Awas Nanti Suka

20 4 1
                                    

"Dia itu pendek banget."

Lana melirik sinis, walaupun sudah terbiasa di katai pendek sejak dulu, tapi ia tetap saja sebal. Apa lagi saat ini Putra yang mengatainya, dia tidak suka dengan lelaki itu. Lelaki manja, ribut dengan pacarnya di kelas hingga menarik perhatian banyak orang, menurut Lana itu berlebihan.

Dan juga, sebulan yang lalu, teman teman sekelas menghadiahi kue ulang tahun untuk Putra, sedangkan Lana tidak di mintai uang untuk iuran---tunggu, jangan salah paham.

Lana hanya merasa di sisihkan jika begitu, meski iuran itu untuk ulang tahun laki laki yang tidak disukainya, ia tidak keberatan, kok, jika di ajak. Itung-itung sebagai teman, 'kan. Tapi nyatanya tidak ada yang memberitahu sama sekali, tahu-tahu saat pagi hari, teman-teman sudah bersiap membuat surprise. Mengingat itu, Lana kembali kesal.

"Jangan ngatain gitu tau! Kasihan!" Reyna---teman sebangku Lana---menyahut.

Sungguh, Lana tidak apa-apa, dirinya mungkin kesal, tapi dia tidak punya waktu untuk meladeni cowok seperti Putra yang senang mengganggu.

Gadis berjilbab miring itu mengetukkan pensil di dagu, sesekali mencoret hitung-hitungan pada kertas kotak-kotak di hadapannya. Jangan mengira Lana pintar matematika, justru dia sangat lemah pada mapel tersebut, dia hanya sedang mencoba mengerjakan soal sebisanya.

"Emang pendek!"

"Awas lho, nanti kamu malah naksir." Goda Reyna, yang di respon Putra  dengan ekspresi tidak sudi.

"Putra  tinggalnya dimana, sih?" Reyna bertanya, mereka memang agak dekat karena satu ekstrakurikuler.

"Daerah Jenggala." Lelaki itu menjawab singkat, matanya masih sesekali melirik Lana  yang tetap fokus pada tulisannya.

"Oh," Gadis berkulit putih itu mengangguk, "Kalau Alana, dimana?" Reyna ganti bertanya pada Lana  yang kini menghentikan kegiatannya.

"Jenggala."

"Wah! Kok samaan?! Jangan-jangan kalian tetanggaan ya?"

Lana menggeleng cepat, sedangkan Putra sedikit terkejut.

"Enggak!" Apesnya, keduanya membantah bersamaan.

"Cie barengan!" Reyna malah tampak semakin senang mengusili dua temannya ini.

"Jenggala kan luas, Re. Ada bagian tengah sama Timur. Engga pasti tetanggaan, lah." Lana menjelaskan. Sedangkan Reyna hanya mengangguk angguk entah mendengarkan atau tidak.

Baik Putra ataupun Lana memasang wajah tak mengenakkan.

"Putra lahir bulan apa?"

Lana memejamkan mata, berpikir teman di sebelahnya ingin berulah apa lagi.

"Agustus."

"Ooh, kalau Lana? Nggak jawab dosa, lho."

"Mei." Lana  menjawab dengan ogah ogahan.

"Woah, berarti lebih tua Lana, dong."

Putra tampak tak terima, padahal hanya masalah bulan lahir, tapi ekspresinya seperti sangat tidak suka. Lana mengedik, bukan urusannya pula jika Putra ingin julid sampai lelah. Lagipula, kenapa suka sekali membesar besarkan hal kecil, sih?

___

"Emang boleh begitu?"

Dewi memutar bola mata malas, Alana ini rempong sekali, sejak tadi merecoki bahan bahan miliknya yang akan digunakan untuk mapel prakarya.

"Mau boleh atau nggak boleh, aku bawanya ini." Sahutnya. Sementara Lana mengeluarkan perlengkapannya dan menaruh itu semua di atas meja.

"Aku bawa tanah campur pupuk, polybag sepuluh lembar, sama biji kangkung banyaak."

"Ya udah, tunggu aja nanti sampai kangkung punyamu tumbuh, pasti lama buat bisa dipanen, enak kayak aku gini, simple, pakai kangkung yang ditukang sayuran, beres."
Meski masih tidak yakin, tapi Alana tidak menggubrisnya lagi, paling juga baru dua hari kangkung milik temannya itu akan layu dan menguning,  ini berdasarkan pengalaman pribadinya yang pernah menanam sayur yang sudah dipetik.

Pagi menjelang siang ini dihabiskan untuk membahas dan praktikum perihal tanaman kangkung.

"Jangan lupa tanaman kangkungnya di siram tiap pagi, ya! Beberapa minggu kemudian, akan saya lakukan penilaian," ujar Bu Arin, selaku guru mapel prakarya.

Semua tanaman sudah di tata di dekat ruang baca yang juga terletak di dekat ruang kelas, masing masing tanaman diberi tempelan label dengan nama siswa, semua polybag masih rata dengan tanah, mungkin kisaran tiga atau empat hari lagi, baru akan tumbuh bibit.

Lana berjongkok, menatap polybag miliknya, tidak sabar menunggu kangkung itu tumbuh, ia harus rajin menyiramnya!

___

Satu minggu kemudian

Alana Point Of View

Aku berangkat pagi pagi sekali, niatnya, sih, untuk menyiram tanamannya seperti biasa, dengan tas berat dipunggung, kakiku berjalan memasuki gerbang dan melewati lapangan utama sekolah.

"Heh, siapa tuh?"

Aku ikut menoleh pada sumber suara, tak jauh dari tempatku berdiri, tepatnya dibawah ring basket, ada tiga siswa sedang berkumpul disana, salah satunya dia.

Berusaha menghiraukan, aku berjalan menuju gedung dua, namun dengan langkah kaki yang lebih cepat, sampai didekat perpustakaan, aku dapati polybag milik teman lain kekeringan, beberapa bibit yang sudah tumbuh pun menjadi layu, mungkin mereka malas menyiramnya?

Sekolah masih sangat sepi, karena ruang kelas sepuluh masih dipakai untuk ujian kelas 12. Jadi murid kelas sepuluh diminta untuk berangkat lebih siang, namun jiwa berangkat pagiku tidak bisa di ganggu gugat.

Selesai menyiram, aku berjalan menuju ke kelas, rupanya masih dipakai. Melangkah kembali ke lantai bawah, aku baru teringat pulpen hitamku sudah habis, segera saja aku ke koperasi untuk membeli beberapa alat tulis yang sekiranya dibutuhkan.

Untuk ke koperasi aku harus melewati ring basket tadi lagi, semoga saja cowok cowok itu sudah tidak disana, aku hanya … tidak nyaman saja dengan tatapan mereka ketika aku lewat, memangnya, ada yang salah denganku?

Namun sepertinya itu hanya harapan semu, ketika Putra dengan cepat mengambil tas ranselnya dan beranjak dari ring basket, samar samar aku dengar kedua temannya menyoraki. Aku kira dia akan pergi ke kelas, tapi kenyataannya sekarang dia berada tepat di belakangku, aku mempercepat langkah saat merasa jarak kami kian dekat, disaat itu pula langkahnya juga ikut cepat, dengan kakinya yang panjang itu, bukan tidak mungkin dia sampai di belakangku hanya dalam hitungan detik.

Aku berhenti karena merasa tidak nyaman, bukannya apa, hanya saja aku merasa dia terlalu dekat, dan apalagi ini? Dia ikut berhenti juga, memberanikan diri menoleh dan menatap wajahnya, kini dia malah bersiul sembari melihat ke arah atas.

Dasar orang nggak jelas!

Tentu saja hanya bisa aku ucap dalam hati.

Melengos, aku melanjutkan langkah yang tertunda, kali ini lebih cepat, aku tau dia juga melangkah semakin cepat namun aku berusaha mengacuhkannya, siapa tau memang dia ingin mengerjaiku, 'kan?

"Mbak Nana, pulpen standar hitam satu aja!" Aku langsung mengeluarkan uang dengan nominal pas dan meletakkannya di etalase koperasi.

Tidak langsung bergerak, sejenak mbak Nana hanya menatap heran melihat aku dan Putra berdiri berdampingan dengan canggung.

"Mas nya apa?"

Astaga mbak Nana! Kan, aku duluan tadi yang bilang! Batinku kesal.

Putra melirikku dari samping, dia tampak bingung dan berpikir sejenak sebelum kemudian berucap, "Rautan pensil, mbak!"

Baru setelah itu mbak Nana mengambilkan pulpen yang ku maksud, telanjur kesal, aku langsung bergegas dari sana setelah mengucapkan terima kasih. Dapat aku lihat pandangan Putra mengikuti setiap gerak gerikku hingga keluar koperasi.

Cowok nggak jelas! Bikin panik aja, ternyata cepat cepat ke koperasi cuma mau beli rautan pensil.

red string |short storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang