Pengakuan dari Snape terdengar begitu nyata. Segala perasaan yang terpendam, perlahan-lahan mulai menyeruak kembali, tidak tertahankan. Sorot mata Snape yang mengintimidasi berubah menjadi tatapan sayu. Seakan-akan pria itu telah melihat dan menyaksikan banyak penderitaan dan kekecewaan, dan hal-hal pahit lainnya dalam hidupnya. Siapapun bisa melihat bahwa pria ini sudah terlalu lelah untuk hidup. Satu-satunya yang diinginkan Snape hanya ingin beristirahat dengan tenang. Tanpa dendam, tanpa kebencian, dan yang paling penting, tanpa penyesalan.
Bagi Grace, dia akan mengingat momen ini untuk selamanya. Setidaknya untuk sekali saja, Snape terpampang jelas di hadapan Grace, dengan perasaan yang tak tertutupi sedikitpun. Snape sungguh-sungguh menjawab pertanyaan Grace, dengan mata yang sedikit berlinang, serta senyuman pahit di bibirnya yang tipis. Snape sedang menyindir dirinya sendiri. Dirinya yang angkuh dan penuh ambisi, pada akhirnya memaksa dia untuk kehilangan segala yang dia punya di dunia ini. Rasanya benar-benar menyakitkan untuk melihat Snape hancur di hadapannya.
Ada dorongan dalam diri Grace untuk memberitahu Snape bahwa dia adalah bagian dari Lily, sebagaimana Lily merupakan bagian dari dirinya. Lagipula, Grace telah mengingat segalanya. Dari bagaimana Lily diam-diam mengagumi Snape semenjak pertama kali mereka bertemu, sampai di saat Lily merasa marah semarah-marahnya ketika dia mengetahui bahwa Snape yang memberitahu ramalan akan Harry kepada Voldemort.
Grace masih mengingat masa itu, di mana dia membenci Snape sampai ke ujung ubun-ubunnya. Lily hampir mendapatkan semuanya—suami yang setia dan menyayanginya lebih dari apapun di dunia ini, serta kehadiran buah hati yang ditunggu-tunggu. Sebuah keluarga kecil yang sempurna. Dan semua itu hancur karena Snape. Lily bersumpah untuk tidak pernah memaafkan Snape. Snape, Snape yang malang—teman kecil dan cinta pertamanya, sudah sepenuhnya musnah dalam diri Lily.
Tapi ketika Lily menghembuskan napas terakhirnya di Godric's Hollow, dia melihat Snape menangis tersedu-sedu sambil memeluk erat tubuhnya yang mendingin. Di detik itu juga, Lily sadar, bahwa dia tidak punya hati untuk membenci pria sinis itu seutuhnya. Mungkin, semuanya yang buruk terjadi hanya karena waktu yang tidak tepat dan kesialan yang bertubi-tubi.
Pada akhirnya, Grace yang kini hadir di ruangan Profesor Snape hanya bisa menepuk pelan pundak Snape. Tepukkannya ragu-ragu, entah karena Grace masih belum bisa sepenuhnya memaafkan Snape atas kehancuran keluarga kecilnya, atau karena Grace takut Snape akan menolak dan menepis tangannya.
Untuk sejenak, Snape hanya terdiam. Pundaknya terasa kaku ketika Grace menyentuhnya. Snape menatap Grace dalam, membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. "Jangan sekalipun kau melewati batas, Potter," bisik Snape pelan, suaranya melembut meskipun kata-katanya tetap tajam. "Kau seharusnya tidak melakukan ini."
Grace tersenyum kecil, sambil menatap dalam-dalam mata Snape. Terkadang Grace berpikir, kalau semisalnya semua hal-hal yang buruk tidak pernah terjadi, kalau tidak ada Voldemort atau hal-hal jahat lainnya, akankah Snape hidup dengan bahagia? Akankah Snape hidup tanpa penyesalan? Atau, akankah Snape kembali menemukan kebahagiaannya dengan orang lain, sebagaimana Lily menemukan kebahagiannya dengan keluarga kecilnya?
"Dan kau seharusnya memaafkan dirimu sendiri, Profesor Snape. Bukankah selama ini kau sudah cukup menderita?"
Snape tertegun. Dia tidak menyangka jawaban Grace. Napasnya tertahan. Untuk beberapa detik, Snape merasa Grace mengetahui segalanya tentang dirinya. Tentang cinta pertamanya yang perlahan berubah menjadi penyesalan. Tentang rahasia yang selama ini berusaha dia sembunyikan dalam-dalam. Snape merasa dirinya terkuak di hadapan gadis itu, dan dia tidak tahu harus melakukan apa.
"Kau terlihat sangat lelah Prof', istirahatlah," Grace memaksa dirinya untuk tersenyum, menahan air matanya. "Maaf dan sekali lagi, terima kasih Prof. Aku akan pergi sekarang juga."
Meskipun langkahnya masih lemah, Grace beranjak untuk pamit, sementara Snape, hanya termenung, dengan botol ramuan Draught of Living Death di sakunya.
Snape hampir saja menyerah. Apabila Grace tidak bangun hari ini, Snape bertekad untuk meminum ramuan Draught of Living Death dan mengakhiri ini semua. Rasa sesak di dadanya tidak dapat dibendung lagi. Snape diam-diam tidak tahan melihat Grace berbaring tidak sadarkan diri selama berminggu-minggu lamanya. Melihat Grace seperti mengingatkannya dengan Lily, dan dia serasa terpaksa melihat Lily mati di hadapannya kedua kalinya.
Namun, Snape masih bertahan pada secercah harapan bahwa Grace akan bangun. Meskipun bayangan Lily di wajah Grace menghantui Snape, ada dorongan yang tak kalah kuat dari dalam diri Snape. Instingnya mengatakan bahwa apapun yang terjadi, dia harus menyelamatkan Grace. Bukan Lily lagi yang ada di pikirannya, namun Grace sebagai Grace, mahasiswi Hogwarts yang polos dan sok tahu, serta sedikit menyebalkan.
...
A/N:
Halo! Maaf ya sudah lama banget ga update. Mungkin di sini aku mau jelasin beberapa hal dulu.Fanfiction Snape ini dimulai ketika aku kelas 10 (SMA 1). Jadi ceritanya aku disuruh untuk nonton film bahasa Inggris untuk matpel English Conversation, dan akhirnya aku rewatch Harry Potter deh hehe.
Waktu aku rewatch Harry Potter, kan ada adegan yang Snape berdiri di lorong (posisinya yang di gambar cover cerita ini ya). Nah, aku keinget waktu SD nonton adegan itu. Aku langsung terpana dengan Snape (haha dasar), terus karena aku ga ikutin ceritanya dulu (cuma sempat baca novel Harry Potter 1-3 doang), aku langsung kaget dong dikasih tahu Kakak kalau Snape itu jahat. Terus denial kaya, "Hah? Masa dia beneran jahat? Ga mungkin dong?" Aku ga terima kalau Snape dihina meskipun aku sendiri ga tau sepenuhnya cerita Harry Potter.
Singkat cerita, ketika aku rewatch Harry Potter, aku seakan-akan jatuh cinta kembali dengan karakter Snape. Kalau kata JK Rowling, "You can't make him a saint: he was vindictive & bullying. You can't make him a devil: he died to save the wizarding world."
Akhirnya aku menggebu-gebu untuk menulis fanfiction bagi karakter Snape. Aku pengen memberikan 'tempat' untuk Snape muncul dan dimengerti, meskipun rumit. Setiap hari di sekolah, di sela-sela jam pelajaran, aku selalu menyempatkan diri untuk menyicil menulis cerita Snape. Satu minggu bisa sampai buat satu atau dua chapter saking niatnya, hehe. Menulis tentang Snape seakan-akan menumbuhkan kekagumanku kepada karakternya, dan sebagai tempat pelarian aku juga dari masalah-masalah yang aku hadapi.
Tapi ternyata hidup tidak selamanya mudah. Ada banyak yang terjadi, yang menjadi salah satu dari berbagai alasan buat aku untuk berhenti menulis sejenak. Sekarang untungnya semuanya sudah baik-baik saja, tapi dengan kesibukkan dunia kerja dan kuliah, entah kenapa rasanya sulit untuk kembali memulai menulis.
Akhir dari cerita Snape dan Grace sudah kurencanakan dari awal ketika aku mulai menulis (bahasa kerennya sih story outline kiw). Nah tapi rasanya sulit gitu loh untuk eksekusi ceritanya karena berat haha.
Aku masih berusaha untuk menulis, setidaknya mengakhiri cerita yang aku mulai. Aku masih suka menulis, tapi mungkin akan butuh waktu yang lama, yang aku tidak bisa pastikan.
Pada akhirnya, aku ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada para pembaca yang memberikan komentar, vote, maupun yang sekedar membaca saja. Kalian membuatku merasa berharga dan semangat untuk kembali memulai menulis. Kadang kalau baca komentar reader yang sampai galau atau sedih karena cerita ini, rasanya lucu gitu hehe.
Terima kasih dan sampai jumpa di lain waktu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...