"Nah, bagus juga si Irvan akhirnya mati. Emang harusnya orang jahat itu mati aja." Aku mendengar ibu mengoceh di depan televisi sambil mengetuk-ngetukkan remote control di sofa dengan gemas.
Aku melirik ke arah ibu dengan tak acuh dan kembali menekuni UNO stacko di depanku karena ini sudah memasuki fase permainan yang cukup serius.
"Padahal baru kemaren Ibu mbatin kalau Irvan mati eh tahunya beneran mati dong, Mas Ryu."
Ryu yang duduk lesehan di sebelahku hanya tersenyum-senyum bloon dan berkata 'iya-iya' berulang kali sementara aku terkikik-kikik melihat reaksi Ryu itu.
"Lah, kalau tokoh antagonisnya mati berarti sinetronnya bentar lagi tamat dong, Bu?" tanyaku.
"Ya enggak semudah itu lah, Marimar— eh anakku, Ganis." Aku memutar bola mata mendengar lelucon ibu. "Ini masih ada konflik baru. Rena, anaknya Andin yang jadi tokoh utama, hilang dan Al yang jadi papa tirinya harus mencari keberadaan Rena di mana," jawab ibu dengan mata yang masih setia terpaku pada televisi. "Padahal kalau tokoh jahatnya masih ada malah jadi makin seru ya sinetronnya. Harusnya Ibu jangan mbatin Irvan mati ya soalnya Irvan jadi beneran meninggal," imbuhnya.
"Harusnya Ibu malah nggak usah nonton sinetron, Bu. Nggak ada gunanya juga," cetusku.
"Eh, siapa bilang nggak ada gunanya?" tampik ibu.
"Emang apa gunanya nonton sinetron, hayo?" tantangku.
"Ya, buat menghibur penonton lah salah satunya ibu," balas ibu.
"Kalau pengen terhibur tuh nontonnya stand up comedy, Bu, jangan sinetron. Nonton komedi, kan, bisa ketawa. Lah, kalau nonton sinetron mah bukannya terhibur malah jadi gemes sendiri. Lah, ceritanya muter-muter gitu doang. Mana tokoh utamanya kebanyakan pasif. Udah tahu dianiaya sama tokoh antagonis tapi diem aja. Entah bego entah submissive."
"Apa itu submissive?" tanya ibu.
"Sederhananya, itu istilah buat orang yang pasrah aja tapi biasanya dalam konteks seksual tapi mungkin bisa juga dipake untuk ranah sinetron soalnya sebelas dua belas," jawabku.
"Justru itu, Nis. Dengan adanya sinetron kita mempelajari bahwa Tuhan itu maha baik. Kalau kita membalas kejahatan dengan kejahatan juga pasti dunia ini akan kacau makanya kenapa sinetron memberi kita pelajaran bahwa kebaikan yang kita tanam kelak akan menuai kebaikan juga. Lihat, kan, tokoh antagonisnya sekarang mati."
Aku mencebik. "Tapi dari sinetron juga kita belajar bahwa setiap perbuatan jahat yang dilakukan orang ke kita itu harus dibalas biar siksaan yang diterima nggak panjang yang bisa sampe ratusan bahkan ribuan episode. Padahal, kan, andai tokoh utamanya pinter dikiiiiiitt aja pasti dia nggak akan kelamaan disiksa. Kalau di sinetron sih enak disiksa nggak mati tapi kalau di dunia nyata kayak gitu bisa depresi dan bunuh diri, Bu," cerocosku.
"Ah, kamu itu sukanya merendahkan sinetron padahal kamu ya suka nonton drama Korea juga. Emang apa bedanya. Drama Korea, kan, kalau di sono juga jadinya sama aja kayak sinetron," cibir ibu tak mau kalah.
"Bu, drama Korea itu nggak ada yang episodenya sampe ratusan apalagi ribuan. Mentok dua sampe tiga puluh episode. Dan lagi ceritanya cenderung beragam. Konfliknya nggak kayak sinetron Indonesia yang cuma seputar anak yang tertukar, rebutan harta warisan, hubungan yang nggak direstui keluarga karena yang cewek miskin yang cowok kaya, tokoh utama anak sekolah tapi nggak pernah kelihatan lagi sekolah atau minimal ngerjain PR, dan tokoh utama yang amnesia setelah kecelakaan. Beberapa drama Korea malah udah pake teknologi digital yang mumpuni. Nggak kayak sinetron atau drama kolosal Indonesia yang CGI-nya aneh dan kentara nggak niat," debatku membela diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
KADREDA | Tamat
RomancePengangguran sempat menjadi nama tengah Ganis selama enam bulan lamanya sampai akhirnya ia diterima bekerja di sebuah sekolah swasta bernama Republik Ganesha di bawah naungan yayasan yang sama. Di sanalah Ganis melihat sosok yang mirip aktor drama K...