Pertemuan

285 29 0
                                    

Kepala Bianca terasa berputar, ia membuka matanya menatap kamar besar yang tidak asing baginya.

"Ini dikamarku?".

"Nona, anda sudah bangun?".

"Jenya, apa yang terjadi?".

Bianca mengingat kejadian yang terjadi padanya.

"Will, william...?!". Seru Bianca tersadar telah kehilangan William, ia mencari keberadaan putra semata wayangnya itu.

"Nona, tenanglah, tolong tenang dengarkan saya".

Jenya meraih tangan Bianca, ia menggenggamnya erat berharap bisa memberikan ketenangan pada majikannya.

"Jenya, dia mengambil anakku, dia mengambil Williamku". Tangis Bianca kencang.

"Nona.... Anda harus tenang, ini pilihan terbaik untuk saat ini".

"Bi...".

Edmund menatap kasihan pada adiknya itu.

Segera Bianca turun dari ranjangnya berlari meraih pria yang ia panggil kakak.

"Kakak, dia.. dia membawa anakku, dia mengambilnya dari tanganku!".

"Bi...tenanglah". Edmund memeluk adiknya erat betapa ia tau adiknya selalu menderita, sepertinya takdir menyedihkan terus membayangi setiap langkahnya.

"Kau harus segera pergi dari sini Bi". Ucap Edmund ketika tangisan Bianca mulai reda.

"Apa?, Pergi? Kakak juga menginginkan aku pergi?". Tanyanya kecewa, satu satunya keluarga yang ia miliki bahkan tidak mau repot membantunya.

"Dengarkan aku, ini untuk sementara waktu hingga kemarahan Richard mereda, kita tidak ingin hal yabg lebih buruk terjadi bukan?".

"Dia bisa menyakitiku kakak, dia boleh melakukannya tapi dia tidak bisa memisahkan anak dari ibu kandungnya!".

"Apa kau tidak sadar dia pria gila yang bisa melakukan apa saja, jika dia mau di bisa menyakiti William semalam".

Bianca terbelalak ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

Gadis itu lupa bagaimana Richard mengarahkan pedangnya pada William tanpa sedikitpun keraguan.

"Apa yang harus aku lakukan kakak".

Bianca melosot kebawah ia terduduk dengan pandangan penuh air mata keputus asaan.

"Dengarkan kakak, kakak akan mengirimu ke benteng pegunungan Arsen, bersembunyilah disana, kakak akan mengawasi Richard, dan akan kakak pastikan keselamatan William, kau mengerti?".

"Tapi...".

"Ini pilihan terbaik kita, aku takut orang gila itu berubah pikiran dan membunuhmu, kau tidak ingin bukan William jadi yatim piatu, suatu saat kau pasti bisa kembali lagi, bisa memeluk putramu lagi". Edmund terus meyakinkan Bianca.

Ketika malam menjelang Bianca dan Jenya memulai perjalanan panjang mereka, pegunungan Arsen berada di sebelah selatan Winchester kurang lebih memakan waktu 3 hari dari sana jadi Bianca akan menghabiskan waktu 10 hari dari ibu kota.

Dari yang Bianca dengar tempat itu merupakan daerah hutan dan pegunungan terpencil, disana sering menjadi tempat keluar masuk para imigran gelap yang melarikan diri dari kerajaan sebelah.

Benar saja setelah perjalanan 10 hari tempat yang mereka tuju terlihat jelas merupakan hutan belantara yang gelap.

Kedua gadis itu mulai ketakutan, walau ada beberapa pengawal yang Edmund utus tapi keadaan yang begitu gelap dan mencekam membuat mereka gentar.

Pohon pohon besar nan tinggi dan suara suara binatang liar mengiringi perjalanan mereka, semakin masuk kedalam hutan.

"Apa kakak tidak salah mengirim kita kesini?". Bianca merinding, udara disini sangat dingin.

"Nona, saya rasa tuan salah tempat". Jenya pun tak kalah ketakutan.

Tapi setelah 2 jam kereta berjalan , deretan pepohonan tadi mulai berangsur menghilang, kini dihadapan mereka terbentang luas perkebunan sayur.

Tidak ada lagi hutan belantara, sepanjang mata memandang, aneka sayuran tumbuh dengan subur.

Ada tomat, brokoli, wortel, kentang bahkan strowberry siap panen.

"Apa ini sebuah desa?". Tanya Bianca pada Jenya.

Jenya juga merasa takjub, Winchester juga memiliki perkebunan tapi bukan perkebunan sayur seperti ini.

"Waahhh nona ini sangat indah".

Kereta kuda mereka berhenti tepat didepan sebuah rumah berlantai dua, tidak terlalu besar tapi terlihat itu rumah paling bagus diantara yang lainnya.

Setelah keluar dari kereta kuda baru mereka sadari mereka berada di dalam sebuah lembah.

Tempat ini dikelilingi pegunungan yang indah, bukit bukit kecil yang telah ditanami aneka sayuran ada pula sungai besar yang mereka lewati tadi.

Beberapa warga desa yang sedang berkebun juga sempat menyapa kedatangan mereka tadi.

"Tempat ini sungguh indah". Gumam Bianca.

"Benar nona, tuan Edmund tidak salah tempat saya akan betah jika tinggal disini". Celetuk Jenya dengan wajah terpukau.

Pintu rumah terbuka, seseorang keluar menyambut mereka.

"Ada yang bisa saya bantu?".

Kedua gadis itu mengalihkan pandangannya.

Betapa terkejutnya mereka melihat pria yang sudah 3 tahun ini menghilang.

Pria itu tidak mengenakan topeng lagi, namun wajah tampannya kini tertutup rambut halus disepanjang rahang hingga dagunya.

Membuatnya terlihat garang.

"Bianca?".

"Hah... Edgar". Bianca masih belum percaya dengan penglihatannya.

Edgar terlihat berkaca kaca ia segera mendekati gadis itu.

"Ini kau, benar benar kau?". Tanya Bianca lagi.

"Benar, ini aku".

Bianca meraba wajah yang ia rindukan itu, sudah sangat lama.

"Tapi...Richard bilang kau sudah mati".

"Orang gila itu, suatu saat aku akan benar benar membunuhnya". Ucapnya kesal, tapi terlihat jelas ia bahagia.

Jenya ikut bahagia, pria yang berhasil mencuri hati nonanya itu ternyata masih hidup, menyaksikan kedua pasangan itu berpelukan membuat Jenya tersipu malu.

Aku ingin bahagia✔️ (28/02/2022)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang