Aina mengerjap saat pendengarannya menangkap suara alarm yang berdering dari ponsel yang berada di atas meja. Masih dengan setengah terpejam, jemarinya meraba-raba nakas untuk meraih benda yang mengeluarkan bunyi nyaring itu. Setelah dapat, dia segera mengusap layar ke atas untuk mematikan alarm.
Dipta melenguh lalu membuka mata perlahan kala merasakan tubuh yang sedang didekapnya bergerak. Dia menguap panjang sebelum akhirnya membuka mata dengan sempurna.
"Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak.
"Jam tiga, Mas. Bangun." Aina menyibak selimut dan bergegas bangkit dari tempat tidur.
Dipta yang semalaman bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, seketika mendekap tubuh karena hawa dingin yang menyergap tanpa permisi. Dia meraih kaosnya dan segera mengenakannya, sementara Aina sudah keluar dari kamar.
Sebelum beranjak dari tempat tidur, Dipta menyempatkan diri membuka ponsel. Kedua matanya dengan teliti memindai notifikasi yang berbaris di layar atas. Sebagian besar dari grup, beberapa pesan dari rekan kerja, juga berbagai iklan dari sosial media. Gerakan matanya terhenti saat menemukan nama Dokter Galih di antara tumpukan notifikasi itu.
Jemarinya dengan cepat mengetuk notifikasi bar itu untuk membuka pesannya.
[Jadwal untuk Aina selanjutnya hari Rabu, jam satu siang.]
[Baik. Terima kasih.] Dipta membalas pesan itu singkat sebelum menggulirkan layar untuk membaca pesan-pesan lain, serta membalas pesan yang menurutnya penting.
Saking asiknya melihat-lihat pesan, Dipta tak sadar jika setengah jam telah berlalu dengan cepat dan Aina sudah selesai mandi. Tubuh wanita itu terbalut baju tidur merah muda dengan kepala yang terbebat handuk kecil. Satu dua tetes air lolos dari ujung-ujung rambutnya yang menjuntai keluar dari handuk, membasahi tengkuk dan bahunya yang putih bersih.
Dipta mengalihkan pandangan dari wanita yang baru tadi malam pasrah berada dalam kuasanya.
'Sudah pagi, jangan lagi,' batinnya mengingatkan kepada diri sendiri.
Dia segera beranjak dari tempat tidur, mengambil baju, meraih handuk, lalu bergegas keluar dari kamar sebelum hasratnya memaksanya untuk mengulang kegiatan semalam.
Selepas kepergian Dipta, Aina duduk di meja rias untuk mengeringkan rambut dan memakai berbagai skincare dan body care sebelum menunaikan shalat sunah. Setelah selesai shalat, dia kembali ke tempat tidur, membuka ponsel, lalu kembali melihat-lihat lowongan pekerjaan yang kemarin sempat tertunda.
Meskipun Dipta menyuruhnya untuk istirahat dulu dari bekerja, Aina tetap berusaha mencari lowongan terlebih dahulu. Dia merasa bosan di rumah sendirian, tak ada yang bisa dia lakukan. Padahal biasanya sepanjang harinya selalu dia habiskan di sekolah.
Tak dapat dipungkiri, dia merindukan hari-harinya yang sibuk itu. Jadi, dia akan mulai mencari-cari lowongan kerja. Mungkin nanti jika terapinya selesai, dia akan langsung kembali bekerja.
Azan subuh berkumandang tak lama setelah Dipta keluar dari kamar mandi. Kaos oblong yang dikenakannya agak basah di sana-sini karena terkena tetesan air dari rambutnya yang basah. Gegas, dia mengenakan kemeja berlengan panjang serta sarung, lalu meraih sajadah yang tersampir di sandaran kursi.
"Aku ke masjid dulu, ya?" pamitnya, yang dibalas anggukan oleh Aina.
Sementara dirinya sendiri juga segera menunaikan shalat.
Aina beranjak ke dapur seusai sholat subuh. Dia melapisi baju merah mudanya dengan celemek berwarna sama sebelum membongkar isi kulkas.
"Hari ini enaknya sarapan apa, ya?" gumamnya pelan sembari memilah-milah bahan makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomansaWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...