Kurasa aku sedang bermimpi.
Kudengar samar suara yang aku kenali sedang membicarakan sesuatu dengan serius. Sialnya aku yang masih setengah sadar tidak lancar mencerna apa yang sedang mereka bicarakan. Mataku masih terlalu berat untuk terbuka. Entahlah, mungkin aku harus menunggu beberapa menit lagi untuk bisa benar-benar bangun.
"Sur ...." Ibu menepuk-nepuk tanganku seperti biasa. Suara lembutnya selalu berhasil membangunkanku dari tidur.
Aku membuka mata, kemudian mendudukkan diriku di atas kasur kapuk yang reot. Entah sudah berapa lama aku tertidur.
"Bangun, Sur, sudah sore. Ayo, bantu-bantu orang di luar."
Ibu beranjak meninggalkanku. Sementara aku masih berupaya mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang tidak tahu ke mana perginya.
Ada yang berbeda hari ini. Matahari tidak seterang hari-hari kemarin padahal langit juga sedang tidak mendung. Kata ibu, malam ini akan terjadi gerhana. Itu juga sebab orang-orang sibuk berbenah menyambut kedatangannya yang sakral bagi penduduk desa.
Orang-orang di desaku memang sangat kolot. Mereka masih memegang teguh adat istiadat nenek moyangnya. Padahal "katanya", peradaban di luar sudah semakin canggih dan maju. Mungkin karena kami tinggal di pelosok desa yang sangat jauh dari kota, makanya kami juga tertinggal sejauh itu.
Karena masih terus berpegang pada kata nenek moyang, orang-orang di desaku juga memiliki hari-hari keramat kepercayaan para leluhurnya. Ketika hari itu tiba, biasanya mereka beramai-ramai akan menyambutnya dengan ritual besar yang dipimpin oleh tetua desa dengan segala mantranya. Seperti yang sedang mereka lakukan hari ini.
"Surya, bantu bapak!" Aku melirik ke arah sumber suara. Kulihat bapak sedang menyusun potongan kayu yang sudah kering di samping rumah. Lekas aku menyusul ke arahnya.
Usia bapak sudah lebih lima puluh tahun. Sebagian rambutnya sudah memutih. Jalannya sedikit pincang karena sakit kaki menahun tak kunjung sembuh. Bapak terlihat lebih tua dari usia seharusnya. Berbeda dengan ibu, meski sudah melahirkan tiga anak tapi masih tetap terlihat muda.
Aku mengangkat satu per satu kayu ke atas tumpukan yang sudah bapak bentuk. Kaos cokelat lusuh yang kukenakan sesekali tersangkut potongannya yang tajam.
"Terus tumpuk saja, Sur. Lagi pula hari ini akan tetap seperti ini." Yang bapak maksud adalah hari ini cuaca akan terus temaram sampai malam berganti.
Sembari menumpuk kayu, mataku tak henti melirik sekitar, memerhatikan kegiatan penduduk desa di hari yang sakral ini. Dua orang lelaki paruh baya melewati pekarangan rumah. Dari percakapan yang kudengar, sepertinya mereka hendak menuju pesisir laut, tempat akan dilangsungkannya ritual nanti malam. Namun, tiba-tiba mereka berhenti tepat di tempat aku dan bapak berdiri.
"Man, ayo!" ajak salah seorang yang cukup akrab dengan bapak.
Sementara bapak mengangguk pelan. Kemudian, "Sur, tolong selesaikan, ya. Bapak mau pergi."
"Iya, pak."
Matahari sepertinya memang sedang murung, sebab aku merasa langit hari ini benar-benar tidak seperti biasanya. Tiada satupun awan yang berani menghiasi. Kadang aku merasa kagum, kadang juga merasa ngeri. Sunyi, sepi dengan temaram langit siang hari. Rasanya seperti akan terjadi bencana yang memporak-porandakan tanah tempat lahirku.
Jam dinding di kamar sudah melewati angka 4. Sudah cukup petang, namun bapak belum juga pulang untuk sekadar makan dan beristirahat. Kucari ibu di dapur karena sejak tadi kupanggil tak kunjung menyahut. Ternyata ibu juga tidak ada di sana. Tanpa pikir panjang, aku pergi menyusul mereka ke pesisir.
Namun, ketika baru sampai depan pintu, ibu dan bapak sudah ada di pelataran. Mereka datang dengan seekor kucing hitam di pelukan ibu.
"Sudah jam berapa ya, Sur?" tanya bapak ketika tiba di rumah.