Ada Haechan dan Jaemin, saat Riri datang ke kampus bersama Hyunjin. Menggandeng lengan pemuda itu dan menunjukan pada semua orang hubungan keduanya yang selama ini di tutupi. Sekarang, tidak ada lagi alasan untuk melakukannya ‘kan. Riri sudah memutuskan pilihan. Cintanya. Entah apa pantas di sebut demikian. Walau gadis itu sendiri tidak tahu apa itu cinta.
Haechan tidak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Ternyata, cerita soal Amel dan Hyunjin bagai angin lalu saja. Haechan berharap itu bisa mengubah pendirian sepupunya itu. Benar ya. Riri itu bodoh. Well, mungkin cinta telah membuatnya buta.
Sementara Jaemin, ia tidak mampu menahan diri. Tolonglah, dirinya dan Riri masih dalam ikatan resmi. Belum ada keputusan dari kedua belah pihak soal pertunangan mereka. Mungkin Riri bisa mengatakan demikian. Tapi sebelum Om Sehun dan Bunda yang bertindak, tentu ikatan mereka belum berakhir.
“Dua brengsek itu,” geram Jaemin. Bisa-bisanya dengan santai datang berdua, bergandeng mesra.
“Yak!! Riri Choi!! Hwang Hyunjin!” teriak Jaemin. Menjadikan dirinya menjadi bahan tontonan.
Langkah Riri pun Hyunjin terhenti. Pegangan Riri di lengan Hyunjin menguat. Baiklah, ia harus siap menghadapi rentetan kemarahan Jaemin. Who’s cares? Riri sudah siap ‘kan.
“Apa?” Riri menyahut santai. Jaemin mendelik marah.
“Tahan, Na. Tahan. Inget, yang kemarin aja belom selesai,” Yangs menahan bahu Jaemin. Mengingatkan Jaemin perihal beberapa hari lalu. Dimana Jaemin terlibat perkelahian dengan Hyunjin.
Jaemin mengepalkan tangannya kuat. “Lo minta gue diem aja gitu,” balas Jaemin sarkas.
Yangs mendecakan lidah. “Lo diem bukan berarti lo kalah. Ini bukan tempat dan waktu yang tepat. Okay? Inget bunda lo.”
Okay, bunda. Ya, Jaemin lupa kalau ada seseorang yang mesti Jaemin jaga. Dan itu bundanya. Jaemin melihat Riri sekilas lalu beralih ke Hyunjin sebelum meninggalkan tempat itu tanpa banyak bicara. Namun jelas amarahnya belum mereda.
Riri menatap kepergian Jaemin dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Riri juga memikirkan bagaimana setelah ini. Bu Yoona pasti bakal tahu dan Riri juga ingin mengatakan kebenarannya pada wanita itu. Tapi bagaimana caranya. Riri tidak mau mengingkari janjinya sama Bu Yoona. Menyakiti hati wanita baik itu. Namun di lain sisi, Riri juga ingin bahagia bersama orang yang di cintainya.
“Pelan-pelan aja. Kakak bakal bantuin kamu bilang sama Bu Yoona.”
Riri cukup tenang setelah mendengar penuturan itu dari Hyunjin. Namun nyatanya ia harus menghadapi masalah itu sendiri. Pemuda itu entah pergi kemana setelah pulang dari kampus. Padahal janjinya akan mengantar Riri pulang.
Pertemuan malam ini akan memutuskan segalanya. Seharusnya Hyunjin berada di sisi Riri. Menguatkannya. Tapi apa mau di kata. Hyunjin tetap tidak ada kabar bahkan setelah Riri pulang ke rumah dan di hadapkan oleh Bu Yoona, Papi, dan juga Jaemin.
Lihat, tidak ada senyum yang terpatri di wajah ayu bunda. Tatapannya sendu dan ia terlihat muram. Riri hanya bisa diam, menundukan kepala setelahnya dengan tangan meremat ujung dressnya. Lihat, tidak ada yang akan memberinya pembelaan disini. Bahkan papi sekalipun.
“Riri,” panggil bunda lembut. Tapi sebelum bunda melanjutkan kalimatnya, Riri lebih dulu angkat bicara.
“Bu Yoona, maafin Riri. Riri gak bisa ngelanjutin pertunangan ini.”
Jaemin mengepalkan tangannya. “Kita udah janji buat nyoba menjalani semua ini, Ri.”
Riri menggeleng. Lantas mengangkat kepala dan menatap Bu Yoona yang sudah menangis. Lidah Riri kelu dibuatnya. “Maafin Riri. Riri gak bisa.”
“Apa ini soal Jaemin waktu itu?”
Riri menggeleng cepat. “Enggak. Ini gak ada hubungannya sama Jaemin. Ini soal Riri. Riri gak bisa maksain buat sama-sama Jaemin dan pertunangan ini.”
“Tapi kamu janji sama bunda buat memulai semuanya sama Jaemin. Bunda sangat mengharapkan hubungan kalian bisa berkembang, sayang,” ujar Bu Yoona disertai tangisnya.
“Maaf soal janji itu, Riri gak bisa nepatinnya. Riri tau, bunda juga papi kecewa dengan keputusan Riri. Tapi, Riri gak mau nyesel nanti kehilangan orang yang Riri cintai.”
“Bunda janji, Jaemin bakal sayangin kamu dan cintai kamu, Ri. Bunda ingin cuma kamu yang sama Jaemin,” pinta bunda.
“Ibu gak mikirin perasaan saya? Ibu Cuma mikirin keinginan ibu aja. Ibu bukan ibu kandung saya. Jadi ibu gak bisa maksa kehendak ibu ke saya.”
Papi terhenyak. “Riri, kamu gak sopan!” Bentak papi.
Mata sayu bunda mengerjap. Tidak menyangka Riri bakal bilang seperti itu. Mendengar dan melihat bagaimana bunda memohon sama Riri, membuat Jaemin sakit hati. Ia bangkit dari duduknya. Menarik lengan bunda.
“Udah, bun. Kita pulang. Gak guna ada disini.”
“Tapi—“
Riri melepas cincin tunangannya lalu meletakan benda itu di atas meja. Mata bunda membulat. Juga papi.
“Riri,” lirih bunda. Riri tersenyum tipis. “Maaf kalau ibu kecewa sama saya. Permisi.”
Setelah mengatakan hal itu, Riri segera beranjak dari sana. Tapi papi tak tinggal diam. Ia raih lengan puterinya lalu menyentak tubuh itu kuat ke sofa. Riri meringis. Menatap tak percaya dengan tindakan kasar papi.
“Mas, jangan kasar,” bunda menahan lengan papi.
“Papi gak pernah ajarin kamu bersikap kayak gini! Minta maaf sama bundanya Jaemin! Kalo kamu udah gak mau dengan pertunangan ini, gak begini caranya! Ayo minta maaf!”
“Sudah, mas. Jangan gitu,” bunda kembali menangis.
Riri bergeming.
“Kenapa diem?! Minta maaf atau—“
“Atau apa?!” Riri menatap nyalang sang papi.
“Om, udah,” Jaemin menengahi. “Kita ijin pulang. Saya rasa sampai disini aja.”
Bunda terisak. Kepalanya pening karena terlalu banyak menangis. Bunda mencoba berpegangan pada lengan sofa. Melihat keadaan bundanya yang tidak stabil membuat Jaemin panik.
“Bun, bunda,” Jaemin memegangi lengan bunda.
“Na, Yoona,” papi ikut cemas.
“Kepala bunda sakit, Na,” lirih bunda.
Jaemin menelan ludahnya kasar. “Kita pulang ya, bun. Ayo Jaemin gendong.”
Bunda mengangguk dan baru satu langkah. Tubuh bunda ambruk. Untungnya Jaemin juga papi sigap menahan tubuh mungil bunda. Riri memekik. “Bunda!!”
*
Riri menangis sejadinya. Memeluk Haechan yang baru saja datang. “Chan, bunda Yoona. Hiks, gue takut bunda kenapa napa, Chan. Gimana hiks?”
Sedikit ragu, Haechan menepuk punggung Riri. “Udah lo jangan nangis terus. Berdoa supaya Bu Yoona gak kenapa napa.”
Riri mengangguk cepat. Haechan Cuma bisa menghela panjang. Di lihatnya, sosok Jaemin berdiri di dekat pintu IGD. Raut cemas kentara di wajah tampannya.
“Om Sehun mana?” tanya Haechan saat menyadari tidak melihat sang paman disana.
Riri melepaskan pelukannya. “Pergi ke kantor. Tadi ada urusan mendadak.”
“Urusan administrasinya?”
“Pak Tejo tadi yang urus.”
Haechan mengangguk paham. “Gue beli minum dulu. Lo aus kan?”
“Nanti aja,” Riri menahan lengan Haechan. Pasalnya dia takut kalau harus di tinggal sama Jaemin disini. Aura Jaemin menakutinya. Tadi ada Pak Tejo. Sekarang ada Haechan. Tapi kalau Haechan pergi juga bagaimana?
“Bentar doang. Atau mau gue telpon Yeni biar kesini nemenin lo?”
Mendengar nama Yeni di sebut, Riri langsung menggeleng cepat. Haechan mendecak. “Ya udah bentar doang.”
Tanpa menunggu persetujuan Riri, Haechan pergi dari sana. Tinggalah Riri dan Jaemin, menunggu hasil pemeriksaan dokter soal keadaan bunda. Riri duduk terpekur di kursinya sebelum Jaemin datang, berdiri dihadapannya dengan tatapan kebencian. Sama seperti kali pertama mereka bertemu.
“Puas lo sekarang?”
Riri menghapus jejak air mata di pipinya. “Maafin gue.”
“Maaf lo bilang?” Jaemin tersenyum sinis. “Kalau sampai bunda gue kenapa napa. Gue gak bakal maafin lo.”
“Tapi bukan karna—“
“Lo masih mau membela diri setelah kekacauan yang lo buat?”
Riri menggeleng lemah.
“Bunda gue berharap banyak sama pertunangan kita. Juga papi lo. Lo janji sama bunda, gue juga udah janji sama Om Sehun. Tapi apa yang lo lakuin? Cinta? Yang bener aja. Sekarang liat!! Liat bunda gue ada di dalam sana karna lo!”
Riri kembali menangis. Menunduk dalam, menyesali semua tindakan dan perkataannya tadi. Apa Riri benar-benar keterlaluan kali ini?
“Gue bakal lakuin apa aja, Jaem. Gue janji hiks. Maafin gue,” Riri memegang lengan Jaemin. Tapi di hempas kuat oleh pemuda itu.
“Udah telat lo ngomong gitu. Bunda gue udah mohon-mohon sama lo. Tapi lo—sialan lo!”
*
Bunda perlahan membuka mata. Tubuhnya masih lemah. Kata dokter, tekanan darahnya meningkat. Juga asam lambung dan anemia. Bunda perlu banyak istirahat dan tidak boleh stress.
Hal pertama yang bunda lihat adalah Riri yang berdiri di sisi ranjangnya. Wajahnya sembab dan bunda bisa melihat gadis itu terisak. Bunda tidak tahu harus mengatakan apa.
“Bun, udah enakan?” tanya Jaemin, mengalihkan perhatian bunda.
“Lumayan,” kata bunda pelan. Jaemin menghela. “Puji Tuhan,” lirih puteranya itu.
“Bunda,” panggil Riri. Bunda kembali menatap Riri. Perlahan bibir pucat itu melengkung ke atas membentuk senyum tipis.
“Maafin bunda karena terlalu memaksa kamu ya,” tutur bunda. Riri menggeleng.
“Kalo kamu maunya ini berakhir, ya udah gak apa-apa,” lanjut bunda yang langsung mendapat tatapan tak percaya Jaemin.
“Bunda.”
“Bunda gak mau buat kamu sedih.”
Riri tidak mampu berkata apapun. Ia hanya bisa menangis. Haechan yang baru saja ingin membuka pintu, mengurungkan niatnya.
“Semoga apa yang kamu jalani setelah ini, bisa buat kamu bahagia ya. Bunda seneng, kamu pernah jadi bagian keluarga Na.”
Hari itu, pertunangan Jaemin dan Riri resmi berakhir.
*
Club Bugatti Syndrome,
Riri mencari sosok Hyunjin di tengah hingar bingar club. Sudah dua hari ia tidak bertemu dengan sang pacar. Hyunjin terbiasa seperti itu. Tiba-tiba menghilang tiada kabar. Lalu tiba-tiba mengirim pesan dan meminta bertemu. Intensitas pertemuan mereka di lingkungan kampus juga sedikit. Bahkan tidak pernah karena antara gedung teknik dan fisib itu berjauhan.
Hyunjin tipe pacar yang tidak suka jika setiap saat harus di tanya kabar. Ia akan marah dan mengabaikan Riri. Tentu gadis itu tidak mau. Jadi ia berusaha untuk tidak menuntut banyak hal pada Hyunjin, termasuk mengirim chat atau menelpon walau jarang bertemu. Sedikit aneh, tapi Riri menerimanya.
Lalu saat Riri mengirim pesan singkat, mengatakan jika dirinya telah resmi berpisah dengan Jaemin. Dalam artian, akhirnya kedua keluarga menyetujui untuk mengakhiri pertunangan Jaemin dan Riri. Dengan nada kelewat ceria, Hyunjin mengatakan harus merayakan hal itu. Ia dengan cepat menentukan tempat dimana mereka harus merayakannya dan meminta Riri datang secepatnya. Bossy as always.
“Hai, cantik.”
Riri terlonjak ke samping, saat bahunya di rangkul dan dirinya di sapa dengan sensual. Adalah sosok Jinyoung, menyeringai ke arahnya. Jika Riri tidak salah tangkap, tatapan matanya seperti om-om mesum. Menjengkelkan. Riri abai dan melangkahkan kakinya, pergi menjauh.
Jinyoung mengekori gadis itu. “Mau ketemu Hyunjin kan?” sekali lagi, ia dengan kurang ajar, merangkul bahu Riri. Menempelkan tubuhnya seolah mereka sangatlah akrab. Padahal tidak demikian. Risih, itu yang Riri rasakan sekarang.
“Lepasin,” Riri menatap tajam Hyunjin. Ia sengaja berhenti hanya untuk memperingati Jinyoung. Pemuda itu mengangkat dua tangannya ke atas.
“Wow, wow. Santai. Gue gak minat juga ngegodain lo. Cuma mau ngasih tau, Hyunjin di dance floor. Tuh,” kepala Jinyoung mengedik ke arah dance floor yang di terlihat ramai.
Hyunjin tengah menari bersama beberapa gadis di lantai dansa. Berjingkrak riang. Satu tangannya memegang botol beer. Sayang satunya lagi merangkul seorang gadis pirang seksi yang seketika membuat hati Riri memanas. Ia melangkah cepat ke sana. Menyibak kerumunan orang-orang. Beberapa melayangkan protes namun sama sekali tak di gubris Riri.
“Kak!” Riri menarik bahu Hyunjin membuat pemuda itu berbalik. Senyum separuhnya mengukir.
“Sayaaang~~ kok baru dateng?” rangkulan Hyunjin di bahu gadis seksi tadi terlepas. Ia langsung merengkuh tubuh mungil Riri yang dibalut leather jacket hitam malam ini. Bau alkohol menyeruak ke dalam rongga hidungnya. Tubuh Riri terhuyung ke belakang, menahan bobot tubuh Hyunjin.
“Kak, lo mabok. Mending kita pulang aja?”
Hyunjin melepaskan pelukannya. Ia menggerakan telunjuknya ke kanan dan ke kiri. “Noo~~, partynya baru mau mulai, sayang. Masa mau pulang. Lo itu pemeran utamanya malam ini.”
Jujur saja. Riri memang suka ke klub. Tapi bukan untuk mabuk-mabukan atau apa. Mereka paling Cuma duduk-duduk saja. Mengobrol, karaoke, minum sedikit, terus pulang. Bukan dalam artian yang seperti ini.
“Ayo, ayo semuanya. Hari ini, pacar gue yang traktir. Kalian boleh minum sepuasnya. Karena pacar gue ini resmi jadi milik gue setelah mutusin tunangan brengseknya itu. Ahahaha,” Hyunjin terbahak, seolah kalimatnya barusan adalah sebuah lelucon terlucu. Semua bersorak. Mereka kembali menikmati musik dan minuman yang telah di siapkan bartender.
Riri meneguk ludahnya. Menatap Hyunjin dalam diam. Pemuda itu masih tertawa hingga merasa jengah karena Riri terus-terusan menatapnya.
“Kenapa sih, sayang?” telapak tangan besar Hyunjin menangkup sebelah pipi Riri. Mengusap kulit sehalus pualam itu dengan ibu jarinya. “Kamu kok keliatan gak bahagia? Seharusnya kamu seneng dong, akhirnya kamu bisa lepas dari pertunangan sialan itu.”
Riri menyentuh punggung tangan Hyunjin. Bibirnya mencoba tersenyum lalu kepalanya mengangguk. “Gue bahagia kok.”
HYunjin mengecup bibir Riri singkat sebelum merengkuh tubuh itu kembali dalam dekapannya. Riri mengusap punggung Hyunjin seraya menyandarkan dagunya di bahu tegap pemuda itu.
“Kak,” Riri lebih dulu melepaskan pelukannya. “Hm?” sahut Hyunjin sambil meneguk beer-nya.
“Gue ke toilet dulu ya.”
Hyunjin hanya menjawabnya dengan anggukan. Riri mengecup pipi Hyunjin singkat sebelum berbalik pergi.
Dari lantai dua ada sepasang mata yang tengah memerhatikan interaksi pasangan kekasih itu. Ia meletakan gelas vodkanya ke atas meja. Menyambar jaket denimnya sebelum beranjak dari sana.
“Jaem, mau kemana lo?”
*
Tidak biasanya Jaemin menghabiskan malamnya bermain di klub sambil minum. Biasanya, Jaemin lebih senang menghabiskan waktunya di kamar. Mengedit video atau poto. Membaca beberapa buku atau menyiapkan materi untuk kelas esok hari.
Jeno dan Renjun sempat heran. Awalnya Renjun menelpon. Niatnya ingin tanya beberapa hal soal tugas. Tapi pemuda itu mengatakan sedang sibuk. Renjun bisa mendengar dentum musik dari saluran telponnya dan menduga jika Jaemin tengah sibuk di tempat yang namanya klub.
Oh, ini seperti alarm.
Sedikit memaksa, Renjun meminta Jaemin memberitahunya dimana itu. Awalnya Jaemin mengelak. Tapi akhirnya menyerah dan memberitahu dimana dirinya sekarang. Jaemin meminta agar Renjun datang sendiri.
Lalu lihatlah, Renjun mengajak serta Jeno. Ya sudahlah, tidak mungkin Jaemin meminta Jeno dan Renjun pulang. Setidaknya Jaemin juga tidak sendirian sekarang. Jeno mengusulkan Taro dan Yangs untuk ikut. Tapi Jaemin tidak mengijinkan.
Renjun hanya minum beberapa teguk. Sementara Jaemin sudah menghabiskan setengah botol vodka. Matanya merah dan bicaranya mulai melantur. Satu-satunya yang masih punya kesadaran penuh adalah Jeno. Well, jika Jeno juga mabuk, siapa yang akan mengangkut dua orang temannya itu.
Jaemin masih menikmati minumannya sembari memerhatikan orang-orang yang tengah menikmati musik, berdansa, hingga netranya menangkap sosok Hyunjin juga. . . Riri di antara kerumunan orang di lantai dansa. Jaemin menegak habis minumannya, meletakan gelas kosongnya ke atas meja lalu meraih jaket denimnya.
“Jaem, mau kemana lo?” teriak Jeno.
*
Riri baru saja ingin keluar dari toilet. Saat menarik gagang pintu, pintunya malah terkunci. Berkali-kali ia mencoba untuk membukanya, namun gagal.
“Buka!!! Woy!! Siapa yang kunciin!!” teriak Riri mulai panik.
Jaemin keluar dari toilet. Senyum puas merekah di bibir tipisnya. Sekarang, tidak akan ada yang bisa menghalanginya lagi.
Satu tangan Jaemin meraih botol yang ada di atas meja. Ia berjalan pelan menuju lantai dansa.
DI lain sisi, Hyunjin yang tengah asyik menari bersama teman-temannya tidak menyadari jika bahaya tengah mengincarnya. Hingga satu hantaman kuat menyarang di belakang kepalanya.
Tubuh Hyunjin jatuh ke lantai. Jaemin menyeringai senang. Ia jambak rambut bekalang Hyunjin tidak peduli sang empu yang merintih kesakitan. Dihantamkannya wajah Hyunjin ke lantai berkali-kali. Jinyoung langsung menendang tubuh Jaemin.
Jaemin terpental ke sudut lantai dansa. Pekikan dan seruan terdengar memenuhi penjuru klub. Adu jotos itu tak bisa dihindarkan lagi. Tapi ini bukan Jaemin yang biasanya menahan diri. Kali ini kekuatan dan kemarahannya tidak ia sembunyikan lagi. Jaemin luapkan semuanya.
Hingga tiada guna lagi teman-teman Hyunjin yang terbilang kuat. Pun dengan Hyunjin. Jaemin menghajarnya habis-habisan. Saat kesadaran Hyunjin mulai menghilang, Jaemin menyeretnya ke arah kolam. Lalu menenggelamkan kepalanya disana.
“Jaemin!! Stop!!!” Jeno yang baru saja melihat kejadian itu, langsung menahan lengan Jaemin.
“Lepas, Jaemin! Lo bisa ngebunuhnya!!”
Tanpa ekspresi, Jaemin malah menyahut santai, “biar mampus sekalian.”
“Stop! Jaemin!!” Jeno menarik kuat lengan Jaemin lalu memelintirnya ke belakang sebelum mendorong Jaemin menjauh. Jaemin terkekeh, mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Lalu salah satu petugas keamanan klub datang.
Jaemin menyeringai. “Kenapa dateng sekarang?”
Lalu Riri muncul. Terperangah melihat kekacauan. Hyunjin terkapar di dekat kolam dan Jaemin yang berdiri santai seolah itu bukanlah apa-apa.
“Ck, lo juga. Diem-diem aja di toilet gak bisa apa,” ujarnya.
Dahi Riri mengernyit. “Lo yang kunciin gue di toilet?”
Jaemin hanya tersenyum lalu dirinya di giring keluar oleh petugas keamanan di susul Jeno. Setelah kepergian Jaemin, Riri buru-buru menghampiri Hyunjin. Pemuda itu sudah tak sadarkan diri. Jaemin benar-benar menghajarnya habis-habisan.
*
“Jen, anterin gue ke apart aja. Gue gak mau pulang,” kata Jaemin dengan mata terpejam.
“Hyunjin pasti minta pertanggung jawaban lo,” sahut Jeno sambil fokus menyetir.
“Gue gak peduli.”
JEno mendengkus. “Ya udah. Tapi kita anterin Renjun dulu.”
Renjun sendiri sudah tertidur pulas di jok belakang. Akibat minum lumayan banyak.
“Gue tinggal bentar doang ke parkiran buat bawa Renjun, lo udah buat masalah aja. Kalo bunda sampe tau—“
“Plis gak usah bawa-bawa bunda gue. Lo mending diem. Gue pusing.”
“Ck, iya iya. Asu lo!”
*
Satu bulan kemudian. . .
“Jaemin masih gak ada kabar?” tanya Renjun pada Yangs. Kebetulan mereka punya waktu berkumpul. Kali ini apart Yangs jadi base campnya.
“Tauk tuh. Emaknya aja gak tau anaknya pergi kemana,” sahut Yangs. “Padahal lo tau sendiri matkul padet banget. Anaknya malah kabur gak tau kemana. Di anggapnya kuliah gampang kali.”
"Terakhir ketemu pas gue anterin ke apartnya."
Renjun menolehkan kepalanya pada Jeno, "habis tonjok-tonjokan sama Hyunjin?"
“Ya gitu," Jeno mengangkat bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaemin | 7 Rings [COMPLETED]
Fanfiction[PG+16] | Completed "Gimana jadinya kalo dua makhluk yang selalu terlibat percekcokan sengit tiba-tiba di jodohin?" Present : Jaemin x Riri (OC) With Hyunjin and others :: Bahasa semi baku :: Chapter sudah lengkap :: Don't be silent readers