Terik matahari menyinari aktivitas SMA Harapan Indah yang selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan belajar mengajar di dalam kelas maupun di luar kelas. Siswa yang berada di luar biasanya karena kelas kosong, akhirnya mereka melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Ada yang memilih bermain bola di lapangan sepak bola dan basket, sisanya memenuhi gedung olahraga indoor. Ada yang memasuki ruang minat dan bakat, dan ada yang pergi ke ruang organisasi untuk sekadar berdiskusi. Sementara sebagian yang lain berada di kelas. Sekolah memang membebaskan para siswanya untuk aktif dan bergerak selama itu membawa pengaruh positif. Meskipun demikian, tetap dalam pengawasan pihak yang bertugas. Sekolah juga mengayomi para siswanya untuk saling berlomba mengembangkan potensi yang mereka miliki demi mewujudkan cita-citanya.
Selain karena nama sekolah yang sudah terkenal, sekolah besar dan luas ini menyediakan banyak fasilitas untuk menunjang pertumbuhan otak dan perkembangan kreativitas para siswanya. Banyak lulusan dari sekolah ini yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun di luar negeri, bahkan ada yang berhasil masuk ke universitas ternama di dunia, seperti Harvard dan Oxford University. Karena keberhasilannya ini, tidak heran jika pendaftar untuk masuk ke SMA Harapan Indah mencapai belasan ribu untuk setiap tahunnya. Hal ini sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan para siswa, tak terkecuali Kiki. Dia berhasil masuk melalui jalur prestasi dan mendapat keringanan bebas biaya masuk untuk tahun pertama, sisanya dia mendapat beasiswa dari peringkat terbaik di kelas dan olimpiade Fisika.
Meskipun kehilangan Lisa, Kiki mampu bertahan dengan cara menyibukkan diri dengan belajar sangat keras hingga saat ini. Sebagai balasannya, dia berhasil meraih berbagai penghargaan dan mendapat julukan Putri Einstein. Julukan ini disematkan kepada Kiki karena keberhasilannya memegang rekor sebagai siswa yang menjuarai olimpiade Fisika terbanyak dalam empat semester. Melihat pencapaian itu, Rena sempat khawatir akan kesehatan anaknya, tetapi Kiki keukeuh dan mengabaikan nasihat sang mama. Akhirnya, Kiki drop dan mengalami malaise pada saat liburan semester empat. Untunglah sekolah sedang libur, Rena akan membiarkan anaknya istirahat total di rumah. Namun, sebenarnya tidak. Selama di rumah, kedua orang tuanya tidak membiarkan Kiki beristirahat dengan tenang. Suara adu mulut keduanya sangat mengganggu telinga Kiki hingga membuatnya kesal. Dia merasa seperti di kerak neraka, jiwanya terbakar.Dalam keadaan itu, Kiki membutuhkan seseorang untuk menemaninya, tetapi tidak ada yang bisa diharapkan. Kesy sedang melakukan perjalanan audisi menyanyi, dia hanya menyempatkan waktu untuk menyemangati Kiki melalui pesan di sela kesibukannya. Selain menerima pesan dari Kesy, sesekali Kiki juga menerima pesan dari Monokrom. Bagi Kiki, pesan saja tidak cukup, dia sangat mengharapkan kehadiran seseorang untuk menghangatkan jiwanya.
Mengetahui jam ketiga kosong, Kesy mendatangi ruang kuasanya untuk bermain alat musik atau melatih vokal, dan Kiki memilih mengikutinya. Saat memasuki ruangan itu, Kiki cukup takjub dengan alat-alat musik yang tertata rapi. Biola, gitar, piano, drum, violin, angklung, dan beberapa alat musik tradisional dan modern tersedia di ruangan yang luas itu. Selain itu, ruang musik didesain klasik dengan nuansa kayu, membuat kedua matanya berbinar. Kiki baru kali pertama berada di ruangan ini, dia yakin tidak akan menyesal menghabiskan beberapa jam berada di sini. Retina Kiki terus berkeliaran tanpa henti, sedangkan Kesy mengambil gitar dan mulai memetik senarnya.
Mendengar alat musik itu, Kiki duduk di kursi yang tersedia di dekatnya, dia memperhatikan Kesy yang sedang memainkan gitar sekaligus menyanyikan lagu yang dia tidak tahu apa judulnya. Namun, dia bisa memahami maksud lagu itu karena liriknya berbahasa Inggris. Kesy menyanyikannya dengan baik dan penuh cinta hingga menciptakan harmoni yang memanjakan telinga. Cover accoustic yang dibawakan Kesy membuat Kiki larut dalam setiap lirik dan nada yang didengarnya. Kiki merasa Kesy sedang mengutarakan perasaannya melalui melodi yang indah.
Sedalam apa pun merenung, Kiki menyadari tak menemukan apa pun yang lebih menenangkan jiwanya dibanding saat mendengar Kesy bernyanyi. Suaranya mampu meluruhkan muatan sekecil atom yang bertengger di kedua pundak Kiki. Melalui pesan tersirat dari lagu itu, Kesy mengajak Kiki untuk melupakan hari-hari beratnya. Sesekali Kiki tersenyum di tengah Kesy menyelesaikan bait terakhirnya. Andai Kesy adalah laki-laki, Kiki pasti akan jatuh cinta padanya. Tidak salah dia memilih menemani Kesy berlatih bakatnya dibandingkan berada di kelas yang membosankan. Kiki mengakui bakat Kesy sangat luar biasa.
“Luar biasa.”
Kiki terperanjat, kursinya sedikit bergoyang. Samar-samar suara itu datang dari seseorang yang berdiri di dekat pintu. Kesy meletakkan gitarnya setelah menyelesaikan lirik terakhir dan segera menghampiri Kiki. Keduanya menoleh ke sumber suara, tetapi tak menemukan wajah di balik suaranya. Karena ruangan ini minim cahaya, benda yang ada di dekat pintu terlihat temaram. Namun, suaranya terdengar hangat di telinga Kiki, dia ingat pernah merasakan getaran dari suara itu. Kesy hanya mengangkat bahu kala Kiki mengernyit.
“Arsenio,” panggil Kesy.
Kiki menoleh sejenak saat Kesy memanggil namanya, lalu pemilik suara itu berjalan mendekati mereka.
“Kamu kenal dia, Ke?” Merasa penasaran, Kiki langsung bertanya. Namun, tak digubris oleh Kesy. Kemudian Kiki mencium parfum Montblanc Legend dari udara yang membawa Arsenio ke hadapan mereka. Laki-laki itu tersenyum tanpa melihat Kiki.
“Seperti biasa, suaramu selalu indah, Kesy,” pujinya.
“Long time no see, Arsenio.” Kesy menawarkan tangannya untuk bersalaman dengan Arsen, sedangkan Kiki hanya menggeleng melihat tingkah sahabatnya ini. Sebenarnya dia menyukai lelaki yang mana?
***
Sudah lima belas menit keduanya berbincang di ruang klasik itu, entah membicarakan hal apa. Kiki merasa mereka melupakan kehadirannya. Dia hendak mengajak kakinya kembali ke kelas seorang diri. Namun, dicegah oleh Kesy, dia tiba-tiba memanggilnya.
“Ki, mau ke mana?”
“Ke kelas,” jawab Kiki sedikit ketus. Dia menghampiri tempat Kiki berdiri.
“Maaf membuatmu lama menunggu.”
“It’s okay.”
“Kita ke kelas bareng, ya.” Kiki mengangguk, Kesy menoleh ke arah Arsenio yang masih duduk di tempatnya. “Sen, aku ke kelas duluan.”
Arsen hanya tersenyum tipis sebagai jawaban. Melihat itu, Kiki hampir tersihir karena pesonanya. Arsen seakan menyadari sorotan mata Kiki lalu segera memudarkan senyumnya. Kiki merasa dirinya berbeda dari biasanya, tiba-tiba dia disadarkan oleh Kesy yang menyenggol lengannya.
“Yuk,” ajak Kesy.
Keduanya melangkah ke luar dari ruang musik. Untuk sampai di kelas, mereka harus melewati gedung perpustakaan dan lapangan tenis, lalu naik ke lantai tiga di gedung Newton. Mereka tahu, perjalanan singkat ini terasa jauh jika saling berdiam diri.
“Kamu tidak ingin bertanya, Ki? Akhirnya Kesy memulai obrolan di tengah perjalanan garing mereka.
“Apa wajahku terlihat seperti itu, Ke?”
“Mungkin saja, aku hanya penasaran apa yang ada di pikiranmu.”
Kiki mendengus tawa, dia merasa ini lucu. Kesy selalu saja bisa memahaminya.
“Lucu, ya?”
“Jadi, kamu kenal Arsenio?”
“Dia satu club musik sama aku, Ki,” jawab Kesy. Kiki berpikir artinya Kesy sudah mengenal Arsen sejak lama.
"Ada masalah, Ki?"
Kiki cepat-cepat menggeleng.