Chapter 1 : Yeon-Hwa

162 18 2
                                    

미래는 꿈을 믿고 일을 전심으로 일하는 사람들에게 달려 있습니다. 온 마음으로 당신의 꿈을 이루십시오.
"Masa depan adalah milik orang yang percaya akan mimpi dan bekerja sepenuh hati untuk mewujudkannya. Raih impianmu dengan sepenuh hati."



Aku tidak akan kembali ke Westeria.

Tidak sekarang. Tidak saat para serigala itu masih mengikutiku ke mana pun aku pergi.

Ini sudah berapa hari? Aku mulai kehabisan ide. Ke mana lagi aku bisa pergi sekarang? Semua tempat persembunyianku telah mereka ungkap. Ke mana pun aku pergi, para serigala itu berhasil menemukanku. Aku ingin pulang ke Westeria, menemui ayah. Dan ibu. Tapi jika aku pulang sekarang, para serigala itu bisa saja membuntutiku dan merepotkan ayah. Aku tidak bisa mengambil risiko itu meski aku sebenarnya yakin ayah bisa membunuh semua serigala itu tanpa melihat. Aku hanya tidak mau ayah jadi khawatir dan melarangku untuk kembali ke Nordhalbinsel, melarangku untuk menjadi apa yang kuinginkan. Padahal akhirnya aku berhasil meraih cita-citaku itu. Aku telah berhasil menjadi salah satu ksatria wanita di bawah pimpinan Jendral Arianne Montreux dan aku tidak akan melepaskan semua ini hanya karena para serigala sialan itu.

Lolongan serigala itu menghantuiku ke mana pun aku pergi. Si pemimpin serigala, yang paling besar dan berwarna putih seperti seluruh bulunya ditutupi oleh salju, berlari dengan sangat cepat. Aku mulai kehabisan napas. Kupaksakan kakiku untuk terus berlari, tapi percuma. Serigala itu menang. Dia jauh lebih cepat dariku.

Kini dia ada di hadapanku. Taringnya yang panjang mencuat keluar. Taring itu bisa merobek tenggorokanku jika aku berkedip sekali saja. Jantungku berpacu, napasku memburu. Aku melihat ke sekelilingku, tidak ada jalan. Entah ada berapa, puluhan mungkin ratusan serigala berdiri dengan keempat kaki mereka masing-masing, membentuk lingkaran di sekitarku. Tidak ada jalan keluar bagiku.

Si pemimpin serigala itu melangkah perlahan ke arahku. Tahu bahwa dirinya sudah menang. Tahu bahwa aku tidak bisa lari darinya. Dia menggeram. Badai salju bergemuruh.

Inilah saatnya. Aku akan mati. Paling tidak aku akan mati sebagai seorang ksatria. Aku tidak akan lari lagi.

Aku menggenggam pedangku dengan erat, menghunuskannya ke arah Si Serigala Salju.

Serigala itu menyeringai, memperlihatkan taring-taringnya. Begitu mengerikan sehingga aku berusaha untuk mengalihkan pandanganku. Ke arah matanya yang sebiru es. Di mata itu, aku bisa melihat wajahku sendiri. Putih pucat, takut, putus asa. Mata itu memperlihatkan sosok diriku yang tak pernah ingin kulihat. Sosok gadis yang hidup dalam persembunyian. Gadis yang tidak pernah sesuai di mana pun. Gadis yang jauh dari tempat dia seharusnya berada. Mata biru es itu mengingatkanku pada siapa diriku sebenarnya.

Jika aku akan mati sekarang, mata serigala itu adalah hal indah terakhir yang kulihat. Dan aku tidak akan menyesalinya.

***

Aku membuka mataku ketika aku mendengar suara Feodora Rozhdestvenskiy, seniorku, teman sekamarku, sekaligus rekan sesama pengawal Ratu Eleanor. Tidak pernah aku merasa selega ini mendengar suaranya yang menyebalkan. Dia menarikku dari maut yang hampir kujumpai dalam mimpi.

Tadi itu hanya mimpi. Mungkin karena beberapa hari terakhir aku selalu dikejar-kejar oleh serigala, aku sampai memimpikannya. Benar-benar mimpi buruk.

"Kau mau terus bermalas-malasan, Welsh? Ratu saja sudah bangun masa kau masih tidur!" Feodora membentak.

Aku memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur nyamanku di Istana. Sebagai pengawal Ratu, kami semua mendapat kamar dan tempat tidur yang luar biasa nyaman dan tidak pernah kuimpikan seumur hidupku. Aku tidak bisa membayangkan senyaman apa kasur yang ditempati oleh Ratu Eleanor di Istana Putra Mahkota. Seharusnya dia menempati Istana Utama atau paling tidak Istana Ratu, tapi dia bersikeras untuk tetap berada di Istana Putra Mahkota. Mungkin karena dia masih belum bisa menerima kematian Putra Mahkota Xavier. Sungguh romantis.

Lotus of East PalaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang