Mutiara hari hari ini mengawali paginya dengan senyum merekah. Semangatnya menggebu gebu. Betapa tidak, dalam satu bulan terakhir ini hari senin menjadi hari istimewa baginya. Ia akan menerima upah. Hasil peluh keringatnya selama satu minggu berlalu. Jam 8 tepat ia sudah mulai meninggalkan kos-an, menekuni aktivitasnya yang baru dan berbeda. Menjadi kasir sebuah toko atau seorang pelayan sebuah rumah makan bukanlah keinginannya. Tetapi karena kebutuhan akan financial, maka ia harus menepis semua hal yang mengganjal pikir dan mentalnya. Mutiara mengambil peluang lowongan kerja disebuah warung penyedia pangsit sekitar tempat tinggalnya di gang jati raya. Jika dinilai dari jumlah, rupiahnya terbilang sangat sedikit. Tetapi mutiara menjadi lebih menghargai waktunya. Membaginya untuk kerja dan untuk dirinya sendiri. Sesekali waktu, dia lebih punya me time untuk melahap apa yang tertulis disetiap buku koleksinya. Rutinitas yang berbeda ini sengaja diambil mutiara untuk mengambil jeda usai ambisinya berkali kali menemui kegagalan. Dari yang awalnya terpaksa, karena butuh ia menjadi terbiasa.
----
Karena tidak ada peninggalan berharga selain karya yang manfaat, maka aku terus saja mengupgrade diri dengan skill menulis yang aku miliki. Seperti kata Nawa, yang ketika ia menguatkanku untuk terus mengembangkan potensi menulis, bahwa usai kita menemui kematian, maka hanya tulisan/karya manfaatlah yang mampu membuat kita untuk tetap hidup. Sepanjang 5 tahun belakangan, aku mendapatkan titik terbaik dalam sebuah lomba cipta puisi nasional dari sekian kali ikut lomba. Juara 1 mengikut dibelakang namaku pada sebuah pengumuman. Aku berusaha untuk ikhlas melepas beberapa pekerjaan yang beberapa bulan ini telah memberiku dimensi kehidupan yang baru. Sebab Tidak ada diri yang tidak potensi untuk tumbuh, berkembang dan menjadi pohon rindang untuk bernaung. Maka sang November memberitahuku lewat kisahnya bahwa Tidak ada pilihan terbaik selain membekali diri, menerima segala keadaan dan mensyukuri kenyataan hidup penuh liku. Dan Desember tidak lupa menitip sebuah pesannya yang sarat makna pada beberapa menit sebelum ia benar benar mengakhiri ceritanya di penghujung tahun. Bahwa Tidak ada beban & tanggung jawab yang salah memilih pundak untuk memikulnya. Ya, itulah yang sedang aku lakukan. Berkompromi dengan kedua pundak ini, menyelaraskan dengan keinginan hati.Tahun 2021 adalah tahun penuh pergulatan di hati dan pikiranku. Mulai januari hingga desember, 12 bulan itu aku lalui dengan banyak persimpangan dilema. Saat itu aku berada di fase dilema dengan perdebatan diri sendiri tentang mimpi yang harus disegerakan atau menundanya bahkan tanpa aku ketahui kedepannya bisa saja tak pernah terealisasi. Juga lingkungan keluarga dan pertemanan, banyak memberi isyarat tidak mungkin atau tidak mudah. Bukan bergulat dengan orang lain melainkan hal apa yang menjadi kulminasi keputusanku. Menikah atau lanjut study? Apakah menjadi ketua himpunan mahasiswa? Sementara aku bukan lagi seorang mahasiswi. Mengapa aku harus mengorbankan pendidikanku demi sebuah jabatan?
Di penghujung desember, aku memantapkan hati untuk mendaftar di salah satu kampus ibu kota, kampus tertua di indonesia. Keputusan ini adalah jawaban atas pencarianku selama setahun lalu itu. Bagiku inilah keputusan terbaikku sebagai awal untuk mengudara di bawah langitnya. Aku menetapkan pilihan hari ini untuk menjangkau masa depan. Aku menemukan titik terang ini usai berdiskusi dengan seseorang (biasa aku sapa nawa/ nawahyu prima nagara) yang menjadi support system terbaikku selain ayah ibuku juga orang tuaku di kampus. Itu juga harus melewati badai rintangan yang begitu dahsyat hanya demi sebuah kata "iya" yang dilanjutkan dengan kalimat : "silakan bismillah nawaitu, semoga berhasil". Kalimat ini datang dari mereka support system itu.
Meski aku tidak dapat memastikan bahwa esok hari akan dilalui dengan seperti apa? Tidak mudah tapi aku harus pergi kesana yang cukup jauh. Menginjakkan kaki di tanah yang baru meski sebelumnya telah pernah kakiku sekedar singgah. Bedanya kali ini akan menetap untuk satu, dua, atau 3 tahun berikutnya. Bahkan bisa saja aku diharuskan untuk membiasakan diri pada musim yang bukan hanya beriklim tropis dan sub tropis. Aku harus meninggalkan makanan kesukaanku. Aku harus meninggalkan orang orang yang menginginkanku tetap tinggal. Bersamanya. Ya, dia yang pernah mengantarku sebelum terbang dilangit sulawesi meski tak bersayap. Tapi diriku dan mimpinya harus benar benar pergi pada suatu tempat yang aku saja tak begitu yakin, apakah akan kembali tercipta suasana dimana lakonnya adalah kita -aku dan kamu. Diri itu tidak mahir pula untuk memastikannya. Sekali lagi, perihal rindu yang nanti akan terasa sudah pasti tak lagi membahas tentang jarak. Beri tahu dia, diri dan mimpi yang akan menempuh jarak tak terlipat itu harus merdeka untuk tumbuh dan bertahan. Mempertahankan prinsip; seorang perempuan berhak pula meraih cita-citanya termasuk jenjang pendidikan tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nawaitu (NTIARASI) 365 Hari
RomanceProlog Seorang perempuan yang ambisius dalam pendidikannya harus menerima petualangan penuh lika liku ketika diperhadapkan dengan orang yang menyayanginya. Tetapi tidak mendukung perihal pikiran brilian dan mimpinya yang visioner. Mutiara bersikeras...