11 - Tes Wawancara

122 29 0
                                    

Ryu kini menghadap bapak dan ibu di sofa ruang tamu bak pesakitan di depan hakim. Posisi duduknya tampak kaku meski wajahnya berusaha dibuat serileks mungkin. Wajah bapak terlihat jauh lebih tenang ketimbang wajah ibu yang kentara sekali menyimpan banyak pertanyaan. Aku— yang duduk terpisah dari ketiganya— merasa tidak tenang sama sekali dan rasanya ingin menghilang dari muka bumi saat itu juga. Aku tidak siap dengan sesi tanya-jawab yang kuprediksi akan terjadi setelah ini. Selain itu, jantungku masih berdebar kencang efek dari ucapan Ryu beberapa saat yang lalu.

"Maaf kalau kita harus pindah tempat ngobrol soalnya biar lebih privat aja," kata ibu.

"T-tapi saya jadi nggak enak, Bu. Ibu sama Bapak sampai harus menutup toko," sahut Ryu.

"Itu berarti jawaban Nak Ryu harus memuaskan kami berdua," timpal bapak sembari terkekeh tapi itu makin memperjelas ekspresi tegang di wajah Ryu.

Ibu tersenyum. "Rileks aja, Mas Ryu. Anggep aja rumah sendiri."

"Hus, jangan anggep rumah sendiri dong, Bu. Kalau nanti rumah kita dibalik nama gimana?" Bapak masih sempat-sempatnya melempar candaan lagi. Namun, kali ini candaan bapak sedikit mencairkan ketegangan, setidaknya di wajah Ryu, karena Ryu bisa sedikit tersenyum setelahnya meski senyumnya lebih mirip badut IT. 

"Tadi kalau nggak salah Mas Ryu bilang suka sama Ganis. Apa itu betul?" Ibu memulai sesi interogasinya.

Ryu mengangguk mantap. "Betul, Bu."

"Wah, baru kali ini Ganis ada yang naksir. Cowok ganteng kayak Nak Ryu pula. Biasanya yang naksir Ganis cuma kucing tetangga. Paling banter jamet," seloroh bapak yang membuatku mendelik.

Melaporkan bapak sendiri untuk pasal berlapis boleh tidak ya? Pasal pencemaran nama baik, pasal perbuatan tidak menyenangkan, dan pasal ujaran kebohongan. Begini-begini sebenarnya banyak yang naksir aku lho misalnya saja Kadrun, anaknya Lek Damir yang sempat meminta dijodohkan denganku,  Asep si cupu di kelasku waktu SMP dulu, juga Andar si cowok kemayu yang dijauhi teman-teman satu spesiesnya sesama lelaki karena dianggap mencoreng kelelakian para lelaki.

"Kenapa? Kenapa Mas Ryu suka sama Ganis?" tanya ibu, mengabaikan gurauan bapak.

Ryu tampak merasa aneh dengan pertanyaan itu tapi dia tetap berusaha menjawabnya. "Karena Ganis berhasil mencuri hati anak saya, Bu. Anak saya jarang sekali, bahkan nyaris tidak pernah, menyebutkan nama orang lain selain orang-orang di lingkup keluarga kami. Tapi anak saya justru menyebut nama Ganis terus-menerus dengan nada bangga dan senang seolah-olah anak saya sudah mengenal Ganis sangat lama. Dia sering sekali bercerita soal Ganis, apa saja yang Ganis lakukan ketika di sekolah, hal-hal apa yang diajarkan Ganis yang menarik menurutnya. Dia menyebut nama Ganis di rumah, di mobil, di mana saja dan itu—"

"Tunggu, tunggu," sela bapak sembari mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda bahwa dia ingin menginterupsi. "Nak Ryu sudah pernah menikah?"

"Belum," jawab Ryu sambil menggeleng.

"Tapi kenapa dari tadi Nak Ryu menyebutkan soal anak terus. Lantas sebenarnya anak siapa yang Nak Ryu sebut itu?"

"Oh, itu anak dari adik saya, Pak," sambar Ryu cepat. "Jadi sebetulnya anak saya itu sebenarnya adalah keponakan saya yang berstatus sebagai anak angkat saya," terangnya lebih lanjut.

"Berarti anak Nak Ryu itu bukan anak kandung, kan?" tanya bapak lagi.

"Betul, Pak, tapi saya secara legal sudah menjadi orang tua adopsinya sejak dia masih bayi."

"Lalu kemana orang tuanya? Apakah meninggal atau bagaimana kok sampai dititipkan bahkan dijadikan anak angkat oleh Nak Ryu?"

Ryu kemudian menceritakan kisah yang sama dengan yang diceritakan padaku waktu kami bertemu di Transmart beberapa bulan yang lalu. Tidak ada yang berkomentar tentang cerita Ryu; tidak bapak, tidak pula ibu.

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang