13| A Machiavellian Way

36 9 0
                                    

Jangan tanyakan bagaimana cara Shena melupakan malamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan tanyakan bagaimana cara Shena melupakan malamnya. Lebih baik ia segera melepaskan apa yang sudah terjadi.

Pagi—tidakkah Shena perlu membuka matanya lebih lebar?

Sinar matahari sudah menyelinap dan menembus tirai kamarnya. Hari menjelang siang. Dan tubuhnya masih terasa nyaman untuk tidak meninggalkan tempat tidur.

Di detik kelima ia mengerjapkan matanya kesekian, Shena mulai menyadari sesuatu yang membelenggu kebebasannya bergerak. Shena semakin sulit bergerak saat ia mencoba melepaskan.

Ia merinding sekaligus merasa geli ketika embusan napas menyerang leher belakangnya konstan. Memangnya semalam ia tidak beranjak setelah mengatakan sesuatu kepada Edgar?

Shena mencoba mengingat sesuatu. "Jatuh cinta sama lo bukan tujuan gue, Gar."

Kenapa sekarang ia terbangun di atas tempat tidur dengan pelukan ini?

Matanya melebar melihat jam di layar ponselnya. Pukul 09.08 WIB. Shena bisa terancam dipecat kalau ia tidak segera datang di pemotretannya hari ini.

Detak jantungnya memburu. Tenggorokannya kering hanya dengan sedikit ludah yang bisa ia telan. Tidak ada lagi jarak antara tubuhnya dengan Edgar. Hanya satu hal yang Shena takutkan. Kalau ia akan terbayang sepanjang hari hanya karena pelukan dan senyum bodoh yang Edgar berikan padanya.

Setelah berhasil meninggalkan suasana paginya dengan keluh kesahnya terhadap Edgar, ia juga sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Sempat tidak yakin akan memuaskan klien terhadap project yang sedang berlangsung itu, tapi akhirnya Shena mengenyahkan pesimisnya.

Sekarang kakinya sedang berjalan menelusuri gedung ini semakin masuk. Meloloskan diri dari beberapa pertanyaan yang ia terima sejak kedatangannya.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

"Bisa saya bertemu dengan Bapak Adhinata Erlangga?"

"Mohon maaf, apakah sebelumnya sudah ada janji?"

"Sudah. Bisa tolong beri tahu saya di mana ruangannya?"

"Saya ada urusan yang perlu diselesaikan dengan Bapak Adhinata Erlangga, secepatnya."

Setelah berkecimpung lumayan lama untuk mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Shena mulai berjalan mengikuti arahan seorang resepsionis itu. Menolak untuk diantar karena tidak ingin ada yang mengenalinya.

Shena sempat mengalihkan arah langkahnya. Membaur menjadi satu dengan manusia-manusia di sini, seolah ia adalah sama seperti mereka. Ia mendengar seseorang yang sedang berbicara tidak jauh darinya. Ia hapal jika itu suara Alex. Di belakang rambutnya yang terurai, telinganya menajam untuk mendengar lebih jelas

Shena dapat menebak kalau tujuan mereka sebenarnya sama. Menemui Erlangga.

"Iya, Pa, ini udah sampe."

STALEMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang