Belum genap dua minggu Aina menjalani terapi, namun perubahannya sudah terlihat. Setiap hari dia menjalani terapi relaksasi sendiri di rumah serta rutin melakukan yoga untuk menjaga kondisi mentalnya agar stabil. Dia juga semakin sering memutar musik klasik untuk menenangkan pikiran. Meski begitu, rasanya semakin lama semakin jenuh jika dia harus berada sendirian dalam rumah.
Dipta selalu berangkat pagi dan pulang sore saat bekerja. Jadi, dia tidak mungkin bisa menemani Aina setiap saat. Meski setiap akhir pekan Dipta selalu mengajaknya berjalan-jalan di luar, tetap saja hari-hari lain berlalu dengan menjemukan.
Pagi ini, Aina kembali membuka info-info lowongan pekerjaan. Pelan-pelan dia meraih ponsel lalu membalikkan badan dengan hati-hati supaya gerakannya tidak mengganggu Dipta yang masih terlelap. Lelaki itu baru tidur pukul dua pagi, satu jam yang lalu. Jadi, Aina tidak mungkin tega membangunkannya.
Dalam posisi memunggungi Dipta, dia menyalakan layar ponsel. Lengan kekar Dipta yang masih melingkar di pinggangnya membuat dia harus menggerakkan tubuh dengan hati-hati. Setelah berhasil mendapatkan posisi yang nyaman untuk bergerak, Aina mulai mengecek satu per satu notifikasi. Merasa tidak ada yang penting di sana, jemarinya mengetuk layar untuk membuka email yang masuk.
Beberapa hari yang lalu, Aina sempat mengirimkan surat lamaran ke sekolah swasta yang tidak jauh dari rumah sakit tempat Dipta bekerja setelah melihat ada lowongan untuk guru Bahasa Indonesia di sana. Namun, dia belum tau apakah akan diterima atau tidak.
Perlahan netranya memindai pesan yang masuk ke akun emailnya, pesan balasan dari sekolah yang dia tuju. Isinya kurang lebih meminta Aina untuk melakukan tes wawancara langsung di sekolah, hari Senin pagi. Astaga! Hampir saja Aina terlonjak kegirangan saking senangnya. Meskipun belum pasti akan diterima, tetapi dia merasa senang karena telah lulus tahap administrasi.
Dia segera membalas email itu untuk menunjukkan kesediaannya, setelah itu kembali menutup telepon genggamnya dan menaruhnya kembali ke atas meja. Hal yang perlu dia lakukan selanjutnya adalah meminta izin kepada Dipta. Nanti saja saat laki-laki itu sudah bangun.
//
"Mas, aku boleh bekerja lagi, tidak?" tanya Aina pagi harinya, saat mereka tengah sarapan bersama.
Dipta yang tengah duduk di hadapan Aina, di seberang meja, cukup terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi dia dengan cepat menguasai diri. "Memangnya kamu sudah bisa bertemu dengan orang-orang baru?"
Aina mengangguk. Kedua tangannya terlipat di atas meja. "Aku sudah baikan, kok, Mas."
"Benar?"
Dipta menatap lekat-lekat wajah Aina untuk mencari kebenaran atas jawabannya. Namun, tak ada keraguan dalam kedua manik kecoklatan wanita itu. Hanya binar indah yang terlihat. Dipta mengerjapkan mata.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi kamu mau bekerja di mana?"
Aina mengangkat cangkir tehnya dan menyesapnya pelan sebelum menjawab dengan nada senang, "Aku baru saja lulus ujian administrasi untuk mengajar di SMA Bagimu Negeri. Lalu, Senin pagi, aku ada jadwal tes wawancara."
"Loh, memangnya kapan kamu mengirimkan surat lamaran?" Dipta terbelalak.
Aina mengedikkan bahu. "Beberapa hari yang lalu."
"Kamu tidak bilang padaku?" Dipta bangkit dan melangkah perlahan mendekati Aina.
Wanita itu mulai merasakan atmosfer di sekitarnya perlahan berubah mencekam. "K–kan kamu sibuk. Aku belum sempat bilang," kilahnya terbata saat Dipta tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan membungkukkan badan.
Kini posisi Aina terkunci di antara kursi, meja, dan Dipta yang wajahnya berada tepat di depannya.
"Kamu harus dihukum karena sudah lancang melamar kerja tanpa seizinku," tukas Dipta dengan nada bicara yang dibuat mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh Saya, Dokter! [PINDAH KE GOODNOVEL]
RomanceWarning : 18+ (Beberapa part berisi konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan) SEBAGIAN BESAR PART TELAH DIHAPUS. PINDAH KE GOODNOVEL UNTUK BACA SELENGKAPNYA. * Tak pernah terlintas di benak Aina Zavira bahwa dia akan menikah, apalagi dengan laki...