O8.

279 64 1
                                    

"Aku benar-benar membencinya!"

"Bisakah kau berhenti membahas itu?" Jake menimpali. Kepalanya agak sakit mendengar Sunghoon mengatakan hal yang sama berkali-kali.

"Tapi aku juga sebal," timpal Jay. Ia menendang batu di ujung sepatunya. "Apakah menjadi peraih nilai tertinggi sefakultas tidak cukup membuktikan kalau aku mahasiswa terbaik?"

Jake mengusap tengkuknya sambil meringis. "Kalau begitu berhenti berhubungan dengannya!"

Mereka —Sunghoon dan Jay— sebenarnya ingin sekali berhenti berhubungan dengan laki-laki bernama Lee Heesung itu. Selain karena harga diri —penghuni Dimensi A sangat alergi dengan penghuni Dimensi D—, mereka juga merasa terintimidasi. Heesung sama sekali bukan orang yang ramah dan pandai bergaul. Perkatannya selalu terdengar pedas, dan mereka tidak menyukai itu. Ia bukan tipe orang yang mau menghormati Sunghoon seperti penghuni The Dimmension lainnya. Bahkan untuk tersenyum ke arah mereka saja, Heesung tidak sudi melakukan itu.

Cukup membuat mereka muak dengan sikap angkuhnya.

"Tapi apakah kita bisa memperbaiki mesinnya tanpa Heesung?"

"Itu dia," sahut Jay, masih dengan bibir mengerucut sebal. "Ia tahu banyak hal."

"Ia bukan orang yang biasa," timpal Sunghoon. Ia berhenti dan duduk di pinggir kolam yang terbuat dari batu marmer. "Lee Hwiyoung bukan orang biasa. Ayahnya tahu sesuatu yang tidak kita ketahui."

"Tapi apakah penghuni Dimensi D mendapat pendidikan?" Jay masih tidak habis pikir.

"Ayahnya berasal dari Dimensi B. Aku juga tidak tahu kenapa Heesung bisa terjebak di Dimensi D."

Jake baru akan bicara, tapi ia urungkan karena melihat seorang gadis berambut panjang, berjalan ke arah mereka. Senyuman Jake mengembang. "Mantanmu."

"Park Sunghoon!"

Yang dipanggil menoleh malas. Ia menghela nafas begitu melihat seorang gadis dengan gaun terusan yang super mahal, berdiri di sampingnya.

"Ugh, bau sekali kalian," protes sang gadis. Ia mengibaskan tangan sambil menoleh ke arah Sunghoon. "Aku mencarimu kemana-mana, Sunghoon."

"Sudah bosan dengan Jeno?"

Sang gadis menghela nafas. Sedikit emosi karena Sunghoon justru menyindir tentang hubungan mereka yang sedang tidak baik-baik saja. "Kita tidak sedang membahas itu."

Sunghoon berdiri. Ia menatap Karina sekilas, kemudian berjalan mendahuluinya. "Aku bahkan tidak ingin melihatmu."

Karina menghela nafas, merasa dirinya perlu kesabaran penuh menghadapi gunung es berjalan itu. Ketika kedua temannya hanya menatapnya prihatin sambil tersenyum kaku, Karina membalikkan badannya. "Ayahmu sakit, Sunghoon."

Informasi dari mantan pacarnya itu cukup berhasil membawa langkah kakinya menjejaki Istana Putih, tempat para pejabat The Dimmension tinggal —termasuk ayah dan kakak laki-lakinya—. Sunghoon tidak tinggal di sini, melainkan di gedung sebelah timur Istana Putih. Alasannya karena Sunghoon bukan pewaris tahta utama dan bukan calon presiden. Fasilitas di gedung timur tidak kalah lengkap dengan Istana Putih.

"Silahkan masuk, Tuan Park."

Sunghoon melangkah masuk dengan kedua tangan dijejalkan ke dalam saku celana kainnya. Butuh lima menit menyusuri ruangan, sebelum ia berhenti di depan ranjang ayahnya. Park Sungjin terbaring lemah di atas ranjang. Beberapa pelayan yang bertugas langsung berdiri dan menunduk 90 derajat ke arahnya. Dengan begitu, ayahnya menoleh ke arahnya.

"Sunghoon. Baru kali ini kau berkunjung, nak."

Sunghoon menarik sudut bibirnya sebagai respon. Sama sekali tidak ada niatan untuk membuka mulut.

THE DIMMENSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang