“Ke toko buku bentar ya, Ke.” Keluar dari Cinema, Kiki berjalan menuju toko buku yang ada di mal. Dia berniat mencari referensi lain untuk belajar Fisika.
“Lama juga tak masalah, Ki,” jawab Kesy saat mereka sudah di depan toko buku. “Mau cari buku apa?”
“Fisika, Ke,” ucap Kiki.
Saat memasuki toko itu, mereka disambut dengan aroma ruangan yang sangat menggoda Kiki untuk membeli semua buku yang ada. Namun, dia sadar untuk menghemat pengeluaran bulanannya. Padahal, buku-buku di kamarnya sudah seperti perpustakaan rumah.
“Ya sudah, aku mau ke sana dulu, lihat-lihat novel.” Kesy menunjuk rak yang di atasnya menggantungkan papan kayu bertulis novel.
Kiki mengangguk, lalu berjalan menuju rak di barisan buku pelajaran. Di sana sudah berjejer buku-buku dari berbagai pelajaran. Mata Kiki tak sengaja menangkap bayangan tinggi di lantai. Dia berpikir mengenal bayangan itu, sama seperti saat di ruang musik tadi pagi, yaitu seorang laki-laki yang ditemuinya beberapa kali belakangan ini. Dia sedang menatap buku Fisika yang menurut Kiki aneh. “Arsen?”
Merasa namanya terpanggil, laki-laki itu segera menoleh, “Oh, hai.”
Kiki merasa ekspresinya seperti mengatakan dia tak suka pertemuan ini. Jika memang benar, seharusnya Kiki tidak menyapa. Kiki juga merasa ada hal yang ditutupi dari kalimatnya, jawabannya menggantung. Dilihat dari mimik wajahnya, Arsen seperti ingin mengatakan hal lain. Kiki ragu mendekatinya. Akhirnya laki-laki itu yang mendekatinya.
“Fisika lagi? Sebenarnya aku sangat penasaran kenapa laki-laki dari gedung Da Vinci belajar Fisika?” tanya Kiki tanpa ragu.
“Pertanyaanmu itu selalu meremehkan, si Rambut Pendek.”
“Apa?” Kiki mengangkat sebelah alis. Tidak terima dengan panggilan itu.
“Maksudku, coba kamu ubah kalimatnya sedikit. Apa yang ingin kamu pelajari dari Fisika, atau kenapa Fisika membuatmu penasaran? Nah, begitu lebih baik, kan?” sarannya.
Kiki memalingkan wajah, lalu merapatkan giginya. “Memangnya ini tempat peribadatan?”
“Ha?” Kali ini Arsen yang melongo.
“Kenapa harus ceramah di sini.”
Mendengar itu, Arsen langsung memukul dahi dengan buku Fisika yang sedari tadi di tangannya.
“Ngomong-ngomong, buku Fisika kemarin sudah dikembalikan ke perpustakaan?”
Arsen menggeleng.
“Apa kamu membaca buku itu? Membukanya aja pasti tidak. Jadi, lebih baik kamu serahkan buku itu ke aku,” pinta Kiki dengan paksa.
“Who cares?”
“Aku butuh buku itu, Arsen,” ucap Kiki dengan nada paling lembut.
“Melihat sikapmu yang seperti ini, membuat aku tidak ingin mengembalikan buku itu.”
“Shit,” umpat Kiki dengan penuh penekanan.
“Hei, Arsenio. Kita bertemu lagi, ya." Kesy tiba-tiba muncul di antara mereka. Kini, Kiki merasa kesal karena Kesy akrab dengannya. Padahal, Kiki sangat ingin mencincang tubuh laki-laki menyebalkan itu.
“Kita bertemu beberapa kali, ya. Tidak lucu kalau besok kita bertemu lagi, aku tak bisa menyapamu. Namamu siapa?”
Kesy menoleh ke Kiki yang sedang mendengus, “Kamu tak perlu tahu namaku.”
“Kiki,” jawab Kesy.
Astaga, anak cantik ini. Kenapa mulutnya tidak dikunci saja, umpat Kiki dalam hati.