Part 21: Kamu Tidak Sendiri!

542 43 0
                                    

Arin keluar dari kamar. Kebahagiaan terpampang jelas dari raut wajahnya. Namun, saat sampai di dekat kamar Bang Ihsan. Ia mendengar pembicaraan di sana antara Bang Ihsan dan mamanya.

"Tan, Ihsan cuma mau bicara berhubungan dengan penyakit Arin," ucap Bang Ihsan Dari dalam kamar.

"Ada apa, San?"

"Menurut informasi yang Ihsan dapat. Penyakit yang saat ini sedang diidap Arin akan berakhir pada tiga kemungkinan. Arin mengalami kelumpuhan, kehilangan ingatan, atau yang paling terburuk adalah kematian," jelas Bang Ihsan dengan suara gemetar.

Arin terdiam dan buliran bening mulai mengalir dari kedua matanya. Ia berlari ke kamar dan mengambil ponselnya untuk mencari tahu mengenai penyakitnya.

'Ternyata yang bilang Bang Ihsan tadi benar. Aku nggak mau ... Kenapa harus gini?' gumamnya membatin.

'AKU NGGAK MAU MENJADI BEBAN ...' umpat Arin kepada dirinya.

Bang Ihsan dan Mama yang mendengar teriakan Arin langsung lari menghampirinya.

"Rin, Arin kamu kenapa?" tanya mereka dari luar kamar.

Orang-orang terlihat begitu khawatir dengan keadaannya. Arin mengurung diri di dalam kamar.

'Aku cuma menjadi beban bagi banyak orang,' umpat batinnya kesal.

Arin mengambil ponselnya dan mendengarkan rekaman suara yang dikirimkan Arka untuknya. Ia memilih menu memanggil dengan segera.

"Assalamualaikum. Ada apa, Rin? Suara kamu kok kayak orang nangis?" ucap Arka.

"Maaf, Kak. Aku mau kita batalkan rencana pernikahan kita."

Air mata tak berhenti mengalir dikedua pipinya.

"Enggak, gak. Kamu bercanda kan? Udah, jangan becanda terus, Rin," protes Kak Arka.

"Aku serius. Maaf."

Arin tidak kuat lagi menahan sakitnya. Ia langsung memutuskan panggilan.

***

Arka terdiam saat panggilan ditutup. Ia mengambil jas yang bertengger di kursi kerjanya dan menyambar kunci mobil. Laki-laki itu melakukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tentu saja batinnya sangat gelisah. Ini adalah keputusan mendadak yang diambil oleh Arin.

'Sebenarnya apa yang terjadi?' tanya batin Arka.

Sesampai di rumah Arin. Arka langsung masuk dan melihat banyak orang berkumpul di depan kamar Arin.

"Arin kenapa?" tanya Arka khawatir.

"Arin mengurung diri di kamarnya. Tadi dia juga teriak histeris dan nangis," jelas Bang Ihsan.

Arka mencoba mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan harapan sosok Arin mau mendengarkannya. Namun, ketukan pintu darinya sama sekali tidak mendapat respons.

"Tante, ini ada kunci cadangannya?" tanya Kak Arka.

"Ada."

Mama dan yang lainnya ikut mencari kunci cadangan. Mereka semua sama-sama berusaha supaya Arin bisa stabil kondisinya.

Saat pintu terbuka, mereka melihat Arin sudah tergeletak di lantai. Bang Ihsan turut membantu menggendong Arin dan berangkat menuju rumah sakit.

"Gimana keadaan Arin?"

Kak Arka menghembuskan napas kasar. Ternyata kondisi kesehatan Arin semakin memburuk.

"Sepertinya tadi Arin sudah mendengar percakapan Bang Ihsan dan Tante di kamar. Makanya dia menangis sampai membuat kondisinya menurun gini. Jangan panik banget. Kita berdoa untuk kesembuhannya. Insyaallah sebentar lagi dia akan sadar."

Kak Arka menangis untuk pertama kalinya karena seorang gadis. Gadis yang sudah membuatnya jatuh cinta.

***

"Hei, Arin. Syukurlah kamu udah sadar," sapa Kak Arka bahagia.

"Kak Arka?"

"Aku nggak mau diperiksa sama dokter ini," ketus Arin sedikit kasar.

"Kenapa?"

"Aku nggak mau ketemu sama orang ini lagi."

Arin memutar tubuhnya. Ia mencari keberadaan mama dan keluarganya yang lain. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk tidak bertemu dengan pemilik nama Abdurrahman Arka Ramadhan.

"Ma, Arin mau istirahat. Jadi jangan ada yang ganggu, ya," pinta Arin yang dibalas anggukan oleh keluarganya.

Setelah semua keluar, Arin hanya duduk dan memikir apa yang sedang dipikirkan Arka tentang dirinya.

"Maafkan aku, Kak Arka. Jujur, ini juga berat banget buat aku. Aku mohon kakak paham itu," gumam Arin pelan.

Arin meraih ponselnya dan kembali mendengarkan suara tulus dari Kak Arka ketika melamarnya.

"Gue jahat banget sampai tega melakukan ini. Maaf, aku benar-benar minta maaf." ucapnya tersedu-sedu.

"Kenapa?" tanya orang dari arah pintu.

"Kenapa kamu melakukannya kalau kamu sendiri nggak bisa untuk melakukannya," cecar Kak Arka mendekat.

"Sebenarnya ada apa sih, Rin?" tanya Kak Arka dengan raut wajah yang sulit diartikan.

"Sebenarnya, aku benci sama Kak Arka!" ketus Arin memalingkan wajah.

"Aku nggak percaya dengan alasan itu," sahut Kak Arka berusaha tenang.

"AKU NGGAK PEDULI!"

Arin menangis tersedu memandangi wajah laki-laki di hadapannya. Hatinya tidak cukup kuat untuk berbuat sejauh ini. Dirinya tidak cukup jahat untuk tega melakukan semua. Kak Arka orang baik dan tulus yang tidak berhak menerima perlakuan sejahat ini.

"Maaf, Kak. Kita nggak bisa bersama. Aku hanya akan menjadi beban untukmu."

Arka melihat Arin tanpa berkedip. Ucapan Arin barusan seakan menjadi jawaban dari perubahan sikap Arin.

"Maksudnya?" tanya Arka dengan penuh penekanan.

"Yes, I'm just burden to your life,"

"Penyakit ini hanya akan berakhir kepada tiga kemungkinan. Aku lumpuh, hilang ingatan, dan aku akan meninggalkan semua yang ada di dunia ini. Nggak ada yang bahagia, Kak," timpal Arin menambahkan.

"Saya nggak peduli dengan semua kemungkinan itu, Rin. Saya akan tetap mempersuntingmu Adiba Syakila Atmarini. Kita berjuang sama-sama. Ingat! Kamu nggak sendirian dan saya tidak akan pernah menyesal dengan keputusannya."

Tangis Arin semakin deras membanjiri pipinya. Allah sangat baik, telah menitipkan Kak Arka dalam hidupnya. Laki-laki yang tidak hanya menerimanya dalam keadaan sehat saja. Sekalipun ia sudah mengetahui konsekuensi dari mencintai sosok Arin, ia masih tetap terima.

To be Continue!

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang