Sekilas info yang kudapatkan dari berbagai sumber-diari (kebiasaanku dari dunia sana masih terbawa ya), tugas kuliah, dan entri chat di gawai- ternyata aku di dunia ini lebih muda beberapa tahun, dan ini tahun 2016. Berdasarkan biodata ospek program studi milikku, alamat tempat tinggalku bergeser ke kompleks mahal di wilayah Bandung Utara, lebih dekat ke kampus dibanding rumah di dunia sebelumnya. Tuhan sedang memberi ampunan supaya aku bisa mengistirahatkan pantatku dari rasa sakit kemacetan, rupanya. Aku adalah anak pertama dengan satu adik perempuan (wah, bahkan gender adikku berubah) dan punya hobi main basket (yang ini tidak berubah).
Tapi yang paling mengejutkanku, usiaku masih 16 tahun. Anak semester satu bachelor program.
Ah, di dunia ini aku tidak gap year, yah. Oke, lupakan sejenak nostalgia. Ini kesempatan bagus!
Berapa kali ya, aku memutar skenario di dalam kepalaku pada saat-saat stres: skenario di mana aku bisa kembali ke masa lalu, dan membayangkan kesempatan yang aku sesali karena tidak pernah mengambilnya. Hal pertama yang selalu aku inginkan bila kembali muda adalah menulis buku di Fantasteen dan memulai karirku dari sana. Soalnya, mereka hanya menerima naskah dari penulis dengan usia maksimal 18 tahun.
Di dunia asalku, Fantasteen sudah bubar. Lalu, penulis-penulis favoritku di Fantasteen sudah menjadi sangat sukses. Ada yang dikontrak Webtoon dan menjadi juri Novel Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2021. Beberapa penulis yang mengenal Fantasteen lebih lambat dariku bahkan sudah menulis setidaknya 9 buku solo.
Apa yang kulakukan selama itu? Mengesampingkan kesulitan ekonomi keluargaku, jika saja aku berusaha cukup keras, kurasa aku akan baik-baik saja. Dan yang kumaksud usaha keras di sini bukan di bagian menulis: oh boy, aku menulis banyak sekali.
Tapi, selalu kuhapus.
Setiap cerita yang tidak memuaskanku selalu kuenyahkan.
Kebencian dalam diriku terlalu besar dan tidak kunjung surut. Kebencianku pada diriku sendiri bagaikan ombak pasang, dan nilai apresiasi pada karya dan usahaku hanyalah perahu layar kecil yang segera lenyap dihantam gelombang air asin.
Oke, jika dunia ini punya Fantasteen, aku akan menulis sekarang juga. Bahkan usiaku masih bisa masuk syarat penulisan untuk Pink Berry Club! Adiknya Fantasteen dan kakaknya KKPK.
Dan, seperti janjiku di chapter pertama untuk bertindak tidak logis dan bodoh. Maka langkah pertamaku di alternate universe ini adalah mengurung diri dan menulis tiga bab novel.
***
Aku perlu mengapresiasi diriku karena beradaptasi dengan lihai.
Adikku siang itu mengetuk pintu dan bertanya kapan aku akan keluar kamar. Dia tampak manis, tapi fisiknya tidak begitu membuatku kaget. Lagipula, adik cowokku di dunia yang lama selalu tampak lebih perempuan dibanding aku. Wajahnya berbentuk hati dengan bulu mata yang lebat seperti hutan yang rapat. Di duniaku dulu, rahangku bersiku-siku, aku dipanggil Spongebob oleh Stephanie, teman SMP-ku (dan jangan kira aku melupakannya setelah 12 tahun) dan bulu mataku rontok setelah operasi bintitan. Lalu menolak buat tumbuh lagi padahal aku sudah beli serum bulu mata mahal dengan uangku yang terbatas.
"Kata mamah makan dulu." aw, manisnya adikku. Suaranya seperti lelehan madu. Bisakah aku memeluknya seperti biasa? Bagaimana hubungan kami di dunia ini ya?
Aku ke ruang keluarga, dan orang tuaku duduk di meja makan (kami tidak pernah punya meja makan, dan selalu makan terpisah). Ayah sedang membaca koran dan ibuku memainkan tablet (demi apa, Ibu main tablet?!). Keduanya tidak bertukar gender dan tidak tampak begitu berbeda. Mungkin hanya pembawaannya saja, yang berkelas dan memakai pakaian necis. Ah, keriputnya sedikit. Apa di sini Ibu rajin perawatan ya?
Seseorang, yang kuduga adalah pembantu, membawakan baki dengan teko teh. Dari aromanya, kutebak Butterfly Pea Tea dan Lemongrass. Rasanya canggung, disiapkan segalanya oleh pembantu. Biasanya aku atau Ibu yang mengerjakan, mulai dari membeli bahan sampai masak. Setelahnya, kami makan masing-masing. Bukannya keluarga kami dingin. Cuman, Ibu perlu menjaga warung. Aku kurang suka makan, dan adikku memilih bermain gawai. Ayahku biasanya belum pulang sampai malam. Jadi, kami masing-masing akan mengambil makanan di dapur dan menciduk sesukanya, lalu makan sendirian di waktu yang tidak ditentukan.
Aku duduk dengan tenang, mendengarkan obrolan keluargaku yang terasa sangat asing: Ayah punya galeri bonsai sukses, Ibu dengan grup arisan sosialita miliknya, dan adikku yang ikut les untuk jadi pattisier suatu hari nanti.
Mereka terdiam melihatku yang tidak bicara. "Kenapa?" tanya Ayah.
Aku hanya tersenyum, "Cuman, senang bisa makan tanpa perlu mencium bau tahi sapi dari kandang sapi milik juragan depan rumah."
"Em kak... di sini tidak ada sapi..." kata adikku, yang ternyata punya nama Jane (omg apa-apaan dunia ini).
Aku menggeleng dan tertawa, "Maaf, tadi cuman ngelantur soal mimpiku semalam. Rasanya sangat nyata, di dunia yang lain aku menjadi perempuan dan punya tetangga penyebab polusi."
Ibu melirikku agak khawatir, "Sebaiknya kamu jangan kebanyakan tidur."
"Ke gym-lah nanti sore." perintah Ayah.
Dan kami melanjutkan obrolan seolah aku di dunia yang lama memang hanya mimpi yang perlu segera dienyahkan.
Kami makan dalam damai.
***
"Luca!" panggil seseorang.
Itu namaku, omong-omong. Awal-awal aku belum terbiasa dengan nama baruku dan beberapa kali tidak menyahut ketika dipanggil di kampus.
Kali ini, aku tidak mengulang kesalahan yang sama.
Yang memanggilku barusan adalah Marla, sahabatku dari semester 5 di dunia lama. Kali ini aku sengaja mendekatinya lebih awal, meski sebagai laki-laki.
Aku sadar bahwa dengan memanfaatkan pengetahuan dari dunia lamaku, aku jadi tahu siapa yang harus kuhindari dan siapa orang baik yang mending didekati dari awal semester 1.
Yah, di dunia ini kami belum sahabatan. Fakta lain yang kudapatkan adalah, aku cukup populer. Bukan jenis yang "Kyaaaaa senpai notice me please." tapi jenis yang "Ayo nongkrong nanti malam." Jenis di mana teman-temanku tidak perlu mengajak dua kali karena tahu aku punya cukup uang dan tidak punya kerja sambilan sehingga melewatkan acara nongkrong di kafe.
Hm, kemajuan yang tidak begitu aku harapkan. Apa lagi sih yang lebih enak dibanding rebahan sambil membaca novel? Tambahkan beberapa kucing dan satu mug teh telang maka hidupku seperti surga. Apalagi kasur di dunia baruku empuknya gila.
"Luca, dicariin dosen tuh. Katanya kamu submit artikel ke Edulib. Gila kamu, ini kan baru beberapa bulan kuliah. Tamat matkul Penulisan Ilmiah aja belum."
"Haha, pengen aja kok, iseng."
Bukan. Aku menulis artikel jurnal dengan sungguh-sungguh. Lagipula di dunia lamaku, aku sudah menyusun skripsi, selangkah lebih awal tidak begitu merugikan. Belum lagi aku tahu spesialisasi topik para dosen. Jika aku menulis topik kesehatan mental dan layanan perpustakaan, aku perlu mendatangi dosen mana... aku tahu.
"Ya udah. Abis dari prodi nanti ke Kopma langsung ya. Aku ke sana bareng Tiwi."
"Oke. Makasih ya bebski." ups, aku perlu menghentikan kebiasaan lamaku sebelum dicap genit.
"Pesenin cilok jangan?" untungnya Marla tidak merasa terganggu.
"Boleh deh. Beli segini. Aku bayarin yang kalian juga." kuberikan selembar 20 ribuan pada Marla. Dia terlihat tidak enak dan hendak menolak. Tapi aku buru-buru pamit padanya dan lari dengan kaki panjangku ke kantor prodi.
***
Aku tak mengira bisa mentraktir temanku, atau mengeluarkan uang 20-an dengan mudah. Dulu aku dan adikku membeli seblak 5 ribuan dengan pertimbangan sulit. Kami tidak bisa jajan sering-sering ketika beli beras saja susah.
Dan, mulai lagi, orientasi topik yang terlalu condong pada oversharing.
Mungkin ini sebabnya kenapa naskah favoritku yang kuikutkan lomba sering tidak laku: karena aku terlalu curhat di naskah.
Soalnya, naskah lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan nyataku selalu dapat juara satu.
Nah, mulai ngaconya. Mungkin sebaiknya aku membahas hal lain yang lebih relevan, mungkin tentang perasaanku menyikapi perubahan menjadi laki-laki. Bukannya hal sepele seperti barusan. Sejujurnya, sejauh ini hanya cara pipisku yang berubah. Ditambah sensasi aneh ketika berlari tanpa dua gundukan daging di pektoral: ringan dan menyenangkan. Bagian yang sangat asing bagiku cuman bulu-bulu di sekujur tubuhku. Di tubuh perempuanku, aku tidak punya bulu ketiak. Sekarang, melihat bakal kumis dan janggut setiap bercermin rasanya sangat aneh dan membuatku merinding hingga ke tulang belakangku.
Sisi bagusnya, ternyata aku lebih stabil dari biasanya. Saat menjadi perempuan, emosiku banyak dipengaruhi hormon di sepanjang bulan, dan aku menjadi gelisah oleh penyebab-penyebab kecil. Ketika aku "normal" ternyata aku lebih bijak, tenang, dan produktif dari biasanya. Inikah rasanya hidup tanpa gangguan kesehatan mental? Lebih-lebih gangguan yang makin parah saat hormon dalam tubuhku main roller coaster pas PMS? Mantap sekali. Dan tidak ada sakit pinggang, mual, lalu mencret saat menstruasi. Sekali-kali, menjadi seperti ini boleh juga.
Referensiku tentang laki-laki amat kurang, dan yang kuingat hanya perkataan guru SMA dulu bahwa laki-laki memikirkan seks hampir di sepanjang waktunya. Aku agak ragu sekarang, karena ketika aku membaca komik ilegal tadi, dan menemukan iklan bokong-bokong perempuan dari situs yang kayaknya bakal penuh malware, aku malah semakin jijik. Itu cuma gumpalan daging. Dada dan bokong perempuan akan menjadi hal terakhir yang kupikirkan kalau aku harus mencari calon istri. Bukannya aku mau menikah juga sih, baik di dunia lama atau sekarang.
"Luca, lagi mikirin apa?" tanya Tiwi.
Aku menggeleng pelan, menyadari sejak tadi hanya menunduk memandang cilok. "Bukan apa-apa kok."
"Oh ya tadi gimana di Edulib?"
Edulib adalah sejenis kantor tempat nongkrongnya dosen dan mahasiswa, dengan perpustakaan kecil sebagai referensi paling oke untuk nugas, tambah colokan dan wifi.
"Oh, iya. Katanya tinggal revisi nanti mau diterbitin di jurnal prodi." jawabku pada pertanyaan Marla.
Teman-temanku yang kebetulan mendengarkan memberiku pujian. Mereka juga meminta cilok milikku dan secara general menyumbang keriuhan di kafetaria koperasi mahasiswa.
"Malam ikut gak, Luca?"
Aku menelan cilok sebelum menjawab pertanyaan Tiwi, "Enggak dulu deh."
Nanti malam ada acara nongkrong di salah satu kafe indie yang baru ditemukan temanku, Neva. Sepertinya seru, aku juga bisa sekalian membawakan adikku kue untuk dipelajari resepnya. Tapi malam ini aku ada rapat dengan penghuni pikiranku yang lain: suara-suara riuh yang berbagi tempat dengan kewarasanku yang jatah tempat di otak semakin terpojok setiap tahunnya.
Agak memalukan mengakuinya tapi: aku kehilangan tujuan setelah menyelesaikan hal-hal yang paling kuinginkan di dunia baruku ini. Novelku mulai jalan, jurnal sudah akan terbit, dan adaptasiku di kampus sudah selesai secepat kuda berlari.
Apa sebaiknya aku mulai investasi ke perusahaan yang akan booming kesuksesannya di masa depan? Atau siap-siap untuk pandemi? Apa di dunia yang terbalik ini bahkan akan ada pandemi? Aku tidak tahu. Mungkin aku harus mencari info perburuan paus. Kalau sudah berhenti, nah, artinya dunia ini memang versi 'baik' dari duniaku sebelumnya. Yang artinya, aku tidak perlu pindah ke jurusan kedokteran dan menjadi ahli virologi.
Nah, sekarang aku kehilangan arah lagi.
Sialan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Log In
General FictionKalau kalian kenal aku (El, not Luca) di dunia nyata, tolong jangan dibaca, lmao. Serius. Cerita tidak dikonsep. Hanya menghalu sebagai selingan tentang bagaimana hidupku di semesta lain.