Jangan lupa vomment.
Ternyata aku salah.
Berharap dirimu kembali, rasanya seperti bernafas di dasar laut.
Bukan kelegaan, yang ada hanya sesak.***
" siapa, Bund? "
Luna menolehkan kepala ke arah anak dan suaminya. "Nggak ada siapa-siapa kok." Katanya heran, begitu juga dengan kedua orang di sana yang duduk menatap pintu.
" Mas belum tutup gerbang ya? " Tanyanya saat matanya melihat gerbang rumah yang sedikit terbuka.
" Udah kok, udah Ayah tutup tadi. " Dimas bangkit menghampiri istrinya yang masih setia berdiri di depan pintu.
" Tapi kok kebuka? Lupa di kunci ya." Tanya wanita itu lagi.
Benar yang dikatakan istrinya, gerbang rumah mereka sedikit terbuka padahal seingatnya tadi Ia sudah menutup rapat tapi Dimas lupa apakah sudah mengunci atau hanya menutupnya saja.
" Ya udah nanti aku tutup sekalian aku kunci kalo hujan nya agak reda." Finalnya.
" Hujannya deres banget ya." Luna berkata dengan matanya yang mengarah pada pemandangan luar yang terlihat samar karena gelap dari warna malam tanpa cahaya rembulan.
" Mas... " Luna memanggil suaminya pelan.
Dimas menatap istrinya teduh, "hmm, ada apa?" Dimas bertanya saat melihat wanita cantik itu menipiskan bibirnya dengan wajah sendu.
" J-jeno.... Dia kehujanan." Kalimat itu terlontar dengan suara yang begitu lirih bahkan hampir mirip seperti bisikan, namun Dimas masih bisa mendengarnya dengan jelas.
" Dia sendirian,Mas..."
Matanya memanas, selalu begini setiap hujan turun bahkan bukan hanya saat hujan, hampir disetiap momen yang mereka lalui tanpa adanya raga anak pertananya istrinya akan selalu melontarkan kata-kata yang sukses membuatnya kesakitan. Sudah lama, lama sekali dan keduanya belum bisa benar-benar mengikhlaskan kepergian putranya, putra yang terlambat ia terima. Kini hanya ada bayangan tanpa wujut yang nyata, bayangan yang Ia dan istrinya ciptakan sendiri.
Dimas menghembuskan nafas berat, rasanya terlalu kejam jika Ia terus begini sementara waktu terus berlalu tanpa sedetik pun berhenti. Dimas harus bisa bangkit, dirinya harus bisa menjadi penopang untuk dua orang yang paling berharga dalam hidupnya. Sudah cukup kehilangan Jeno menjadi pukulan telak, Dimas tidak akan membiarkan kehilangan kembali menyapanya,lagi.
" Jeno.... Tidak sendirian, dia bersama Tuhan.. disana." Telunjuknya mengarah pada langit pekat yang sesekali menyala terang ketika kilat membentuk sebuah garis yang terlihat mengerikan. Lalu ibu jarinya mengelus pipi wanitanya yang kini sudah basah oleh air mata.
Sementara itu Jaemin hanya diam mendengar dan menyaksikan interaksi keduannya.
Abang.... Lihat, sekarang Ayah dan Bunda begitu cemas. Mereka terus bertanya semua tentang Abang. Apa Abang tau, disana Abang melihatnya, bukan?
Jangan ambil Bunda atau Ayah yaa.. sekalipun mereka menangis memohon.
Biar mereka sama Nana disini.***
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET PAIN 2 || LEE JENO
FanfictionAku kembali berharap bisa merasakan sedikit bahagia yang dulu sempat tabu kurasa. Aku kembali dengan raga yang sama. Untuk kali ini, rengkuhlah aku yang rapuh ini. Berikan aku pelukan yang hangat.. yang tulus tanpa harus menyakiti. Berikan aku ke...