Prolog

10.1K 1.2K 87
                                    

—    Prolog

Setiap manusia yang hidup pastilah punya tujuan yang harus dicapai, tapi dalam mencapai tujuan itu tidak jarang manusia mendapat sebuah hambatan entah dalam bentuk apapun.

Petani menghadapi paceklik, dokter menghadapi pandemi, hambatan banyak bentuknya dan kini Siwi dihadapkan pada sebuah hambatan, ia mengalami writer block, momok yang ditakutkan tapi pasti akan dialami seluruh penulis di sudut bumi manapun.

Banyak yang berkata, sebuah tulisan di buku romance tidak lain tercipta karena penulisnya jatuh cinta atau patah hati.

Yang jadi masalah, Siwi sedang tidak mengalami keduanya, sementara dikontrak yang ia tanda tangani dengan penerbit besar memilik syarat kalau ia setidaknya harus menerbitkan satu buku dalam setahun. Ini sudah hampir penghujung tahun, besok sudah November tapi prologpun tidak ada sebaris.

Lalu Siwi harus apa? Pada akhirnya ia pasrah menyandar di meja kerjanya.

Sudah terlalu lama Siwi tidak merasakan afeksi, ia bahkan sudah lupa apa yang namanya cinta.

Siwi terbilang beruntung dengan buku romancenya tahun lalu karena terinspirasi dari kisah cinta illustratornya, tapi tahun ini ia sungguh buntu.

Harusnya waktu kuliah ia banyak menjalin kisah, bukan hanya dengan dua pria yang jauh lebih tua dari umurnya hingga Siwi tidak pernah merasakan sebuah percintaan anak muda yang merah muda, hubungannya selalu serius dan dewasa. Memuakkan, apalagi keduanya berakhir patah hati.

"Siapa ya kenalan gue yang masih muda? Yang kira-kira punya percintaan anak muda yang manis?" Pikiran Siwi mulai melalang,

"Apa gue sewa BF rent aja ya di twitter?"

Ide yang tidak terlalu baik, bagaimana bisa ia merasakan afeksi hanya dari ketikan dan voice note selamat malam?

"Tapi kata anak redaksi, dia gumoh, kalau love language lo word of affirmation ya gak apa-apa katanya... hem gue aja gak tau love language gue apa."

Lama Siwi menulusuri buku telepon pada ponselnya sampai jemarinya berhenti pada kontak Lukman, juniornya dulu di pecinta alam, sekaligus sepupu jauhnya.

Sebenarnya Siwi jarang menghubungi pemuda itu, paling jika ingin ditemani ke suatu tempat penting atau ada acara keluarga dimana mereka pergi bersama sebagai sepupu, seingat Siwi— Lukman lebih muda empat tahun darinya, ia juga masih kuliah. Tapi agaknya tidak mungkin Siwi meminta Lukman memberi afeksikan? Siwi juga tidak akan bisa membangun rasa dengan laki-laki yang dianggap adik kandung sendiri.

"Eh tapi pasti Lukman punya teman seumurankan?"

Lagi-lagi ide gila mampir menyapa pikiran Siwi bersama dengan sebuah prolog cerita yang pasti akan diketiknya jika rencana di kepalanya berhasil.

Baru dua kali berdering, suara Lukman yang selalu bersemangat terdengar di telinga Siwi.

"Luke?" Panggil Siwi.

"Siap, perintah senior!"

Siwi sempat terkekeh, Lukman selalu begitu, meski mereka keluarga ia kadang memperlakukan Siwi layaknya Senior terhormat di pencinta alam. Namun, Siwi berusaha menahan tawanya, ia memasuki mode serius, ia benar-benar membutuhkan bantuan Lukman kini.

"Gue perlu bantuan lo."

"Mau dikawal kemana senior? Luke siap mengawal!"

"Gak gitu ah, lagian berhenti panggil gue senior, anjir!"

Tawa Lukman terpantul renyah, "Haha sorry, sorry. Jadi butuh bantuan apa kakak Siwi ku?"

Ada jeda sebentar sebelum Siwi menarik nafas panjang dan mengutarakan maksudnya memanggil Lukman siang itu.

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang