26 | Mead Raf Coffee: Racun Kehidupanku

214 42 41
                                    

Warning!
Adegan kekerasan eksplisit secara verbal dan fisik yang mungkin mengganggu pembaca. Bisa di-skip bagi yang keberatan.

===

Rasanya semua berlalu begitu cepat. Seperti baru kemarin aku merasa bahagia saat double date bersama Dimas dan pasangan Galih-Mira di Batu. Kemarin pagi, hari Minggu yang harusnya kugunakan untuk membantu Mama beres-beres rumah, membuatku tak konsentrasi dan tenang, karena Dimas mengabarkan bahwa Mbah Uti pingsan dan dilarikan ke rumah sakit di Banyuwangi kota.

Minggu malamnya, Bulik terpaksa meninggalkan Yasmin sendirian di kontrakan, karena harus ke Banyuwangi menemani Mbah Uti. Rencananya Om yang akan ganti menemani Yasmin dan mengurus persiapan sidang kedua perceraiannya dengan Haris.

Namun, jadwal Om ke Malang harus ditunda sampai Selasa, karena masih belum bisa meninggalkan Bali. Akhirnya Bulik menitipkan Yasmin padaku dan Dimas. Bulik juga melarang Yasmin pergi ke mana pun, karena selain masih agak lemah, juga karena emosinya belum stabil benar.

Aku menghela napas berat sambil melirik arloji. Sudah masuk waktu Asar rupanya. Sepertinya waktu berjalan sangat lambat, sampai Dimas selesai menjalani segala aktivitasnya sebagai dosen baru di kampus pada hari pertama ini.

Rencana kami berubah, tentu saja. Awalnya setelah nanti Dimas pulang dari kampus, kami akan makan malam di rumah Bulik. Namun, karena Bulik pulang ke Banyuwangi, maka kami hanya akan mampir sebentar dan memberikan makanan pada Yasmin, untuk melanjutkan makan malam di rumahku, sambil menunggu Mama pulang dari Batu.

Tentu saja Dimas akan ke Banyuwangi. Dia mendapat izin dari kampus hari Rabu sampai Jumat. Selama tiga hari itu, dia akan menemani Mbah Uti di Banyuwangi. Aku sendiri sedang mengusahakan untuk mendapatkan izin dari kantor. Apabila tidak mendapatkannya, mungkin akhir pekan baru aku bisa ke Banyuwangi bersama Mama.

Aku sedang berada di The Jeann's saat ini, telah mengganti seragam kerja dengan kemeja dan celana jins. Sambil menatap langit Malang yang mulai mendung, aku ditemani mead raf coffee hangat. Manisnya madu yang bercampur espresso mulai menyeruak masuk memenuhi indera pengecapku.

Pesan terakhir Dimas yang kubaca 10 menit lalu mengabarkan kalau dia kemungkinan baru bisa keluar dari kampus sekitar jam 17.00. Namun, aku mengusulkan kalau kami berdua salat dulu di musala The Jeann's, baru selesai magrib meluncur ke rumah Yasmin. Dimas pun menyetujuinya.

Kusesap pelan mead raf coffee sambil mendengarkan alunan Autumn dari Four Season milik Vivaldi. Rasanya syahdu sekali. Ingatanku jadi berputar pada kenangan saat pertama kali bertemu Dimas di kafe ini.

Dimas yang masih kuliah S-1, tengah berjuang menyelesaikan skripsi. Siapa sangka, 3 tahun setelahnya kami berdua bertemu lagi. Dimas memang tak ingat kejadian saat kami berdua bertemu dulu dan aku juga tak masalah dengan itu.

Bagiku yang penting sekarang kami bisa berjalan bersama. Meski banyak halangan datang silih berganti menguji perjuangan, tetapi kami bertekad untuk tetap saling menguatkan dan terus berpikir positif bahwa impian kami untuk bisa membangun keluarga yang bahagia akan dapat terwujud.

Ya, tak menampik juga, sebenarnya dalam diriku masih ada sisa rasa mengganjal itu, terkait statusku yang janda dan Dimas yang masih lajang. Kemudian jarak usia kami yang sangat jauh. Belum lagi tentang masalah Haris yang sepertinya masih mengganjal tak jelas di dalam hubungan kami.

Aku kadang takut sekali kalau mantan suamiku itu akan kembali merenggut kebahagiaan yang kini sedang kusulam bersama Dimas, seperti dia yang dulu pernah membuatku hancur berkeping-keping, setelah berkhianat serta membuangku begitu saja. Lebih parahnya, perceraian kami berakhir tak baik dan berurusan dengan hukum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kau dan Kopi di Senja Hari [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang