•••••
Pagi-pagi sekali Rain sudah siap berangkat ke sekolah. Namun hatinya di buat agak sedikit jengkel saat tiba-tiba motornya tidak bisa di hidupkan.
"Motornya kenapa?" Tanya Papa yang kebetulan juga ingin berangkat kerja.
"Gak tau, Pa. Tiba-tiba gak mau idup. Padahal kemaren oke-oke aja." Sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari motor kesayangannya.
"Ya sudah. Papa anterin!"
Papa meraih helm dan memasangnya pelan di kepala Rain. Membuat gadis itu mengulum senyum. "Makasih, Pa."
Papa ikut ketularan senyum anaknya pagi ini. Sebuah suntikan semangat untuknya berjuang mencari nafkah keluarga.
Beberapa menit berlalu, akhirnya motor Papa berhenti di depan gerbang sekolah. Ia segera turun dari boncengan Papa kemudian meraih tangan yang mulai terlihat tanda kerutan itu untuk ia cium usai menyerahkan helm. "Rain masuk dulu, Pa."
"Hmm, belajar yang rajin!" Ujar Papa sambil mengusap lembut kepala anaknya sebelum menyalakan kembali motornya dan membaur kembali dengan pengendara lain di jalan raya.
Sementara Rain masih tak melunturkan senyum seraya melangkahkan kakinya dengan ringan menuju area sekolah.
"Woy, tungguin."
Rain terlonjak kaget hingga memegangi dadanya ketika bahunya di tepuk seseorang.
"Astaga, Sav. Lo ngagetin gue aja. Gimana kalo gue jantungan terus meninggal."
"Ya elah. Pagi-pagi udah drama aja." Sahut orang yang ternyata Savana sambil memutar kedua matanya malas.
"Abisnya lo main tampol gue aja."
"Oke sorry. Tapi lo jangan asal ngomong juga kali. Tiap omongan yang keluar dari mulut lo itu adalah doa. Gimana kalo lo mampus beneran dah." Savana mengedarkan pandangan ke sekelilingnya hingga matanya menatap horor ke atas pohon beringin yang rimbun di atas kakinya berpijak. "Ini kira-kira malaikat Izrail lagi dimana ya? Semoga aja dia lagi gak mood buat cabut nyawa lo sekarang juga." Imbuhnya lagi.
Mata Rain melotot tajam mendengar kalimat gadis itu barusan. Agak jengkel tapi dia memilih diam dan melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan Savana.
"Rain, gue bercanda doang kok." Teriak Savana saat sadar Rain sudah menjauh beberapa langkah di depannya.
"Ah elah pake ngambek segala nih anak." Gerutunya sambil membenarkan letak tas di punggungnya kemudian berlari menyusul Rain yang sudah menyusuri lorong-lorong koridor.
Tapi sayang ia keduluan seseorang yang juga menghampiri Rain yang tengah menjejalkan headset di kedua telinga demi mendengarkan sebuah lagu dari ponsel hitam di genggaman.
"Rain."
"Denger gak sih?"
Merasa di abaikan, seseorang tersebut merebut sebelah headset di telinga kanan Rain dan ikut menjejalkan benda tersebut di telinga kirinya.
Rain sempat terlonjak sebelum melengkungkan senyum saat tahu siapa orang yang ikut melangkah di sampingnya seraya mendengarkan bait lagu bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember, hujan, dan lukanya
Novela JuvenilDia yang berpulang ketika hujan datang. *** (Sejak awal memutuskan untuk mencintainya, maka ia telah bersepakat pada semesta untuk menciptakan luka.) Kevin itu batu, sementara Rain air. Batu jika ditetesi air terus-terusan, lama-lama akan berlubang...