12 - Tiga Kata Keramat (2)

120 23 2
                                    

Saya suka Ganis.

Alasan itu saja sudah cukup bagi saya untuk menyukai Ganis, Pak.

Saya suka Ganis.

Alasan itu saja sudah cukup bagi saya untuk menyukai Ganis, Pak.

Aku mengulang-ulang kalimat-kalimat yang pernah diucapkan Ryu tempo hari pada orang tuaku. Tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan bahwa Ryu ingin menjalin hubungan denganku, berpacaran denganku. Dengan kata lain status hubungan kami masih belum jelas. Pun setelah kejadian itu tak pernah sekalipun Ryu membahas tentang kelanjutan hubungan kami secara pribadi denganku meski kami bertemu nyaris setiap hari di sekolah (karena Ryu selalu mengantar-jemput Yuna) dan Ryu masih sesekali mengirimiku pesan via Telegram (meski Yuna yang paling banyak mengambil alih ruang percakapan kami). Yang makin membuatku kesal, Ryu justru terlihat tenang-tenang saja saat bertemu denganku alih-alih kebakaran jenggot sepertiku. Dia bahkan cenderung berubah lebih sok akrab kepadaku ketimbang sebelumnya. Gara-gara itu pula aku jadi overthinking selama seminggu ini.

Bagaimana kelanjutan hubungan kami?

Bagaimana status hubungan kami sebenarnya?

Bagaimana seharusnya aku bersikap pada Ryu saat kami bertemu berdua?

Bagaimana sebenarnya perasaan Ryu terhadapku?

Gara-gara itu pula aku sampai kehilangan selera makan, susah tidur, sariawan, bibir pecah-pecah, bahkan susah buang air besar. Aku bahkan baru tahu bahwa orang bisa saja mengalami gejala-gejala di atas hanya karena memikirkan ketidakjelasan sebuah hubungan, bukan semata karena kekurangan asupan air putih atau sebagai gejala panas dalam seperti yang diinformasikan dalam iklan minuman penyegar. Singkatnya, ketidakjelasan hubungan kami berdampak besar bagiku.

"Kenapa? Kok kayaknya lesu begitu?" tanya Ryu ketika aku baru saja menghempaskan pantatku di atas kursi di sebelahnya di hari Sabtu yang cerah setelah hujan semalam suntuk.

Lesu lah. Kamu yang bikin aku lesu begini. Belum jadi pacar udah bikin kepikiran.

"Nggak papa. Cuma kurang tidur aja," jawabku yang sangat berbeda jauh dari isi hatiku.

"Oh," respon Ryu datar.

Ya Allah, peka dikit ngapa, Bambang? Tanya kek kurang tidur karena apa.

"Udah siap, kan?" tanyanya setelah mendengar bunyi klik  dari sabuk pengaman yang kukenakan.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Kita mau makan dimana?" tanyanya lagi sembari mulai melajukan mobil Brio merahnya dengan kecepatan lambat karena jalanan di sekitar rumahku padat oleh manusia-manusia yang seenaknya dalam berlalulintas. Ryu memilih untuk berhati-hati ketimbang harus jadi pelaku penabrakan pengguna lalu lintas yang tidak tahu diri.

Aku mengedikkan bahu. "Terserah," jawabku.

Ryu memandang ke arahku meski sesekali matanya juga melihat ke arah jalanan di depannya. "Serius nih terserah? Berarti tempat makannya terserah juga nggak papa ya?"

Aku mengangguk saja.

"Serius?" tanya Ryu lagi untuk mengkonfirmasi.

Aku mengangguk lagi.

"Oke, kalau gitu."

Ryu kemudian mengemudikan mobilnya menuju daerah kota sementara aku tak berkomentar apa-apa hingga tibalah kami di sebuah tempat makan sederhana di daerah Kergon dengan tulisan NASI UWET HAJI ZARKASI di bagian depannya.

"Tadaaaa. Kita sudah sampai," kata Ryu sembari melepas sabuk pengamannya begitu Brio merahnya sudah terparkir rapi.

Aku melongok dari balik jendela mobil yang kacanya belum kubuka dan melotot.

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang