Bab 1

77 1 0
                                    

Surabaya, 2005

Banyak fresh graduate mengincar posisi di perusahaan multinasional. Mereka bermimpi bekerja di kantor berlantai puluhan dengan dinding kaca. Ada kebanggaan tersendiri mengenakan kemeja lengan panjang dengan dasi bak professional muda, dan menemui klien di hotel berbintang lima.

Michael tidak. Dengan percaya diri, setiap hari ia akan turun ke toko yang berada di lantai satu ruko tempat keluarganya tinggal. Berseragam kaus polo, celana jins, dan senyum lebar, ia siap memimpin belasan pegawai untuk melayani pelanggan. "Kantor"nya adalah meja kayu besar dan kursi jati tua di sudut toko, dihiasi kipas angin standing yang mungkin lebih tua dari dirinya dan tape radio yang memperdengarkan suara Teresa Teng, penyanyi favorit papanya.

Tak sedikit orang yang menyayangkan pilihan Michael. Setelah lulus dengan predikat memuaskan dari universitas swasta yang ternama di Surabaya, alih-alih menjadi Pak Michael, manager kantor yang dihormati, ia memilih dikenal sebagai Ming –nama Mandarin-nya, tangan kanan dan anak Koh Ah Lung.

Eman-eman, Nyo. Wes jadi sarjana kok cuma jaga toko papa e? Sayang sekali, Nyo. Sudah jadi sarjana, kok cuma jaga toko papanya?

Kebanyakan pelanggan toko akan berkomentar demikian, menyayangkan keberadaannya di toko ketika menjumpai Ming melayani mereka.

Namun, Ming juga tahu, di belakangnya ada banyak saudara dan kerabat papa dan mamanya yang sering memberi pujian. Banyak juga yang menjadikannya sebagai teladan bagi anak dan cucu mereka.

Kamu niruo Ko Ming. Masio lulus S1, mau nurut orang tua, nerusno usaha keluarga. Tirulah Ko Ming. Walaupun lulusan S1, ia patuh pada orang tua, meneruskan usaha keluarga.

Ming itu lo ndak jiao ao, ndak gengsian. Panas-panas ndek toko ya ndak sambat. Ciamik pol! Ming itu lo tidak sombong dan tidak gengsi. Walaupun panas-panasan di toko, tidak mengeluh. Hebat banget!

Tak mengapa setiap hari hanya mengenakan kaus, jins, dan sandal gunung. Asalkan papanya puas, ia tak keberatan. Lagi pula, dengan jam kerja yang fleksibel, ia jadi punya banyak waktu untuk Jessica, pacarnya sejak SMA.

Seakan punya kemampuan telepati, ponsel Ming berdering. Nama Jessica tertera di layar.

Ia tersenyum lalu menekan tombol berwarna hijau.

"Halo, Jes."

"Morning, Yang. Nanti siang jadi anter aku?"

"Semoga bisa on time ya. Kalo toko rame, aku nggak berani ninggal."

"Lo, kita wes janjian lama. Masa kamu lebih mentingin toko daripada aku?"

"Bukan gitu, Jes. Kalo siang nggak sempat, kita masih bisa pergi sore, setelah tutup toko, 'kan? Aku nggak enak sama Papa kalo ninggal pas lagi rame."

Tidak ada jawaban dari Jessica. Ming mulai mengangkat tumit kaki kanannya, lalu menggerakkannya tak sabar. Ia khawatir pacarnya ngambek. Namun, di sisi lain, ia juga ingin Jessica memahami ia tak bisa meninggalkan tanggung jawabnya.

"Jes, jangan ngambek, dong. Nanti pasti aku temani cari sepatu," bujuk Ming.

Helaan napas kasar terdengar dari seberang.

"Ya. Awas kamu nggak temani aku sampai ketemu sepatunya. Acara Ce Jennie itu minggu depan, Yang," ancam Jessica ketus.

Ming tersenyum simpul. Bagi Jessica, penampilan adalah segalanya, terutama untuk acara khusus keluarga mereka. Acara pertunangan kakaknya tidak terkecuali.

"Iya, aku tahu. Princess Jessica jangan ngambek, ya? Nanti aku beliin es krim favoritmu."

"Duh, aku gendutan, Yang. Gara-gara kamu ajak makan terus. Kemarin ngepas gaun udah agak kesempitan."

Hi, It's Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang