Hanya Mampu Diam

13.1K 438 1
                                    

Aku sibuk mengikat rambutku ketika mendengar teriakan ibuku dari dapur tentang betapa lamanya aku dan petuah serta omelan kalau-kalau nanti aku terlambat ke sekolah. Aku segera keluar kamar tanpa lupa memakai jaket hitam putih yang hanya kupakai pada hari rabu ini. Ibuku geleng-geleng kepala melihatku. "Kenapa?" tanyaku sambil memakai krim muka asal-asalan. Secara, aku sudah telat 5 menit dari waktu seharusnya aku berangkat. Rumahku cukup jauh dari sekolah. Walau kalian berpikir, 'plis deh timbang 5 menit doang' eits jangan salah 5 menit ini berharga bagiku, apalagi kalau hari ini ada pelajaran fisika dan aku belum mengerjakannya. Mau apa?

"Kalau mau berangkat cepet, buruan dong. Mama kan juga sibuk, adekmu juga belum dianter" omel ibuku. Aku hanya mengangguk dan meneguk susu tanpa bernapas. Gelengan kepala ibuku makin menjadi-jadi. 

Aku berjalan melewati rumah berwarna abu dengan cat merah. Pagar hitamnya terbuka sedikit, menandakan pemilik rumah akan pergi. Dan tepat saat aku menjauh dari rumah tersebut, terdengar suara motor dinyalakan. Jantungku tiba-tiba berpacu cepat, seperti perasaanku setiap pagi jika melewati rumah itu. Deg-degan dan berharap dia belum berangkat. Selalu seperti itu. Tiba-tiba terdengar suara besi membanting tembok, artinya pagar itu terbuka. Aku bahkan tidak berani menoleh ke belakang apakah yang mengeluarkan motor itu dia atau bukan. Kemudian suara deru motor itu berhenti. Penasaran, aku menoleh ke belakang. Aku hanya melihat motornya diparkirkan di depan rumah abu itu dan pemiliknya entah kemana. Mungkin ada yang ketinggalan. Tanpa berpikir panjang, aku kembali berjalan menuju pertigaan dekat rumahku dan ketika aku naik ke atas angkot pun motornya tak kunjung lewat. Selalu seperti itu.

*

Intan tiba-tiba duduk di sebelahku, tidak melakukan apapun. Diam. "Kenapa lo, Tan?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Buset, ini fisika banyak banget pr nya. 15 menit lagi bel masuk dan masih ada 20 nomor yang belum kukerjakan. "Enggak. Bosen aja" jawabnya. Aku menatapnya sesaat, Intan kalau lagi begini pasti lagi bete berat. "Kenapa sihhh? Nggak ketemu si Adi?" tanyaku langsung to the point. Adi itu anak kelas 11 IPS yang ditaksir Intan sejak pelantikan ekskul. "Rese. Dia udah jadian. Pacarnya kelas X1" jawabnya dengan mulut manyun. Aku cengengesan. "Kok lo malah ketawa sih, Nin? Nyebelin banget. Gue lagi bete nihhh" 

Aku menahan cengengesanku. "Ya makanya, reaksi gue harus gimana dong? Marah-marah gitu ke elo kenapa biarin dia jadian? Kan enggak. Gue sebagai teman yang baik nih ya, cuma mau bertanya lo maunya tetep nahan perasaan lo nyampe dia putus sama pacarnya itu atau tetep diem aja gak ngelakuin apapun dengan ngeliatin dia dari jauh?" 

"Halah, itu kan lirik lagu HiVi. Dikira gue gak tau. Gue gak sesedih itu juga kali, Nin." jawab Intan. "Oh iya, tadi gue ketemu sama kakak lo lho, Nin!" tiba-tiba wajahnya berubah sumringah. Aku mengerutkan kening. "Kakak? Sejak kapan gue punya kakak?" tanyaku polos. Jelas-jelas aku anak sulung. Intan mendecak gemas. "Finsa lho, Nin. Finsaaa" katanya. Aku membulatkan mulutku membentuk huruf O sambil mengangguk. "Jadi, gue baru turun dari angkot tuh, eh gue liat dia jalan ama temennya dari parkiran, terus gue jalan sejajar lho sama dia. Bahkan parfumnya pun gue nyium" jelas Intan tanpa dipinta. Tunggu. Parfummm??? "Lo jalan sedeket apa, Tan, ampe bisa nyium parfum dia??" tanyaku heboh membuat beberapa temanku menatap kami. "Santai, santai.. Ya jalan sejajar aja. Bentar doang kok, cuma sekilas sih nyiumnya tapi kerasa banget" jawabnya. Kini aku yang bete abis mendengar cerita Intan.

Seumur-umur, aku belum pernah jalan berdampingan dengan Finsa, tetangga sekaligus kakak kelasku sejak SMP. Tapi baru di SMA ini aku menyukainya. Banyak teman sekelasku yang tahu kalau aku menyukai Finsa. Cerita tentang aku suka sama orang itu menyebar begitu saja di kelas. Setiap bertemu Finsa di sekolah, aku pasti selalu membuang muka atau pura-pura mengobrol dengan temanku. Cupu? memang, tapi kenyataannya, aku bisa jadi jantungan kalau bisa bertatapan langsung dengan wajahnya. Sedihnya lagi, selama 6 tahun tinggal dengan rumah berdekatan plus satu sekolahan, aku belum pernah mengobrol dengannya. PATHETIC heh?

*

Kamis, 31 Januari 2013. Aku melihatnya berjalan keluar gerbang dengan jaket biru dan tas merah. Tapi hanya punggungnya saja. Ia jalan bertiga dengan temannya. Bayu dan Dicko. Bahkan aku hafal nama temannya. 

*

Setelah selesai menulis, aku membalik halaman notesku yang berwarna biru muda. Beberapa lembar sudah terisi tulisan pendek. Di notes tersebut tercatat mengenai 'dia'. Kalau aku melihatnya, aku segera mencatatnya di notes itu sepulang sekolah. Apalagi kalau ada info baru yang kudapat, pasti langsung kucatat. Aku memang sudah seperti penguntit tingkat tinggi. Lucunya, dia tidak pernah mengetahui kebiasaan burukku ini. Syukurlah. Lebih baik begitu daripada aku harus menahan malu kalau-kalau dia tahu aku memiliki notes khusus tentang dirinya. Masalahnya ini bukan cowok biasa yang kusukai ketika SMP dulu. Tapi dia tetanggaku. Sekali lagi tetanggaku. Hal yang sangat gawat apabila keluargaku tahu kalau aku menyukainya. 

Aku tersenyum membaca tulisan tanggal 20 Desember 2012. Aku tengah memperhatikannya ketika ia turun dari mobil. Tiba-tiba saja ia melihat ke arahku seakan aku menyenterinya dengan sinar laser yang menyilaukan. Otomatis aku membuang muka. Aduh, malu banget.

Inilah kebiasaanku disamping belajar dan mengerjakan pr. Mencari tahu info sebanyak-banyaknya tentang si doi. Huft, sebenarnya lelah sih selalu diam dan diam seperti ini berusaha tetap tenang ketika dia lewat di sampingku, pura-pura tidak melihat ketika dia berjalan di belakangku, bahkan pura-pura mengobrol dengan teman kalau sudah melihatnya berjalan di kejauhan. Ingin rasanya aku melihatnya dari dekat, mengobrol dengannya, minimal chatting lah. Tapi... mustahil banget. Karena aku sangat pengecut kalau sudah ingin berinteraksi dengannya. 

"Dia kayaknya mau kuliah di IPB deh, Nin. Soalnya dari tadi dia berdiri terus tuh di stand IPB" aku teringat perkataan Roni saat itu di Pameran Kampus di sekolahku. "Lo mau ambil IPB juga gak? Bisa satu sekolah lagi tuh sama dia" lanjutnya. "Hmmm, sori, walaupun gue naksir ama dia, tapi gak perlu nyampe universitas gue kudu harus sama juga kan? Lagian gue kan maunya di UI" jawabku. Lalu aku hanya menatapnya dari balik stand UI, ia sedang mendengarkan penjelasan dari alumni yang kuliah di IPB. 

Aku menutup notes kecil itu. Teringat kembali kata-kata sahabatku. "Sedih banget sih, Nin. Kangen sama anak satu sekolahan. Rumahnya deketan pula. Usaha dong, mampir ke rumahnya basa-basi bawa makanan" Saat itu aku hanya tertawa. Walau sampai sekarang, aku masih memikirkan kata-katanya.

*

"Nin, tadi mama ketemu Bu Ririn, katanya anaknya yang cowok, Finsa, mau berangkat ke Bogor besok. Soalnya bentar lagi dia udah harus masuk" kata mamaku ketika sedang cuci piring. Aku tersedak makanan yang tengah kutelan hingga terbatuk. APAAA? jeritku dalam hati. "Oya?" hanya itu komentarku di depan mamaku. Padahal dalam hati aku sudah mengutuk diri setengah mati, kenapa kemarin-kemarin tidak berbasa-basi dengannya. 1 tahun ini kulewati dengan sia-sia karena hanya mampu diam. Apalagi setelah kelulusannya, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. 

Sorenya, ibuku pergi untuk ke pasar bersama adikku. Aku berbaring di tempat tidur sejak siang. Hanya diam. Menatap notes yang berisi tentang pertemuanku dengan Finsa, informasi tentang Finsa, bahkan ada satu fotonya. Aku memeluk notes itu erat. 

Tiba-tiba terlintas di pikiranku sebuah ide. Bisa dibilang bunuh diri tapi harus kulakukan. Dan tidak bisa ditunda, harus sekarang!

*

Tingg... Tong...

Bel rumahnya berbunyi. Tidak ada mobilnya. Apa mungkin tidak ada orang di rumah? Dari jendela kecilnya, terlihat seorang cowok berperawakan tinggi dengan kacamata berjalan menuju pintu. Dengan panik, aku segera bersembunyi di semak-semak depan rumahnya. Berusaha memastikan kalau yang memegang buku itu dia, bukan orang lain. Dan tebakanku beruntung, dia berjalan keluar dengan bingung menuju pagar. Lalu matanya tertuju pada notes itu. Diambilnya notes itu dan dibukanya. Mungkin dia melihat sobekan yang bertuliskan namaku. Sekali lagi dia mencari siapa si pengirim notes itu. Lalu, ia pun berbalik masuk ke dalam rumahnya dengan wajah bingung memandangi notes itu.

Ya, kini minimal dia tahu bahwa ada seseorang yang memperhatikannya sedetail itu bahkan sampai menulis notes khusus tentangnya. Yang tersisa hanya halaman terakhir yang tak tahu harus kutulis apa. Aku tersenyum sendiri sambil berjalan pulang. Tapi tetap saja si pengirim itu pasti tetap menjadi pertanyaan dalam batinnya. Biarkan saja. Aku malu kalau dia mengetahui kalau si pengirimnya ini hanya mampu diam dan bersembunyi darinya. 

***

Hanya Mampu DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang