[ Hoshi ]
• • •
Akhir pekan pun tiba. Dan Bang Jer benar-benar menepati janjinya yang akan membukakan sebuah bar untuk gue kelola.
Nggak langsung buka juga sih. Gue sama Bang Jer masih harus nyari gedung untuk disewa yang pas dan juga nyaman, dan yang lebih penting aman agar nggak gampang dicari sama orang.
Gue mau punya bar yang didatengin sama orang-orang yang gue kenal aja, ataupun orang yang diundang langsung sama orang yang gue kenal itu. Ya...biar bar gue aman aja gitu.
"Gedungnya nggak ada yang menarik. Hampir sama semua. Sempit lagi. Cuma cukup buat barnya doang," ucap gue, merasa lelah setelah hampir dua jam gue sama Bang Jer berkeliling dan melihat-lihat gedung yang akan gue sewa.
"Tapi harganya lumayan lho, Hos. Dan bagus kok. Bersih. Tapi emang agak sempit sih." ungkap Bang Jer.
Saat ini gue sama Bang Jer lagi jalan menuju mobilnya yang terparkir setelah hampir 12 gedung lebih gue masuki untuk melihat-lihat isi di dalamnya.
"Nah itu dia Bang masalahnya. Udah mahal, sempit pula. Kan tujuan gue bikin bar sekalian ama penginapannya supaya bisa buat enak-enak juga, Bang. Jadi nggak worth it lah semua gedung yang udah kita liat tadi." keluh gue.
"Terus gimana? Kamu mau bikin gedung sendiri sesuai keinginan kamu?" ujarnya, satu tangannya ia taruh di atas kepala gue untuk ia usap pelan.
Gue menggeleng. "Itu bakal makan budget banyak, Bang. Sedangkan tabungan gue cuma cukup buat beli perlengkapannya doang sama bayar gaji bulan pertama karyawan yang bakal gue rekrut." ucap gue.
Bang Jer menaikkan satu alisnya lalu bertanya.
"Kamu rekrut karyawan juga?"
"Iya, lah. Ya kali gue sama Adam doang yang kerja. Gempor yang ada Bang." jawab gue.
"Cewek, cowok?" tanyanya lagi.
"Jelas cowok dong. Kalo bisa yang seumuran gue atau lebih muda lagi Bang. Lo tau sendiri lah, cowok-cowok homo kayak gue tuh sukanya yang muda, bening, cakep, dan juga yang gede. Kalo yang burik mah, nggak bakal ada yang mau dateng ke barnya nanti." jawab gue, sambil membayangi diri gue yang sudah menjadi pemilik sebuah bar yang dikenal cukup banyak orang.
Bang Jer cuma mengangguk-angguk doang. Diam beberapa saat, sebelum kemudian berkata.
"Berarti Abang nggak masuk kriteria cowok yang disukai homo seumuran kamu, ya." ujarnya. Kini kami sudah berhenti melangkah setelah sampai di samping mobilnya.
"Kenapa gitu?" bingung gue.
"Ya... Abang kan lima tahun lebih tua dari kamu, Hos." ucapnya, yang membuat gue langsung memperhatikannya dari atas sampai bawah.
"Emang sih. Tapi Bang Jer ganteng kok. Tinggi. Dan yang pasti, itunya Bang Jer gede. Homo manapun pasti suka Bang." jelas gue padanya yang memang mengatakan kenyataan akan dirinya.
Bang Jer terkekeh pelan. Setelahnya ia menyuruh gue untuk masuk karena hari sudah mulai gelap dan juga karena Kak Her yang pasti sudah pulang dari kursus mengemudinya. Dan ya, kami memutuskan untuk mencari gedung lagi di keesokan harinya.
• • •
"Mas! Hoshi! Ayo, makan. Ini udah siap semua di meja." teriak Kak Her dari arah dapur yang bisa gue dengar dengan jelas karena saat ini gue berada di ruang tengah menonton tv bareng Bang Jer.
Gue doang sih sebenarnya yang nonton, karena Bang Jer duduk di lantai dan fokus menatap layar laptop yang ia letakkan di atas meja kecil yang ada di hadapannya.
Katanya sih lanjutin kerjaan yang sempet tertunda kemaren. Dan ya, saking fokusnya, Bang Jer nggak bergeming sama sekali sama panggilan Kak Her tadi. Jadi gue harus bangkit dari posisi gue untuk menepuk bahunya yang kini akhirnya dia menoleh dengan wajah bertanya menatap gue.
"Kenapa, Hos?" tanyanya.
"Kak Her manggil, Bang. Disuruh makan kita." jawab gue. Bang Jer cuma ber-oh saja, lalu kembali ke posisi semulanya untuk melakukan sesuatu pada laptopnya sebelum akhirnya menutup layar laptop tersebut dan mulai berdiri berhadapan sama gue.
Senyuman kecil ia berikan, setelahnya gue rasakan usapan pelan pada kepala gue yang berasal dari tangannya yang membuat gue ikut tersenyum merasakan hangat akan perbuatannya.
"Yok, Bang. Kak Her udah nungguin kayaknya." ucap gue segera, yang disambut dengan anggukan kecil Bang Jer yang kemudian gue mengambil langkah lebih dulu menuju dapur dengan Bang Jer yang mengikuti gue di belakang.
Sesampainya di dapur, gue ngeliat Kak Her yang saat ini menuangkan air di tiga gelas berbeda yang membuat gue tersenyum melihatnya. Setelahnya, gue pun langsung mengambil tempat duduk yang biasa gue gunakan setiap waktu makan berlangsung. Begitu juga Bang Jer yang duduk di hadapan gue yang berdampingan dengan Kak Herna.
"Makan yang banyak, Hos. Kakak kebetulan masaknya banyak juga soalnya." ucap Kak Herna. Ia bersiap mengambil centong nasi yang sayangnya didahului oleh Bang Jer.
Gue pikir Bang Jer bakal bersikap romantis dengan mengambilkan nasi untuk Kak Her. Tapi ternyata, sendokan nasi pertama yang ia ambil, malah ia arahkan ke piring gue. Yang membuat gue bingung begitu juga Kak Her yang mengangkat satu alisnya.
"Ayo, makan. Mumpung kamu belum umur dua lima, masih ada waktu pertumbuhan." ucapnya, lalu mengambil sendokan kedua yang kembali ia taruh ke dalam piring gue. Dan setelah sendokan ketiga, barulah ia taruh ke piring Kak Her lalu ke piringnya.
Nggak cuma disitu, bahkan lauk-pauk yang ada di atas meja, Bang Jer ambilkan dan menaruhnya di atas piring gue. Membuat gue menghentikannya karena porsi yang sudah lebih dari kata cukup yang ia berikan.
"Udah, Bang. Gue nggak sebanyak itu kalo makan. Apalagi kalo udah malem gini. Bisa gendut gue entar." ucap gue.
"Iya, Mas. Ke piring aku lagi naruhnya, masa ke piringnya Hoshi terus." sahut Kak Herna, yang membuat Bang Jer tersadar akan perbuatannya barusan.
Dan kini Bang Jer pun mulai mengambil lauk untuk Kak Herna. Sedangkan gue mulai menyantap makanan gue sambil memperhatikan mereka yang saat ini mulai melakukan hal yang hampir setiap harinya gue lihat.
Apalagi kalo bukan adegan suap-suapan sambil tertawa kecil membicarakan hal yang mengasyikkan. Tanpa mengajak gue yang akhirnya cuma makan sambil main hp agar nggak merasakan hal aneh yang mulai gue rasakan akhir-akhir ini.
Dan ya, setelah makanan yang ada di piring gue habis. Gue pamit untuk pergi duluan menuju kamar gue. Melanjutkan main hp di sana untuk membalaskan beberapa pesan dari kenalan gue, sebelum kemudian rasa kantuk menyerang gue yang akhirnya gue pun memutuskan untuk tidur setelah merasa makanan yang gue santap terurai di dalam perut gue.
Untuk beberapa jam gue bisa tertidur dengan nyaman tanpa mengalami mimpi apapun. Tapi kemudian gue rasakan sesuatu menelusup masuk ke pinggang gue, memeluk gue sembari merasakan deru napas yang mengenai kulit leher gue.
Dan yang membuat gue membuka mata, adalah saat bagian bawah gue merasakan sesuatu yang mengeras juga besar yang digesekkan secara perlahan yang disambut dengan suara Bang Jer yang berkata.
"Hosh...Abangh, lagi pengen. Main, yukh." ucapnya, dengan suara tertahan yang membuat gue terjaga seutuhnya.
• • •
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in Law [END]
Ficción GeneralKetika sebuah kebetulan menjadi kebiasaan hingga akhirnya membuat sesuatu yang awalnya biasa saja, menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dihindarkan. • • • R21+