• 7th line •

528 108 50
                                    

On playing

Your Power - Billie Eilish

• selamat membaca
• bila suka boleh meninggalkan jejak yaa

/terima kasih nisajihad_ atas rekomendasinya

😊😊😊

Peluh yang bertebaran di pelipis lekas diusap sebelum badan menyentuh dinginnya lantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Peluh yang bertebaran di pelipis lekas diusap sebelum badan menyentuh dinginnya lantai. Dibanding mengotori kasur, Juan memilih telentang tanpa alas terlebih dulu. Ia pun menghela napas, melepas penat setelah harus berkeliling swalayan dengan belanjaan yang tak sedikit. Itu belum seberapa karena ternyata menggandeng Niko menambah beratnya jadi berkali-kali lipat.

Tidak apa, batin lelaki itu yakin. Ia ulang terus-menerus agar tidak ada penyesalan yang merusak lelahnya. Setelah mengantar Niko ke kamar dan memastikannya menikmati tidur siang, Juan dapat berbicara dengan dirinya sendiri barang sejenak. Sambil menatap langit-langit, ia tersenyum tipis dan mendengkus lagi.

"Iya, sembahyang dulu," ucapnya setelah mengingat bagian yang sempat terlupakan.

Juan segera keluar lagi untuk mengambil wudu. Air dingin yang mengalir dan menyentuh kulitnya sontak menenangkan pikiran dan melegakan hati. Ia refleks memejamkan mata, menikmati kesejukan yang menjalar ke seluruh tubuh. Ringan, langkahnya tenang saat menggelar sajadah dan menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba.

Dalam doa yang terucap sesaat salam usai, Juan merenung. Sendu pada binar Niko saat menatap es yang mencair kembali memenuhi memorinya. Entah mengapa, perutnya bergemuruh tak karuan. Sensasi linu yang tak dapat dijelaskan belum mereda sedari tadi. Susah dilupakan, susah diabaikan, susah dienyahkan begitu saja. Juan mengusap wajahnya dan beristigfar lagi.

"Ya Allah, aku rindu."

Mata Juan berkaca-kaca. Susah payah ia menggigit bibir dan mendongak, menghalau laju air yang hendak turun. Ia kemudian memijat kedua lengan dan tengkuknya yang terasa linu. Namun, bukannya berkurang, rasa itu justru merambat hingga membuat bendungan terbaiknya runtuh. Lelaki itu menangis, lalu bersujud, menumpahkannya dalam ruang hampa yang hanya ia dan Tuhan yang tahu.

"Dia terlalu mirip dengan almarhum Sian."

Suara Juan terbata-bata. Ia terus menjaga sikunya untuk tetap tegak. Sayang, dayanya tak sekuat itu. Lelaki itu luruh, memeluk tubuh yang telah lama tak didekap siapa pun. Letih siang ini membuatnya dapat beralasan untuk menumpahkan lara yang tersembunyi. Meski klasik, ia ingin meminta maaf sekali lagi, atas waktu yang berlalu, atas waktu yang tidak bisa diulang, dan atas waktu yang tidak bisa ditukar.

Bunyi ponsel yang bergetar menyadarkan Juan dari lamunan. Lelaki itu segera beristigfar (lagi) dan mengusap wajah. Ia lekas bangkit dan meraih benda pipih yang teronggok di atas nakas tersebut. Nama 'Hendra' pada layar sontak membuatnya terbelalak dan buru-buru mengangkat telepon.

Walk the Line ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang