang ada.

Kenapa harus diriku? Kenapa bukan yang lain? Siapa yang membuat ruangan ini seperti ini? Sungguh tidak bertanggung jawab! Batinku menyumpah serapahi orang yang membuat kekacauan ini. Tentu di dalam hati, karena jika aku ketahuan menggerutu disaat membereskan, bisa bisa malah hukumanku diperberat oleh bu Rina.

Disaat ruangan sudah rapi, tiba-tiba ada kotak perkakas yang terjatuh, padahal tidak ada angin kencang yang berhembus hingga dapat menjatuhkan kotak tersebut.

Disaat yang bersamaan pula angin berhembus melayangkan tirai jendela laboratorium.

Munculah seorang pemuda, dia nampak sebaya dengan diriku, pakaiannya juga adalah seragam sekolah ini.

Dia menampakkan wajah usil kepadaku. "Hehe, apa kabar?" Dia menanyakan kabarku dengan wajah tak berdosa. "Hei, kau harus tau, akulah yang membuat ruangan ini berantakan."

Maka diriku pun berkacak pinggang. "Kenapa kau tidak membereskan tempat ini? Kau membuatku pulang terlambat tahu!"

"Karena... " pemuda itu menahan perkataannya. "Karena aku ingin meminta bantuanmu."

Apa? Bantuanku? Untuk apa? Kenapa harus diriku? Pertanyaan berputar-putar di kepalaku.

Kuperhatikan ekspresinya. Sorot matanya meredup, senyumnya memudar, dan tampangnya terlihat serius.

"Untuk apa?" aku ragu-ragu bertanya kepada pemuda itu.

"Membantuku menemukan diriku." Pemuda itu menoleh ke arah jendela mengedarkan pandangannya ke luar sejauh mata memandang.

Suasana laboratorium mendadak menjadi lenggang. Apa katanya tadi? Menemukan dirinya? Apakah maksudnya adalah mencari jati dirinya?

"Hei." aku memanggilnya, namun beberapa saat kemudian dia tak kunjung menoleh kepadaku.

Maka kucoba untuk memegang pundaknya. Tanganku mendekat kepada pundaknya dan... Tembus.

Dia mulai mengembalikan pandangannya kepadaku. "Jadi, kau mau membantuku?"

"B-baiklah." aku menjawab terbata-bata, masih terkejut dengan kenyataan bahwa dia bukanlah manusia.

Dia melangkah, maka diriku pun membuntut mengikutinya.

Dia menyuruhku mendorong lemari alat peraga. Maka kuturuti saja perkataannya.

Kudorong lemari itu, menampakkan dinding yang selama ini tertutup lemari tersebut.

Ternyata, ada pintu dibalik lemari tersebut.

Dia menyuruhku membuka pintu itu. Kubukalah pintu tersebut, membuat debu yang berkumpul disana berhamburan keluar.

Suasana yang lenggang dengan cahaya yang mulai menjadi oranye dari jendela, kuberanikan diri untuk memasuki ruangan tersebut.

Ruangan itu tak telalu sempit tak pula terlalu lebar. Jalannya menurun berbentuk tangga. Ruangan itu mirip dengan gudang bawah tanah di rumah paman.

Sepersekian detik setelah diriku memasuki ruangan tersebut. 10 anak tangga lagi menuju bawah, tercium bau anyir busuk, aku perlu menjepit hidungku dengan jariku.

Kulihat mayat yang sudah membusuk, mungkin sekitar 2 sampai 3 pekan mayat tersebut disini.

Kutatap pemuda tadi yang merupakan arwah dari mayat tersebut. Mataku menjadi nanar dan berkaca-kaca. Betapa menyedihkan dia, di umurnya yang sebaya denganku yang belum bisa dikategorikan dewasa dia sudah meninggal dunia.

"Jadi... Apa yang aku harus lakukan sekarang?"

"Beri tahu seseorang, siapapun itu, terima kasih, maaf sudah merepotkanmu." Dia memiringkan kepalanya sambil tersenyum, dapat kulihat senyuman tulus terlukis di wajahnya.

Belum sempat aku menjawabnya, dia sudah melebur bersatu dengan atmosfer. Terasa suhu semakin dingin, kulenggangkan diri keluar dari gudang bawah tanah laboratorium menuju ruang BK, berniat memberitahu bu Rina tentang mayat tadi.

Bu Rina yang mendengarkanku pergi ke laboratorium untuk memastikan apa yang kukatakan. Setelah percaya dan yakin, bu Rina memanggil polisi serta ambulans guna mengidentifikasikan mayat tersebut.

Semua sudah usai, bu Rina begitu juga diriku diberi beberapa pertanyaan oleh polisi tadi. Tak terasa sekarang sudah sore menjelang malam. Kulirik jam tanganku, jam tanganku menunjukkan pukul 16.35, ini sudah sudah terlalu sore, aku tak yakin masih bisa pulang dengan angkutan umum.

Secara tiba-tiba bu Rina memegang pundakku. "Terima kasih banyak Rita." bu Rina tersenyum menimbulkan kerutan halus pada wajahnya.

Aku agak bingung, "apanya yang terima kasih bu?"

"Kau ini memang spesial Rita, tidak dapat dipungkiri, instingmu dalam merasakan serta memahami hal diluar nalarmu itu luar biasa." bu Rina menjeda perkataannya. "Maafkan ibu jika ibu merepotkanmu serta membawa ke dalam sebuah urusan, ibu hanya ingin memastikan tentang murid yang hilang itu."

Aku tertegun, ternyata bu Rina mengetahui murid itu.

"Ibu tebak, kamu pasti berpikir dengan apa kamu akan pulang, sini biar ibu antarkan." bu Rina merogoh sakunya mencari kunci motornya. "Anggap saja ini belas kasih ibu, walaupun kamu sering menggunakan buku pelajaran lain karena lupa membawa buku pelajaran."

Aku yang mendengar itu menggosok tengkukku sambil cengengesan.

Akhirnya aku pulang di antar oleh bu Rina.

Kamis, 17 Februari 2022

WhateverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang