9

6 0 0
                                    

"Tetap semangat, kamu sudah sangat hebat sampai di titik ini". Sebuah pesannya (nawa) dari jauh menyemangati. Dari tengah pengembaraan asa, sebuah langkah menyimpulkan bahwa cara menjalani hidup paling terbaik adalah menerima. Bahwa bersyukur merupakan kulminasi perasaan seseorang menerima apa yang memang untuknya. Memaksakan kehendak terhadap apa yang diidamkan tidak selalu mendapatkan yang terbaik. Sederhananya, diri cukup menerapkan konsep : terima-jalani-hayati-syukuri-evaluasi.

"Iya, bukan posisinya tapi prosesnya, kita sudah berhasil membuka jalan, terima kasih", aku membalas sambil berusaha menahan agar mata tak berkaca-kaca.

"Yang kuat Ra, maret terlalu lama menjadi perantara agar aku menyemangatimu lebih dekat", pesan yang masih banyak lanjutannya ini sudah tak ku hiraukan. Aku memilih menepi sejenak. Dibawah sinar temaram. Aku menepi di sudut harapan. Merenungi jalan yang pernah aku tempuh. Jauh sudah ku melangkah. Namun belum pula aku dapati Suatu apa yang ku cari.
Hingga daksa mengaku letih. Jiwa tetap saja memaksa begitu keras. Terus memacu langkah dengan segala upaya. Dan bisikkan sukma terdengar lirih; mari kita lanjutkan langkah untuk terus berjuang.

Sejatinya berjuang adalah apa yang diperoleh dari prosesnya. Perihal menang kalah bukan substansi sebuah pertarungan. Sungguh, kita lebih kuat, lebih hebat, bukan mengalahkan mereka. Tetapi berhasil bertarung menurunkan ego dari masing masing personal kita. Saling memberi dukungan dan kekuatan menjadi penentu.

Wira yang begitu kekeh soal pencalonanku untuk menjadi ketua himpunan organisasi yang dia maksud memberi respon yang biasa saja. Aku juga tak terlalu memikirkan responnya. Dia sempat mengirimiku pesan kala musyawarah pemilihan itu usai. "Selamat & sukses ya", katanya. Maka akupun membalasnya dengan datar. Sebab ia menyematkan sebuah pertanyaan pada pesan itu. "Apakah setelah ini aku bisa membersamaimu?", demikian bunyinya. "Jangan meminta begitu keras agar aku bersamamu seutuhnya
Aku pun tak memahami, ragaku masih disini tapi pikirku berdomisili dilain ruang. Disana, ia lebih menemukan dirinya tanpa desas desus tuntutan ekspektasi. Kuharap tidak mengecewakan, sebab ia kerasan enggan pulang. Belakangan, ia berkabar telah menutup seluruh celah di ruang kerjanya", balasku. 

"Kita, kian hari makin direntang jarak. Aku sibuk menanti dirimu. Sedang hidupmu telah direbut usia dan masa depan. Apa kabar suara hati dan rencana dahulu? Masihkah ada sisa waktu mengingatku di sepanjang harimu? Hari hari aku tersiksa rindu, sedang bagimu aku telah membuatmu jemu. Menjadi dewasa ternyata harus rela melepaskan banyak hal. Saban hari impian entah tercapai atau tidak, sudilah menyapaku membagi kisah saat kita tak bersama. Ruang waktu terlalu tega menjadi belenggu diantara kita. Hidup tidak semata bekerja lalu mati. Ada bagian bagian hidup lainnya yang tidak ingin kehilangan dirimu. Dan bagian itu adalah aku", balasnya kembali seminggu kemudian.

Nyaris saja aku menghentikan langkah. Sudah meronta merintih dalam asa. Siapa yang tak mendamba berada diposisi dambaan banyak orang. Misal, menjadi ketua sebuah himpunan. Tapi mesti berbesar hati mengelus dada. Biarkan kesempatan itu kita berikan kepada mereka yang lebih menginginkannya juga. Bisa saja, di posisi itulah ia temukan bahagianya. Sesuatu yang lebih tinggi menuntut kita untuk didaki. Diatasnya lebih leluasa menikmati keindahan berkah Tuhan meluas kemana sejauh mata memandang. Dan yakin percaya, aku tidak salah merintis jalan mengarah ke sana. Ke arahmu yang kunamai magister (mau gimana pun situasinya, tentangmu selalu prioritasku). Dari puncak perayaan kemenangan, aku menyaksikan keindahan  pohon melati yang langka.

Bunga melati itu terus tumbuh mekar, subur,  mengakar. Membuatnya menerima estafet untuk menyebarkan wewangi. Seorang setia datang kian hari silih berganti menyiramnya dengan harapan dan motivasi di tiap tetesannya. Membawanya bersemangat menjadi perintis diantara bunga lainnya yang nyaris mati ditengah kemarau. Berdiri tangguh pada terjangan angin badai yang silih berganti pula. Ia menjadi dewasa karena dinamika keadaan itu. Hanya demi harapan agar sesiapa yang melewatinya ikut mencium harum kuntumnya, tanpa memetik kelopaknya agar tetap kokoh pada pohonnya. Sampai berhasil menggenggam dirinya untuk berbesar hati memenangkan pertarungan, itulah kulminasi perasaannya menggapai kualitas usai menantang diri pada aneka badai. Terima kasih dan kata syukur tiada henti memeluk erat pohon berbunga yang empu itu.

Bersambung ....

Nawaitu (NTIARASI) 365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang