PROLOG

27 3 3
                                    


Suara dentuman sangat keras dan memekakkan telinga, mengagetkan semua orang yang sedang beraktifitas sore itu. Bumi bergetar menyebabkan semua orang berhambur ke luar rumah dengan panik. 

"Semeru erupsi!"

"Allahu Akbar!"

"Lari"

"Tolong!"

Suasana yang tenang, seketika berubah menjadi kacau balau.  Suara teriakan penuh kecemasan dan kepanikan terdengar di mana-mana. Erupsi Gunung Semeru seketika menjadi monster menakutkan bagi mereka. Semua orang berlarian, bahkan saling bertabrakan. 

Para wanita yang bersantai pun, berhamburan meraih anak mereka yang sedang asyik bermain, disertai teriakan dan tangisan histeris bergema dari segala arah. Seorang pria muda sampai jatuh tersungkur di tengah jalan. Niat ingin selamat dari erupsi gunung, malah terluka ketika hendak melarikan diri. 

Tak sedikit dari penduduk desa yang terpisah dari sanak saudara. Orang-orang yang memiliki kendaraan membawa penduduk desa yang sudah berumur. 

BLAR! 

Suara dentuman dan bumi bergetar kembali menyapa. Menambah kepanikan penduduk desa. 

"Ayo, Mbah. Enggal minggah (Ayo, Nek. Lekas naik)!" Seorang pria muda berusaha mengajak pergi wanita tua yang masih berdiam diri di rumahnya. 

"Sik. Ngenteni bojoku moleh seko nggolek kayu bakar, Le. Wonge sik kas munggah gunung (Sebentar. Nunggu suamiku pulang dari cari kayu bakar, Nak. Dia baru saja naik gunung)." Namun, sayangnya sang nenek menolak dan masih menunggu suaminya pulang. 

"Sing penting panjenengan minggah kendaraan rumiyin, Mbah. Mangke mbah kakung kersane dipadosi kaliyan petugas (Yang penting Nenek naik kendaraan dulu. Nanti kakek biar dicari oleh petugas)."

"Ayo, Mbah. Gununge selak mbledhos gedhe (Ayo, Nek. Gunungnya keburu erupsi besar)."

Gelengan dan senyuman yang menyirat kekhawatiran akan keselamatan suami, adalah jawaban dari nenek tersebut. Menolak meninggalkan rumahnya demi menunggu kepulangan sang suami. 

"Budhalo dhisik. Ben aku ngenteni bojoku nang kene. Engko tak susul mrono karo bojoku (Berangkatlah dahulu. Biarlah aku di sini menunggu suamiku. Kalian akan aku susul ke sana bersama suamiku)."

Pick up yang bermuatan para penduduk desa lanjut usia itu pun, perlahan meninggalkan nenek yang tersenyum. Sepasang mata sayu milik nenek beralih menatap gumpalan debu vulkanik, yang terlontar dari puncak Gunung Semeru.

"Mbah, panjenengan ten pundhi (Kek, kamu di mana)?" lirih wanita lanjut usia itu. 

Suasana desa perlahan sepi. Hanya beberapa penduduk yang bertahan di desa. Suara dentuman dan getaran bumi terus menyapa. Suara gemuruh debu vulkanik yang menuruni gunung menuju daerah di bawahnya, nyaring terdengar. 

Langit sore seperti malam hitam pekat. Hujan yang turun dengan lebat membawa abu vulkanik, menambah mencekamnya sore itu.

SEPATU WANITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang