Aku masih ingat semuanya. Musim gugur yang hening, selembar sajak picisan, dan sepasang sepatu merah. Seharusnya, malam itu, yang merah hanya darah. Darahmu.
Seorang wanita tampak menyandarkan punggungnya pada sofa, menyesap baekseju dari botol di tangan kanannya, dan menyilangkan kaki jenjangnya yang dihiasi sepasang sepatu merah hati berhak runcing. Beberapa langkah kaki di hadapannya, tergeletak sesosok pria tak bernyawa. Darahnya menyimbah lantai.
Isi botol di tangan wanita itu tersisa setengah saat serdawanya memecah keheningan. Wanita itu kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia tertawa renyah. Entah apa yang dilakukannya, merayakan sebuah kematian tragis bukanlah sesuatu yang elok diucapkan.
"Kalian mengatakan aku tak suka minuman keras dan berpesta. Tetapi, aku minum baekseju. Mereka bilang minuman ini hanya cairan herbal yang mungkin membuat manusia hidup hingga seratus tahun." Wanita itu berbicara entah kepada siapa. Dirinya atau mayat pria tampan bersetelan gelap di hadapannya.
Dengan anggun, wanita itu bangkit, meraih sebuah buku sejarah Korea di atas meja kopi di sisi sofa. Botol di tangan kanan dan buku sejarah di tangan kiri. Kedua benda itu kemudian dilemparkannya ke atas darah sang pria.
"Itu bohong. Aku ... hidup lebih dari seratus tahun."
***
Koreya, Musim Panas, 1870
Istana Kerajaan Koreya didera panas yang membuat tubuh berpeluh keringat. Beberapa naesi istana tampak tergopoh-gopoh membuka jendela-jendela di ruang pertemuan petinggi istana. Memastikan mereka tidak murka karena kehabisan udara.
"Harusnya Biro Penyedia Air meminta bawahannya menyiram seluruh halaman. Raja baru saja menasbihkannya dan dia begitu abai." Janggut panjang Menteri Perencanaan bermain diterpa angin yang datang dari kipas yang sedari tadi bergerak-gerak di tangan kanannya.
"Mudah saja menggulingkan beberapa pejabat baru yang tak cakap. Hanya saja, istana sedang disibukkan dengan pernikahan Raja Muda," terang Menteri Kehakiman.
Istana Koreya memang sedang mempersiapkan pernikahan Raja Muda Junjong. Bisik-bisik mulai beredar di antara para pejabat tinggi. Konon, calon permaisuri dipilih keluarga kerajaan karena kebodohannya.
"Ayahnya masih kerabat kerajaan, tetapi dia adalah seorang yatim. Ibunya pun bukanlah seorang yangban. Calon permaisuri dan ibunya tak akan mengambil peran dalam pemerintahan Raja Muda." Menteri Perencanaan berbisik kepada Menteri Kehakiman.
Bisik-bisik para petinggi tak berhenti di dalam ruang-ruang rahasia. Bagaikan anak panah yang terlepas dari busur-busur pasukan perang, berita itu melating cepat. Tak hanya membangkitkan rasa ingin tahu, tetapi juga menjadikan Min Hee Young, sang calon pengantin sebagai bahan lelucon penghuni istana. Kelakar tentang kebodohannya sudah tersiar di antara para keluarga kerajaan yang hidup di bilik-bilik hanjin berukir, di antara para dayang yang menyisir rambutnya demi menarik hati para pangeran, di antara para pengawal istana yang berjaga dari pemberontakan rakyat yang menolak kenaikan pajak.
Meski begitu, masih ada seseorang yang menganggap Min Hee Young laik menjadi permaisuri, dialah Ibu Suri Agung. Baginya, sosok Min Hee Young tidak sempurna, tetapi wajahnya tegas dan menyiratkan pesona terpendam.
Ibu Suri Agung meyakini satu hal, bukan tandu berhias emas dan derap langkah para pengusung yang akan mengangkat derajat kehormatan Min Hee Young. Bukan pula bedak beras berwadah tembikar, bunga kesumba pemoles bibir, dan jelaga yang membentuk alisnya. Satu hal yang membuatnya laik dan padan adalah cinta dari Raja Muda Junjong. Sayangnya, hingga beberapa tahun pernikahan pun, Permaisuri Min gagal menaklukkan hati sang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Stiletto
FanfictionSaat terpilih menjadi permaisuri Raja Muda, Min Hee Young harus menerima kenyataan bahwa istana tak berpihak kepadanya dan sang suami lebih memilih selir kesayangannya. Ketika jiwanya berpindah ke ratusan tahun setelah "kematiannya" yang misterius...