Mereka berempat kini sudah duduk manis di dalam mobil, berterimakasihlah pada Inojin, berkatnya, mereka bisa menyimpan ongkos pulang untuk keperluan yang lain, setelah mengucapkan terimakasih atas tumpangan serta beberapa potong waffle bersaus coklat itu, kini tidak ada lagi yang berbicara. Mesin mobil yang menderu dan hiruk pikuk jalan raya dari balik kaca jendela yang menjadi teman perjalanan mereka.
Di kursi belakang, Sarada sudah sibuk membaca bagian pertama buku tentang hukum relativitas dalam fisika, sembari sesekali menggigit wafflenya. Sementara, Choco sibuk mengunyah waffle serta menyeruput boba milk tea miliknya, dia juga membeli buku, tentang trik cepat rumus matematika atas rekomendasi Sarada dikarenakan nilai matematika temannya itu tidak kunjung membaik.
Sementara, di kursi depan, baik si pengemudi maupun si penumpang di sampingnya, duduk dengan canggung. Inojin hanya memfokuskan dirinya pada jalan raya, sementara Himawari hanya mengelus permukaan barunya yang masih tersegel dengan plastik sembari sesekali menggigit wafflenya, dan terkadang menatap wajah suaminya itu.
Entah perasaannya saja, atau bagaimana, ia merasakan pertemua tidak sengajanya dengan Sumire tadi bukanlah pertemuan yang hangat, apalagi setelah mendengar nada ancaman muncul dari intonasi bicara suaminya itu saat menyapa teman lamanya. Apa mungkin mereka tengah bertengkar? Pikirnya.
"Kalian mau mampir ke rumah kami dulu atau langsung pulang?" Akhirnya, percakapan kembali terbuka di antara mereka.
"Kami pulang saja Kak Inojin, lagipula ini sudah hampir gelap." Sarada membalas setelah melakukan kontak mata dengan Chocho untuk mengkonfirmasi kalau mereka punya jawaban yang sama.
"Baiklah." Inojin segera mengemudikan mobilnya kembali untuk mengantar kedua sahabat istrinya itu.
Tring!
Sebuah pesan singkat masuk dari ponsel Inojin terdengar, menampilkan sebuah nama mencurigakan yang menimbulkan tanya di mata biru safir yang melihatnya. Inojin yang menangkap sekilas notifikasi pesan itu berusaha tetap tenang walau sebenarnya panik setengah mati. Rasanya, seperti ia seorang pecundang yang berusaha menyembunyikan perselingkuhannya, ah apa ini bisa disebut perselingkuhan?
"Perlu ku bacakan pesannya Kak?" Tanya Himawari, yang ikut penasaran dengan pesannya.
"Nanti saja, ku baca begitu kita sudah sampai," Elaknya, ia takut kalau pesan itu bukanlah sekitar urusan pekerjaan.
Himawari hanya mengangguk sambil menunggu bar notifikasi itu meredup mengikuti layar ponsel yang mulai mati kembali. Dahinya berkerut saat sempat mengintip sedikit isi percakapan wanita itu pada suaminya yang tertera sedikit di bar notifikasi. Walau seluruh badan percakapan itu tidak bisa ditampilkan sekaligus.
Aku pergi ke dokter kemarin, akan ku kirim--
"Kak Sumire pergi ke dokter? Lalu untuk apa dia memberitahu Kak Inojin? Dia akan mengirim apa?" Dia melirik wajah Inojin yang terlihat tidak terganggu sama sekali, dia tidak terlihat khawatir ataukah pria ini begitu pandai menyembunyikan ekspresinya?
"Apa yang ku pikirkan sih? Mana mungkin kan Kak Inojin dan Kak Sumire berselingkuh di belakang ku." Atau mungkin bisa?
---
Himawari masih duduk menonton asal siaran apapun yang ditayangkan di televisi. Setelah mengantarkan kedua sahabatnya itu pulang, tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara Inojin dan Himawari. Gadis itu terus saja terpikir akan pesan singkat yang tidak sengaja ia lihat di ponsel suaminya itu.
"Kenapa?" Suara itu membuyarkan lamunannya, manusia bermanik biru laut itu mengambil alih remote tv dan mengganti siaran channel nya.
"Umm.. Aku tau ini lancang, tapi tadi di mobil aku tidak sengaja melihat pesan singkat di ponsel Kakak, apa Kak Sumire sedang sakit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
ФанфикKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...