"Tunggu, tunggu. Latihan neraka?" Alisku terangkat, masih berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh Schatz sebagai 'latihan neraka' itu.
Schatz mengangguk. "Aku punya seorang kenalan yang bisa mengajarimu." Ia memperlihatkan cengirannya. "Nah, nah! Sebaiknya, sekarang kau cepat berdiri sebelum aku menendang bokongmu nantinya."
Aku buru-buru berdiri. Bukan, bukannya karena aku takut kalau apa yang dibilang oleh Schatz menjadi nyata. Tidak; aku bahkan tidak percaya bahwa Schatz bisa menendangku dengan ukurannya yang sekecil itu. "Seorang kenalan?"
"Ya," ujar Schatz singkat seraya melayang keluar dari rumah, menungguku yang tengah mengunci pintu sejenak. "Sebenarnya sih, kenalan Rebecca di dunia ini."
Aku mengangguk. Sejenak, aku merasa bersyukur bahwa Schatz ada di sampingku. Bayangkan saja bila peri cilik itu tidak ada. Aku harus mengatasi semuanya, sendirian. Bisa-bisa aku pingsan dan mati terlebih dahulu sebelum aku bisa menyelamatkan Mom.
Aku dan Schatz berjalan menyusuri kota yang tampak berantakan. Lendir-lendir menempel di jalanan kota dan batang pohon, bahkan ada beberapa pohon yang tumbang.
"Wow." Aku bergumam pelan. Tidak pernah menduga bahwa kekuatan slime ternyata begitu besar.
"Ini belum seberapa," timpal Schatz. "Kekuatan sebenarnya jauh dari yang kau lihat sekarang." Schatz kembali melayang, melintasi kota, sementara aku mengekor di belakangnya.
Tidak banyak yang bisa dideskripsikan dari pemandangan kota selain puing-puing bangunan dan pohon-pohon yang tumbang, bagaikan sehabis diterjang tsunami dan puting beliung. Mungkin aku menghabiskan empat puluh lima menit mengelilingi kota sebelum mencapai perbatasan kota dengan hutan.
Hening. Suasana tipikal tempat-tempat angker. Aku tidak menyukai keheningan. Keheningan mampu membawa pikiranku terbang ke tempat yang tak seharusnya. Aku menelan ludah. Pepohonan di sini terlalu tinggi dan lebat, hanya memperbolehkan sinar yang diizinkan untuk masuk dan menerangi seisi hutan.
"Di sinikah tempatnya?" tanyaku tidak yakin. Aku tidak pernah suka menyusuri tempat-tempat yang gelap seperti hutan. Sudah pernah kubilang bahwa aku adalah seorang pengecut. Bahkan, ketika temanku mengajak ke bioskop ramai-ramai untuk menonton film horror beberapa pekan lalu, aku menolak walaupun diiming-imingi uang lima dua puluh dolar.
Schatz menggeleng. "Belum sampai," sahutnya seraya memicingkan mata. "Kita harus terus berjalan. Pondok Hubbers masih di dalam hutan." Sesudah berkata demikian, Schatz melayang masuk hutan, menerobos dedaunan yang menghalangi jalannya.
Aku mendengus seraya kembali mengekor di belakang Schatz. Jujur saja, aku tidak suka ide 'menelusuri hutan' ini. Mengapa tidak Schatz saja yang masuk sendirian? Aku akan merasa lebih senang menunggu diantara siraman panas matahari daripada harus berjalan diantara rimbunnya dedaunan ini.
"Diam. Berhenti berjalan."
Aku berhenti tepat pada aba-aba Schatz. Peri cilik itu terdiam. Telunjuknya teracung gemetar, menunjuk sosok di balik pohon yang tidak begitu terlihat.
"...Serigala. Mereka adalah makhluk yang cukup tangguh; berkualifikasi S sampai SS, kekuatan magis es. Berhati-hatilah."
Aku mengangguk lambat-lambat. Sejenak, kalimat yang dilontarkan Schatz sebelumnya berkelebat di pikiranku. Hutan penuh dengan makhluk berkekuatan magis. Salah sedikit, ucapkan selamat tinggal pada nyawaku.
"Jadi... Langkah selanjutnya, Schatz...?"
"Oh, ayolah, Rebecca! Aku sudah memberimu senjata sebelumnya, kan!" Schatz menggerutu tidak sabaran, namun tatapan matanya tetap waspada. Menantikan setiap gerak-gerik baru dari sang musuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slime
FantasyDua dunia yang terlihat sama-namun, apakah benar-benar seratus persen sama, dengan segala rintangan dan bahaya yang menunggu di salah satunya?