Tiga

6.9K 218 20
                                    


Wajar, kan kalau aku membeku seperti es begitu didekap dan dibisiki seperti itu? Aku membelalak dalam gelap, menatap meja belajarku di seberang ruangan, merasakan lengan kekar nan hangat itu melingkari tubuhku. Dan tubuh bongsor yang selalu kuimpikan itu menempel ke punggungku.

Aku membeku sampai nyaris satu menit lamanya. Dan satu menit dalam kondisi kayak begini tuh lama. Tidak terasa seperti 60 detik. Rasanya seperti ... tiga tahun.

Aku bisa merasakan embusan napas Kevin di tengkukku. Lengan itu bergerak-gerak kecil, menyamankan posisi untuk mendekapku. Kurasakan panggul Kevin menekan-nekan pantatku di bawah sana. Malam yang terasa dingin (pun karena AC menyala) mendadak terasa panas. Aku seperti kerasukan.

"Aku tahu, Zo," bisik Kevin kemudian.

Aku menelan ludah.

Apa maksud Kevin?

Tahu apa?

"Aku pengacara untuk banyak kasus," lanjutnya. "Aku pernah nanganin kasus-kasus perceraian. Aku bisa lihat bagaimana orang berhenti mencintai seseorang, atau berbunga-bunga karena mencintai orang lain. Aku lihat binar yang sama itu dari mata kamu, Zo.

"Setiap kamu melihatku."

Aku mulai merembeskan keringat dingin. Jantungku bertalu-talu. Seperti akan meledak sebentar lagi. Tanganku gemetar seperti tadi. Mungkin sudah tremor. Entahlah.

"Aku tahu," bisik Kevin kali terakhir sebelum memelukku lebih erat lagi.

Lalu hening menyesapi kami selama beberapa menit. Aku tak bisa bergerak. Kevin pun tak bergerak. Kucoba mendengar suara di kamar ini yang senyap. Apakah Kevin mendengkur? Tidak. Suara napasnya terdengar jelas. Mungkin juga karena berembus hangat ke tengkukku. Namun aku tak mendengar Kevin mendengkur.

Apa yang dia lakukan?

Apa yang kami lakukan?

Apa yang kulakukan?

Apa pun itu yang dia ketahui soal aku ... tidak sepantasnya aku tetap diam di sini, mematung tanpa perlawanan. Tidak sepantasnya calon suami kakakku memelukku malam-malam, dan aku tak berbuat apa-apa. Apalagi ditambah fakta bahwa aku laki-laki—mending kalau aku perempuan, bisa disebut pelakor dengan mudah.

Aku ini apa?

Aku hanya adik laki-laki dari calon suami seorang perempuan. Adik laki-laki yang mencintai calon kakak iparnya bertahun-tahun. Mencintai dalam diam. Dalam kesendirian. Dalam tepukan tangan yang tak pernah bertemu satu sama lain.

Untuk apa aku menikmati pelukan ini?

....

"Maaf karena aku nikahin kakak kamu," lanjut Kevin tiba-tiba. "Cuma itu satu-satunya cara."

Setelah menelan ludah dengan susah payah. Dan setelah mengumpulkan keberanian, aku bertanya, "Cara apa?"

"Cara untuk tetap dekat denganmu."

Pandangan mataku mulai mengabur. Lima kata itu begitu sederhana, tetapi rasa perihnya menusuk-nusuk seluruh tubuhku. Sebuah kalimat yang tak perlu penjelasan panjang lebar bahwa itu tentang ... ketidakmungkinan kami bersama.

"Untuk apa tetap dekat denganku?" tanyaku. Di tengah isakan.

"Karena kamu sudah masuk dalam hidupku lima tahun terakhir," jawab Kevin, embusan napasnya saat berbicara menggelitik bahuku. "Dan aku sudah terbiasa dengan adanya kamu. Aku terbiasa pulang kantor melihat kamu ada di kamar ini. Aku terbiasa menyisihkan makanan untuk kamu. Aku terbiasa kepikiran nama kamu kalau aku butuh sesuatu.

(2) Malam TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang