Lampu LED di kamar kosanku sedikit redup. Tutup bawah lampu itu sudah pecah dan isinya keluar bergelantungan dari sarangnya. Kamar dengan ukuran 3 x 3 itu duduklah seorang bujangan yang memandangi layar laptopnya dengan tatapan ksoong. Orang bodoh itu aku. Sudah enam jam aku duduk di meja yang sama tanpa melakukan apapun. Kipas tolol ini juga rusak. Hei kipas, kau tahu kan bahwa di Pasar Minggu ini sangat panas. Lantas, mengapa kau tak berputar? Kau sudah kubeli dengan harga yang cukup mahal Seratus Lima Puluh Ribu. Dan ini baru dua tahun kau ada di kamarku. Dasar kipas yang tidak tahu diri! Jangan manja, hanya karena aku tak pernah membersihkanmu, kau jadi seenaknya untuk tidak berputar.
Aku memang sering bicara dengan kipas tololku itu. Walaupun dia tak pernah menjawabku.Tapi kipas ini tak lebih baik dari ketel listrik . Ya, dia selalu ada untuk bujangan sepertiku. Siulannya setiap air keran yang direbus matang sangatlah merdu. Membuatku terpanggil untuk menyeduh kopi kapal Api yang aku beli serenceng dari warung klemarin sore. Tapi jika kuhitung hitung lagi, kini tinggal empat sachet. Wow, aku ini sudah kopi keenamku semenjak kemarin malam.
Tentang ketel listrik di kosanku ini, terkadang aku tidak enakan untuk selalu memakai jasanya. Itulah kenapa aku terkadang minum langsung dari air keran. Rasanya sedikit getir. Aku kecanduan rasa getir. Rasa getir yang kukecap tiap kali aku di kantor. Rasa getir yang kukecap tiap kali aku ditanduk orang tuaku. Dan rasa getir dari orang aneh yang menghubungiku akhir akhir ini. Rasa getir yang terakhir ini sudah pernah kuceritakan pada gagang pintu kamarku namun tak ada solusi. Maklumlah dia cuma gagang pintu, yang tak pernah aku kunci tiap aku keluar kamar.
Orang aneh ini menghubungiku setiap malam. Katanya kesepian. Namanya Laura. Laura Novia Sigalingging. Hapal betul aku dengan nama itu. Karena orang aneh ini aku cari di internet. Aku ketikkan saja namanya maka akan muncul semua hal tentang dia.Hanya satu hal yamg tak bisa dijelaskan internet kepadaku yaitu hati orang aneh ini milik siapa.
"Apa yang kau mau?",tanyaku dalam hati
Tepat dua hari yang lalu dia meneleponku. Padahal aku sudah menghapus nomor kontaknya di telepon genggamku. Tapi nomor itu aku ingat 442. Yang dulu aku tunggui sebelum aku tidur.
Bukan tanpa sebab aku jengkel seperti ini. Dia sering menghilang tanpa kabar. Mengacaukan aku dan mimpiku dalam kesendirian. Mengintervensi tiap khayal yang aku senangi di malamku dan menendang jauh kenyataan di pagi harinya. Hingga akhirnya aku terbangun dalam realita bahwa aku adalah laki laki pecundng. Yang bahkan selalu kalah dengan nasib. Ya, nasib yang membawaku bekerja di Pasar Minggu, nasib yang membawaku menjadi karyawan konyol yang selalu diiming imingi keahlian profesional ala ala barat. Dan nasib juga membawaku menjalani kehidupan seorang laki laki konyol yang menaruh perasaan pada seseorang selama setengah umurnya, tidak mau berpindah ke ilusi yang lain karena masih percaya bahwa cinta akan membawamu kembali di sini layaknya lagu Dewa 19 yang sering diputar di kedai kopi murahan.
Ya, dia kembali. Tapi dia bukan cinta. Dia hanya Laura, Seorang teman. Setidaknya itulah jawabannya ketika terakhir kali aku tanyakan siapakah aku ini di dalam kehidupannya dulu. Konyol sekali kamu Laura. Aku bukan temanmu. Aku hanyalah laki laki malang yang sekalipun tak pernah ada dalam decak kagum yang kamu inginkan. Tidak usah naif dengan mengatakan tidak enak hati pada mentari yang kau nikmati sedangkan aku belum tidur mengurutkan logikamu yang di luar nalarku. Lalu kau kembali selayaknya menggantikan mentari itu agar aku tak merasa sendiri. Aku tak butuh mentari.
Kamu tahu yang aku butuh? Aku butuh hidup normal. Aku mulai gila dan hampir mati. Catatan yang kamu berikan dua tahun lalu telah mengacak acak logikaku. Ya, catatan tentang apa yang kamu lakukan lima tahun ke depan. Ya, yang tentang menikah itu.
Kamu tahu akibatnya jika terlalu banyak berharap? Lihat saja keadaanku. Aku tak bisa lagi membedakan ilusi dan kenyataan. Laura, kejamlah sedikit. Patahkan hatiku lalu pergilah. Menikahlah. Lalu bahagialah. Jangan merasa tidak enakan.
Dan seenak jidat kamu meneleponku dua hari yang lalu. Sudah aku katakan, aku dikutuk untuk tetap menerima kedatanganmu. Kapanpun. Dasar orang aneh. Bagaimana mungkin aku membiarkanmu menangis?
Dear Bonar,
Mohon bantuannya untuk melakukan recovery system data yang kami miliki saat ini.
Regards
MichelleEmail masuk. Sudah jam 10 malam dan aku masih harus meladeni email yang masuk. Tapi syukurlah, setidaknya malam ini aku tidak memikirkan orang aneh itu. Setidaknya untuk malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertigaan Pasar Minggu
General FictionSiapa?? Yang nanjak. Lalu aku naik naik ke puncak gunung tinggi sekali