Memori Hujan

14 5 2
                                    

"Mencintaimu adalah anugerah. Kukira begitu, hingga kau ucapkan kata pisah dan tinggalkanku dalam setuja resah."

___@@@___

Gemuruh petir yang memekakkan telinga, embusan angin yang membuat pohon palem menari tak karuan, dan langit yang seolah berkedip. Semua itu menyempurnakan malam paling dingin di bulan Desember. Setidaknya itu yang dirasakan Varsha, wanita yang sedari tadi menggosok kedua telapak tangan. Terjebak di sebuah kedai di antara kegilaan badai membuat bibir merahnya sedikit bergetar kedinginan. Meskipun telah memakai syal dan jaket rajut, itu belum cukup.

Entah apa yang dipikirkan wanita paruh baya pemilik bangunan usang tersebut, tak mau mengalah dan mematikan kipas angin. Padahal sudah jelas jika pelanggannya mulai bersin. Varsha yang malang tak punya pilihan, selain menutupi hidungnya dengan tisu, berharap udara yang dihirup menjadi sedikit lebih hangat. Andai saja mau menuruti perkataan sang bunda, mungkin saat ini dirinya dapat meringkuk di bawah selimut sembari memimpikan hal indah, tapi tidak. Justru memilih pergi menemui orang yang belum kelihatan setelah dua jam ditunggu.

"Kak, mau nambah kopinya?" tawar salah satu pegawai kedai yang tampak paling normal, mengerti kebutuhan pelanggan.

"Ah, tolong satu einspanner," jawab Varsha sambil melirik ke name-tag mitra bicara. "Tunggu ... berikan dua saja."

Pria bercelemek putih gading itu berbalik sekejap, melempar senyum, lalu segera meraih toples berisi moka pot. Hanya perlu waktu singkat bagi pesanan siap. Ia bahkan ingat untuk menaburkan ekstra bubuk cokelat seperti yang disuka gadis yang selalu mampir dua kali seminggu itu. Perlahan dirinya memindahkan cangkir berisi kopi panas ke atas nampan. Kemudian, berjalan kembali ke meja di dekat jendela.

"Kakak sudah minum dua gelas, jadi einspanner yang satu saya bungkus."

"Oke." Varsha harus mendongak agar bisa melihat wajah Alex, pegawai asing yang baru hari ini dilihatnya. "Kalau mau, duduklah di sini."

"Maaf?" Pria itu tetap bertanya, memastikan jika yang didengar tak keliru.

"Nggak ada pelanggan lain, 'kan? Duduklah di sini, nanti kopinya buat kamu."

Sekalipun agak canggung, Alex tetap menurut. Tak ada yang lebih penting dari melayani pelanggan dengan sepenuh hati baginya. Namun, bungkam menjadi bahasa mereka. Varsha terlanjur fokus memperhatikan rinai hujan. Entah kenapa, perasaannya gelisah. Ini memang bukan kali pertama buatnya menunggu ratusan menit. Hanya saja ia cemas kalau harus menanti selamanya, sementara kaki enggan beranjak pergi sebelum menemui orang yang bersangkutan. Yah ... setidaknya hujan kali ini membawa berkah, ia tak harus diusir, walau kedai sudah memasuki jam tutup.

"Kakak menunggu teman?" Karena tidak tahan lagi, Alex angkat suara. "Sepertinya dia tidak akan datang, Kakak pulang saja. Kalau tak bawa payung, pakai punyaku."

"Terus kamu pulang pakai apa?" Wanita yang rambutnya diikat itu beralih menatap pria di seberang meja.

"Jangan pikirkan itu, cowok nggak akan sakit hanya karena basah."

"Oh, maksudmu cewek itu lemah?"

"Bukan!" Refleks dirinya menggeleng. "Kakak kan pelanggan setia, wajar jika dapat perlakuan khusus."

Varsha mengerutkan dahi, berpikir bagaimana pria itu bisa tahu. Jelas sekali ia baru bekerja ini kali pertama mereka bertemu. Entah karena raut Varsha mudah terbaca atau apa, Alex tiba-tiba berkata, "Adikku tadinya bekerja di sini. Karena dia demam, aku yang gantikan. Dia selalu cerita tentang pengunjung kedai ini sampai telingaku sakit, wajar kalau aku mengenali penampilan Kakak yang--"

Belum sempat menyelesaikan kalimat, Alex segera bangkit begitu mendengar suara lonceng berbunyi, tanda jika seseorang membuka pintu. Dengan sopan, ia segera mengucapkan selamat datang, tetapi masih dalam posisi duduk. Segera pria bertubuh tinggi itu bangkit dan mempersilakan kedua pelanggan baru untuk duduk. Mereka pasti kesulitan karena harus menerjang hujan yang tak jelas kapan berhenti.

"Apa di sini tak ada makanan? Aku lapar sekali," ujar sang wanita yang terus bergelayut di lengan pacarnya sejak memasuki kedai.

"Harusnya ada beberapa jenis roti, tapi semuanya sudah habis karena terlalu malam. Jika tidak hujan, kami sudah tutup setengah jam yang lalu. Apa Kakak mau pesan kopi panas saja?" Alex tetap ramah, seperti seharusnya.

"Kopi? Hanya kakek-kakek yang minum sampah hitam itu. Berikan aku teh chamomile! Kalau untuk Sayangku, bawakan dia teh hitam," titah wanita yang tak memikirkan perasaan orang lain. Sudah jelas jika tempat yang ia gunakan untuk berteduh adalah kedai yang notabennya menjual kopi, tetapi malah merendahkan minum tersebut secara terang-terangan. Sungguh menyulut perang!

Tak mau mengacaukan hari pertama bekerja, Alex tetap melempar senyum, bergegas pergi tanpa bertanya jenis gula apa yang mau digunakan. Ia terlanjur kesal. Namun, ada orang yang lebih kesal darinya, yakni wanita di pojok yang melirik sinis dengan niat membunuh yang kuat, siapa lagi jika bukan Varsha. Dia terus mengepalkan tangan, menahan kecemburuan atas sejoli yang bermesraan di tempat umum.

Samar-samar ia dapat mendengar apa yang mereka perbincangkan. Sungguh menggelikan, siapa pun yang jomlo pasti kesal. Sayangnya, Varsha tak berada di status lajang, ia telah menjadi tunangan dari pria yang melamarnya empat tahun lalu, pria sama yang mengabaikan pesannya, dan asyik tertawa di barisan meja sebelah, bersama wanita yang entah siapa. Sial sekali, ini pasti hukuman karena mengabaikan perkataan bunda. Sontak dinginnya malam terlupakan, berganti keinginan untuk enyah dari kedai yang menjelma neraka.

Melodi Varsha: Hujan Terpikat SenyummuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang