"Kak! Kak Rara! Ada undangan nih!"Saat itu aku yang sedang membaca sebuah novel mendengar suara teriakan Rere, Adik semata wayangku meneriakkan sebuah kalimat yang membuat semangatku menghilang. Sudah berapa undangan pernikahan yang aku hadiri. Nyatanya setiap kali aku menghadirinya, satu-persatu temanku akhirnya membawa Suami atau Istri mereka, atau pacar mereka. Tapi aku hanya datang dengan Rosy, salah satu sahabatku yang sudah mendapat status Janda anak satu karena Suaminya meninggal dua tahun yang lalu.
Satu dari sahabatku yang lain Alya. Pribadinya lembut. Berbeda dengan Rosy. Sebenarnya dulu Rosy juga lembut, namun sekitar dua tahun yang lalu, sifatnya mulai berubah, lebih keras dengan dirinya sendiri, karena sadar bahwa dia harus menjadi kuat, agar tetap bisa menjadi seorang Ibu sekaligus Ayah untuk anaknya. Alya adalah seorang Istri dari seorang Tentara Angkatan Udara. Ibu dari dua anak itu sangat baik mengajarkan kedua anaknya, menurutku.
Umurku saat ini 28 tahun, statusku masih single tanpa ada seorang pun yang sedang dekat denganku. Kenapa demikian? Karena sejujurnya aku masih belum bisa melupakan seseorang yang pernah menjadi spesial di hatiku, atau tepatnya masih menjadi spesial. Karena setelah selesai dengannya, Rosy mengenalkan beberapa Pria denganku, namun tidak ada yang bisa memperlakukan aku layaknya Dean memperlakukanku. Iya, dia Dean. Orang yang masih menjadi spesial di hatiku, belum ada sesuatu yang membuat dirinya keluar dari hatiku, kecuali satu, karena kita memang harus berpisah.
"Kak, gue panggilin juga. Ini ada undangan!" Rere tiba-tiba membuka pintu kamarku dan masih berdiri di ambang pintu, menggerutu.
"Iya, taro aja di meja. Nanti gue liat."
"Bilang apa?"
"Tengkyu."
"Udah solat belum?" tanya Rere.
"Solat apa?"
"Dzuhur, Kak!" Rere setengah teriak. "Jangan-jangan lo belum mandi ya? Ih, jorok! Ngapain sih lo, Kak? Mandi kek! Solat sana! Inget kata Mama, lo itu belum nikah, selama lo belum nikah, terus lo ninggalin solat, nanti Papa sedih. Lo masih inget kan sama Papa? Bisa kebayang gak kalo Papa sedih disana?"
Hanya itu yang bisa membuat rasa malasku menghilang. Iya, Papa. Sosok itu! Sosok yang sudah meninggalkan kami semua dengan kesedihan yang mendalam. Sosok yang selalu mengajarkan kami tentang pentingnya agama di hidup kami. Sosok yang tidak pernah lupa memberi kasih sayangnya yang tak terhingga sehingga setelah kepergiannya yang sudah hampir 10 tahun itu, kata-katanya tetap melekat di ingatan kami.
Aku melipat sajadah dan mukenaku setelah selesai solat dan membaca Al-quran dan menaruhnya di kursi. Aku melirik ke sebuah bingkai foto yang berdiri apik di meja kerjaku. Itu adalah foto keluargaku dan masih ada Papa yang tersenyum renyah di dalamnya. Ah, sepertinya aku mengingat sesuatu. Aku mengambil bingkai itu dan membukanya. Ternyata benar, masih ada foto Dean yang aku selipkan di belakang foto keluargaku di dalam bingkai itu. Foto Dean bersamaku waktu kami jalan di suatu akhir pekan.
Flashback...
Aku menatap sosok itu, Pria tampan yang saat ini duduk di depanku. Memesankan makanan kami. Aku tidak perlu mengkoreksi pesanannya karena dia sudah tahu apa yang aku suka dan yang tidak aku suka hanya dengan sekali ucap. Dean sangat memperhatikanku. Menurutku, dia sosok yang mendekati sempurna. Pria tampan, raut wajah ramah, pintar, dan selalu memperlakukan aku layaknya aku berharga dimatanya. Kalau aku melakukan kesalahan, dia menegur dengan hati-hati tanpa pernah menyinggung perasaanku. Aku tahu banyak Perempuan yang suka padanya, tapi Dean hanya melihat ke arahku. Bersamanya aku tak perlu memikirkan hal yang tidak perlu aku khawatirkan.
Setelah selesai makan, kami masih aja jeda beberapa waktu untuk jadwal menonton. Dean menggandeng tanganku sambil tersenyum. Dan kami berhenti di sebuah mushola di dalam mall.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
Short StoryHanya berisi cerita pendek Perchapter langsung selesai