14. Pancaroba Hati

0 0 0
                                    

Sepuluh menit yang lalu Kiki sampai di depan rumah lantai dua bercat putih, rumah minimalis dengan gaya klasik. Saat ini dia tengah berdiri dan menenteng bungkusan berisi kue putu. Laki-laki yang mengantarnya masih termangu di hadapan Kiki. Galen belum mengucapkan apa-apa setelah menurunkan Kiki. Mereka telah lama berdiam, suasana menjadi kikuk. Hanya angin yang menyejukkan perasaan mereka.

“Kenapa masih di sini?” Merasa tidak tahan, Kiki melontarkan pertanyaan.

Galen menyeringai, menampilkan deretan gigi yang rapi. “Nggak mampir dulu? Biasanya itu pertanyaan yang diucapkan seorang gadis kepada lelaki yang mengantarnya pulang.”

“Karena aku yakin jawabanmu pasti tidak.”

“Bagaimana kalau aku mau mampir?”

“Aku tidak akan menawarkan,” sahut Kiki. Ada senyum licik di sudut bibirnya.

Galen mulai menyalakan mesin motornya. “Tidak masalah, next time.”

Thanks.”

Mendengar ucapan itu, Galen terlihat bingung, Kiki mengangkat bungkusan di tangannya. 

“Kalau mau, aku bisa mengantarmu beli kue putu setiap hari.”

Kiki menyipitkan mata, tidak terlalu suka dengan ide itu.

“Baiklah, sampai jumpa.”

Setiap mendengarnya bicara, hati Kiki ingin tersenyum, tetapi wajahnya tak bisa tepat menggambarkan suasana hati. Dia meneleng sedikit kepadanya sebagai respons. Kemudian Galen segera meninggalkan jalan Thamrin yang sunyi.

“Dasar laki-laki. Kenapa hati aku jadi nggak karuan?” gumamnya sambil menyentuh dada kiri. Ada desiran halus yang dirasakan Kiki setiap Galen berbicara. Sikapnya yang manis membuat pertahanan Kiki luntur, belum pernah dia bertemu dengan lelaki yang mampu membuat hatinya bergetar. Apa dia jatuh cinta? Tidak mungkin, kata hatinya.

“Kenapa berdiri di sini, Nona?”
Kiki berjingkat ketika mendengar suara itu. Pria berusia 50 tahunan berdiri di depannya dengan wajah penuh selidik. Kiki tidak menyadari kedatangan Pak Karno.

“Ah, Pak Karno bikin kaget aja,” ucap Kiki. Dia mulai berjalan, Pak Karno mendahuluinya untuk membukakan pintu gerbang. “Kenapa tidak jemput, Pak?”

“Hmm, tadi saya disuruh nganterin Bu Rena, Non. Katanya ada urusan mendesak,” jawabnya.

“Mendadak gitu, ya? Nganterin ke mana?” tanyanya lagi.

“Hemm, tadi saya nganterin Bu Rena ke—”

Kiki tak bisa mendengar Pak Karno karena tiba-tiba suara klakson memotong ucapannya, mobil hitam membunyikan klakson dua kali. Menyadari siapa yang datang, Pak Karno segera membukakan pintu gerbang dengan lebih lebar.

Kemudian mobil itu terparkir di bagasi. Seorang laki-laki dewasa keluar dari pintu mobil, untuk sesaat Kiki tersenyum, tetapi dia merasa senyumnya sia-sia. Saat masih kecil bersama Lisa, Kiki akan berlari dan memeluk papahnya. Kini, dia ragu melakukan hal itu. Hendra berjalan memasuki pintu begitu saja tanpa menyapa Kiki, padahal Kiki yakin Hendra melihatnya.

Saat Hendra di depan pintu, tiba-tiba pintu terbuka dengan menampilkan Rena. Kiki melihat tak ada sambutan yang hangat. Hendra langsung memasuki rumah tanpa mencium kening Rena. Seharusnya pemandangan ini sudah biasa, tetapi entah mengapa kali ini hati Kiki lebih membeku.

Sejak membuka pintu, Rena tak pernah berpaling dari tempat Kiki berdiri. Yang dia lihat saat membuka pintu hanya anaknya, Rena berharap Kiki mencium tangan dan memeluknya. Kapan Kiki mau melakukan itu lagi?

“Non.”

Pak Karno menyadarkan Kiki yang masih berdiri memandangi Rena. Kiki memahami perasaan Rena yang sangat menginginkankannya, tetapi entah mengapa Langkah itu berat bagi Kiki.

“Ini untuk Bapak.” Kiki memberikan bungkusan kue putu kepada Pak Karno. Meskipun hatinya belum menerima Rena, perlahan Kiki mulai membuang semua hal yang dibenci Rena, termasuk kue putu. Rena tidak ingin Kiki memakan jajanan sembarangan, tidak, Rena tidak ingin Kiki mengingat tentang Lisa, karena itu Kiki memberikan kue putu kepada Pak Karno.

Pak Karno menerima bungkusan itu dengan senyum yang mengembang, “Wah, terima kasih, Non.”

Kiki tersenyum, dia mulai berjalan memasuki rumahnya saat Rena sudah tidak berdiri lagi di pintu.

***

Sudah hampir satu jam Kiki membuka ponsel, berkali-kali dia menggulir layar pada aplikasi Gramedia Digital. Namun, tak menemukan buku Fisika yang sama dengan buku yang dipinjam Arsenio. Laki-laki menyebalkan itu sangat tidak murah hati, dia malah menyusahkan Kiki. Akhirnya Kiki menyerah dan belajar dengan referensi seadanya.

Saat ingin mematikan data internet, tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk dari nomer asing. Kiki mengintip pesan yang ada di bilah notifikasi pada layar kunci ponselnya.

Maaf kalau lancang, aku mendapat nomermu dari temanku yang satu kelas denganmu. Ternyata ada untungnya aku mengetahui julukanmu.

Kiki tak begitu terkejut, dia tahu siapa yang mengirimkan pesan. Kiki membuka bilah notifikasi itu dan membacanya lebih lengkap. Dia menarik napas untuk membuat jantungnya memompa lebih tenang.

Senang bisa mengenalmu

“Laki-laki itu ternyata bisa mengucapkan maaf,” lirihnya dalam ruang yang menenteramkan.
Sejak hari itu, Kiki mengubah tema kamarnya dengan warna pastel agar lebih estethic. Saran dari Kesy dan Monokrom berhasil membuat Kiki lebih sehat dan bersemangat.

“Sedang sibuk, Sayang?”

Kiki menoleh ke sumber suara, pemilik suara itu tersenyum kepadanya. Kiki meletakkan ponsel di meja. Dia memang ingin membuka buku untuk belajar, tetapi keinginan itu sengaja diurungkan.

“Kenapa, Ma?”

Rena berjalan menghampiri Kiki dan membelai rambut anaknya. “Mau makan malam? Mama janji, tidak ada keributan.”

Tiba-tiba saja Kiki mengangguk, dia merasa tidak salah menerima tawaran Rena. Setiap malam, mereka selalu makan bersama, terserah akan terjadi keributan atau tidak. Sebenarnya Kiki masih tidak peduli, yang dia tahu hanya butuh energi banyak untuk memulihkan tenaganya.

“Tentu, aku harus makan supaya bisa fokus untuk belajar. Aku masih ada olimpiade untuk bulan depan, Mama ingat?”

“Ya, Mama janji tidak akan menganggumu, Nak.”

Perlahan, Rena mencium ubun-ubun anaknya. Dia khawatir Kiki akan marah, tetapi dia melihat tak ada penolakan dari Kiki, itu artinya mulai ada perkembangan dalam hubungannya dengan Kiki, dan Rena sangat bersyukur.

“Maaf, Mama belum bisa membawa Lisa kembali.” Kiki memandang wajah yang suaranya sendu itu. “Mama akan membujuk Papa untuk membawanya. Papa pasti tidak keberatan,” lanjutnya.

Jadi benar, Papa berubah karena Lisa pergi. Dia pasti sangat menyayangi Lisa, ucapnya dalam hati.

“Ayo, Ma. Aku mau bertemu Papa.”

Saat sudah di meja makan, Kiki melihat Hendra sedang menunggu. Kedua tangannya berpangku di meja. Meskipun sudah ada makanan yang tersaji, Hendra belum menyentuh satu pun, semua makanan itu masih utuh. Kiki senang jika apa yang dilakukan Hendra adalah menunggunya.

“Papa belum mulai?”

“Hei, anak papa yang pintar. Papa menunggumu, Nak.”

Suara Hendra terdengar lembut di telinga Kiki, tak ada lagi nada tegas dan keras. Kiki masih tidak percaya mendengar Hendra memanggilnya dengan benar. Hendra memujinya, dan Kiki sangat tersentuh. Di sisi lain, dia bepikir tidak mungkin Hendra berubah secepat itu. Kiki menatap Rena yang juga berdiri di sampingnya, kedua matanya berlinang, ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Entah itu kejujuran atau kebohongan.

Kiki merasa hari ini perasaannya tidak stabil. Kadang kala berbunga, lalu layu dengan cepat.

Epiphany Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang