Kobaran api unggun bergemeletuk memecah bongkahan kayu dalam bara api yang membara, sapuan angin pantai tak mampu mengoyak panas yang menguar. Menyalurkan rasa hangat di tubuhku. Bungkus sosis dan duri ikan berantakan di sekitar api unggun, aku masih belum berniat untuk membersihkannya.
Hanya aku dan Sobey yang berkemah di pinggir pantai hari itu, di dini hari yang sepi, aku rengkuh lengan kirinya yang kokoh dan menyandarkan kapalaku di pundaknya. Berharap jika beban yang aku rasakan dapat terbagi dengannya.
Jemari kakiku terbenam diantara butiran pasir berwarna jingga, kunikmati benar sensasi nyaman yang sudah lama tak aku rasakan. Sensasi rasa yang sudah lama aku rindukan. Jemari tanganku terpaut dengan jemari tangan Sobey yang mengenggamku erat. Hatiku berdesir menikmati rasa yang hadir. Ada perasaan yang sulit untuk aku gambarkan saat bersamanya.
“Nak menurutmu aku kudu piye Bey?” tanyaku dengan suara pelan. Deburan ombak menjadi pengisi jeda pembicaraan kami.
“Yo, temoni wae Bell, gampange ngene, ge ngenahke roso nek atimu,” jelasnya dengan nada serius, sorot matanya terhampar di batasan langit dan laut berwarna biru kelam, tak ada bintang malam itu, jadi semuanya nampak seperti satu bidang, “sebelum OD kamu sakit hati sama dia, patah hati karena ngerasa nggak bisa hidup tanpa dia, terus berusaha bunuh diri, “ fakta ini masih sering membuat hatiku mengkerut, “setelah keluar dari rumah sakit, kamu bisa nerima itu semua. Nah, pas tahu fakta kalau putusnya kamu sama Willy itu cuma setingan dia sama temen-temenmu, kamu benci sama dia tapi, selama ini kamu masih nyimpen rasa sayang dan cintamu sama dia. Mungkin setelah kamu ketemu sama Willy, kamu bisa nentuin perasaanmu sama dia Bell, jadi nggak bingung kaya gini,”
Sobey benar. Ternyata selama ini, aku masih belum bisa menentukan bagaimana perasaanku selama ini. Aku masih bingung dengan diriku sendiri. Ada persamaan yang jelas antara Andi dan Sobey, mereka dapat membacaku seperti buku.
“Temuin aja Bell, mungkin setelah ngobrol hati ke hati sama Willy kamu bakal paham kenapa dia ngelakuin hal itu, lagian kamu juga udah baikan sama ibumu kan? Jadi nggak ada masalah lagi dong? Apa yang ibumu mau sudah tercapai,”
“Aku takut bakalan ngamuk pas ketemu dia,”
“Atau mau aku temenin?” tawar Sobey menggiurkan.
“Makasih Bey, tapi aku ingin ngadepin itu sendiri,”
“Jadi fix kamu bakal ketemu Willy?”
“Iya, seenggaknya aku pengin menggenapkan kisahku sama dia,”
“Apapun hasilnya, jangan sampai bikin rusuh hubunganmu sama ibumu ya,”
“Aku usahain Bey,”
“Yang pasti dong!”
“Iya aku janji, apapun hasilnya, nggak bakal ngefek sama hubunganku sama ibu,”
“Nah gitu dong,” kata Sobey sumringah, mengacak-acak rambutku. Selama ini, dia sering memperlakukanku seperti adiknya sendiri, “Tidur yuk! Dah nggak kuat melek nih mata,” kusambut permintaannya, berdua kami langsung masuk ke dalam tenda, mengganjal kepala dengan bantal seadanya.
Pikiranku berkelana kemana-mana, mengenang masa-masa yang telah berlalu, hal-hal yang belum terjadi dan beberapa mimpi yang masih ingin aku wujudkan.
“Bell,” kata Sobey mengusik lantunanku.
“Kenapa Bey?” tanyaku heran, di luar tadi, dia beberapa kali menguap dan bilang kalau tak kuat lagi membuka mata. Tapi, kenapa dia sekarang belum tidur juga?
“Boleh nggak aku nyium kamu?” tanya Sobey membuatku membeku selama beberapa detik, aku belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, tapi yang membuatku heran. Aku mengangguk, memberinya ijin.