Hai aku Devi. Saat aku mulai nulis cerita ini usia aku 19 tahun. Sebuah kisah yang ingin aku bagi lewat tulisan ini adalah tentang realita sebuah persahabatan dan semua yang timbul karena intensitas waktu yang membuat kita semakin dekat.
Semua berawal dari sebuah pertemuan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Awal mulanya aku bertemu dengan “dia” pada saat kita mengikuti tes saringan masuk universitas dimana kita melanjutkan pendidikan di universitas ini sekarang. Aku yang pada saat itu belum memiliki kawan cenderung lebih memilih diam sendiri dibandingkan harus bergabung dengan orang – orang yang tidak aku kenal. Pada saat itu mungkin hanya aku yang memperhatikan sosok “dia” yang “autis” sendiri dengan gadget yang “dia” bawa. Setelah melalui tes saringan masuk tersebut tibalah kita pada hari pengumuman hasil tes kemarin. Yang secara tidak disengaja dan tidak diduga sebelumnya aku bertemu kembali dengan “dia” yang mungkin tidak menyadari bahwa ada aku disitu. Kemudian pada saat kita diharuskan untuk hadir ke kampus dan mengikuti acara penyuluhan mahasiswa baru aku pun bertemu lagi dengannya. Tapi karena pada saat itu aku masih terlalu malu untuk mengajaknya berkenalan aku hanya bisa melihat dan memperhatikan “dia” tanpa berani untuk mengajaknya berbicara.
Awal perkuliahan pun dimulai. Untuk pertama kalinya aku masuk kelas dibangku perkuliahan. Tidak begitu sulit bagiku untuk beradaptasi karena secara tidak disangka aku sekelas dengan teman aku sewaktu masih duduk dibangku SMA dulu, Sukma namanya. Aku melihat keseluruh isi kelas berharap “dia” berada dalam satu kelas yang sama dengan ku, tapi nyatanya “dia” tidak satu kelas di matkul itu. “Ya sudahlah yah”. Keesokan harinya, hari kedua perkuliahan, aku masih satu kelas dengan Sukma, dan mulai akrab dengan teman – temannya juga. Pada saat itu aku tidak ingat “dia” alhasil aku cuek saja dan ternyata tanpa aku sadari “dia” berada dikelas yang sama denganku. Pada hari ketiga perkuliahan, tak ku sangka dan tak ku duga setelah bubar kelas jam pertama aku bertemu dengan orang yang selama ini aku cari ”upss, bukan “dia” yang aku maksud loh”. Dia yang selama ini selalu ditanyakan oleh kaka dan kaka ipar aku. Ya siswa didik kaka ipar aku di SMA tempat beliau mengajar, Martini namanya. Dan dari dia pula aku mulai mengenal sosok “dia”.
Setelah bertemu dengan Martini akupun menjadi akrab dengannya. Karena pada jam kedua kita tidak sekelas akhirnya kita berpisah setelah kelas pertama. “Dia” yang aku cari ternyata teman dari Martini dan sekelas denganku pada jam kedua. Dengan bermodal nekat aku memberanikan diri untuk menyapa “dia” dan mengajaknya berkenalan secara resmi. Aria namanya. Dan dari situlah aku mulai akrab dengannya. Berhubung dosennya berhalangan hadir pada saat itu, aku dan Aria hanya bisa mengobrol dan memutuskan untuk menunggu Martini di depan kelasnya. Ternyata disitu pun ada Mutia yang sama – sama menunggu Martini yang ada di kelas. Dari situ aku berkenalan dengan Mutia yang memang sebelumnya Mutia Aria dan Martini sudah lebih dulu saling mengenal. Yah dari sini lah awal mula persahabatan kita dimulai.
D’MAM
Kita menyebut persahabatan kita dengan sebutan D’MAM. D’MAM itu singkatan dari nama kita berempat Devi, Martini, Aria, dan Mutia. Entah atas dasar apa kita mencetuskan nama D’MAM itu, tapi ya itu lah kita penuh dengan ketidaksengajaan. Kita selalu bersama – sama saat kita di kampus, saling berbagi canda, tawa, tangis, dan harap bersama. Hingga tanpa kita sadari kita akan saling cemburu mencemburui saat salah satu diantara kita memisahkan diri dari kita dan bergabung dengan teman – teman yang lain diluar D’MAM itu.
Seiring berjalannya waktu dan kedekatan kita dalam persahabatan yang semakin erat, tanpa aku sadari timbul rasa yang lebih yang lain dari rasa sekedar sahabat kepada salah satu member D’MAM, cowo satu – satunya di D’MAM, yups Aria!!! Aku memiliki rasa sayang yang lebih dari sekedar sahabat kepadanya. Hingga suatu saat aku mencoba untuk memberanikan diri ungkapkan perasaan sayangku padanya, dan ternyata rasa sayangku padanya itu tidak bertepuk sebelah tangan, dia pun mengungkapkan rasa yang sama kepadaku. Tapi entah mengapa Aria tidak mau membuat hubungan ini lebih dari sekedar sahabat, sulit untukku meyakinkan dia untuk memulai suatu hubungan yang lebih dari sahabat. Dia hanya berjanji kepadaku untuk sama – sama menanti keberpihakan sang waktu untuk menjawab akan seperti apa ujung dari hubungan aku dan dia.
Seiring dengan berjalannya waktu yang terus berlalu kita berteman dan menjalin hubungan tidak hanya berempat. Semakin lama relasi kita di kampus semakin luas dan banyak. Tetapi tidak kesemuanya kita dekat hanya beberapa orang saja yang menjadi lebih akrab dengan kita. 3 orang diantaranya itu Adi, Intan dan Bayu. Pada awal kedekatan D’MAM dengan 3 orang itu sempat terjadi perselisihan paham antara aku dan member D’MAM yang lainnya. Dalam hal ini mungkin aku merasa cemburu dan merasa terasingkan oleh yang lainnya.
Semakin hari kita semakin dekat dan lama kelamaan aku pun bisa menerima kehadiran mereka dan justru aku menjadi lebih akrab dengan mereka. Sejak itulah kami selalu bertujuh. Walau telihat baik di luar karena kedekatan dan keakraban kita, tetapi tetap saja di dalamnya kadang terjadi perselisihan – perselisihan kecil, karena disini kita tidaklah sendiri dan tidak pula berempat tetapi sekarang kita bertujuh dan tidak mudah bagi kita untuk menyatukan pendapat kita, menyelaraskan rasa, hati dan pemikiran kita. Tujuh kepala, tujuh hati, tujuh rasa, tujuh pemikiran, tujuh sifat, tujuh karakter dan tujuh keinginan yang berbeda bersatu dalam satu ikatan persahabatan.
BADAMMI
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, BADAMMI adalah kita bertujuh, yups Bayu, Adi, Devi, Aria, Martini, Mutia dan Intan. Kita sepakat untuk memakai nama itu karena singkatan dari nama – nama kita bertujuh dan mungkin dari istilah BADAMMI itu sendiri yang artinya berunding. “Mungkin, ga tau juga sih, tapi ini lah kita”.
Kita bertujuh selalu melewati waktu bersama. Ngerjain tugas bareng, makan bareng, cerita – cerita, berbagi senang, sedih, tawa, ceria dan tangis bersama, walau kadang kita suka agak lebay tapi seru. Saking akrabnya, aku punya panggilan sendiri buat mereka, “OM” Bayu, “PAPIH” Adi, “MAMANG” Aria, “MIMI” Mar, “BE” Mutt sama “TATAN” panggilan buat Intan. Entah mengapa panggilan itu jadi melekat pada diri mereka, dan semakin akrab ditelinga kita. Aku sendiri dipanggil “BEBE”, “hmmm apa maksudnya coba?” Tapi ya sudahlah yah terima saja buat seru – seruan ini.
Kita bertujuh itu saling menyayangi dan saling melindungi satu sama lain. Tetapi aku merasa ada suatu perubahan yang terjadi dari sosok mamang setelah kita bergabung menjadi BADAMMI. Mamang yang pada saat di D’MAM adalah sosok pribadi yang hangat, care, ceria, dan bertanggungjawab kepada kita kini perlahan mulai berubah menjadi sosok pribadi yang dingin, acuh dan menjadi sedikit pendiam. Aku kehilangan sosok mamang yang pernah aku kenal dulu. Mamang yang semakin hari semakin menjauh dari sisiku membuat aku semakin dekat dengan papih, tatan dan om. Mereka yang usianya lebih tua dari D’MAM ini sangat peduli sama kita, mungkin karena lebih tua dari kita itulah yang menjadikan mereka merasa bertanggungjawab pada kita.
Sempat terjadi konflik antara mamang aku dan papih. Mungkin Karena mamang yang menjauh dari aku aku menjadi lebih dekat dengan papih. Kemana – mana aku selalu dengan papih. Yang awalnya tiap pulang aku sama mamang sekarang aku pulang sama papih. Di kampus juga lebih sering sama papih dibanding sama mamang. Yah, konflik terjadi mungkin karena mamang merasa cemburu aku terlalu dekat sama papih. Tapi dibalik sikap mamang yang mulai acuh tetap saja mamang itu peduli sama aku. Emang perasaan itu ga bisa dibohongi.
Waktu yang terus bergulir membuat BADAMMI semakin akrab dan semakin dekat. Lambat laun aku dan om pun semakin dekat pula. Setelah masalah aku sama mamang muncul kini timbul masalah baru yaitu masalah aku dan om. Jangan dikira masalah dalam arti yang sebenarnya tetapi dalam hal ini masalah yang timbul adalah masalah hati dan perasaan. Yah, jujur waktu yang membuat perasaan itu datang. Aku dan om yang semakin dekat membuat aku lambat laun menyimpan perasaan khusus padanya yang membuat aku galau setengah mati. Om bisa memberi aku perhatian dan kenyamanan saat aku berada di dekatnya disaat mamang mulai menjauh dariku.
Pada saat semua itu terjadi dan berkembang semakin dalam, sudah sangat terlambat bagi ku untuk menghentikannya dan mencoba menghindari itu. Kini aku bingung untuk bertindak dan memilih, memilih antara mamang atau om. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing – masing. Mereka pun memiliki persamaan yaitu takut untuk menjalin hubungan yang lebih dari yang sekarang ini karena aku memahami keadaannya sekarang ini kita adalah sahabat.
Kita tidak akan pernah tahu sampai kapan persahabatan ini akan terjalin.
Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di depan sana.
Kita pun tidak akan pernah tahu bagaimana akhir dari kisah kita ini.
Aku hanya berharap kisah ini tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun, hanya ada maut yang akan memisahkan tali persahabatan dan silaturahmi yang sudah terjalin ini. Apa pun yang akan terjadi di depan sana aku percaya takdir baik yang telah digariskan Tuhan bagi kita “BADAMMI”.