"Eh?"
Celine tersentak ketika melihat Gamaliel yang berada di bangku tempatnya janjian dengan Melati. Lelaki berkaos oblong putih itu hanya tersenyum tipis ketika gadis yang menutup rupa dengan topi merah muda itu datang. Sambutan yang benar-benar berhasil memberikan suasana canggung antara mereka.
"Sebenarnya, gue yang minta lo ke sini." Jawaban Gamaliel sukses membuat Celine kembali tersentak hingga mempertanyakan Melati yang bisa-bisanya memberi izin. "Ada yang pengen gue omongin." Lelaki itu menghela napas. "Tapi sebelumnya, tolong duduk. Gue ngerasa aneh ngobrol sama orang berdiri."
Teguran itu membuat gadis itu tersentak dan segera duduk. Diselimuti rasa bersalah, dia hanya menundukkan pandangan. Namun, tak lama segera mendongakkan pandangan karena merasa perbuatan spontannya kurang sopan. Apalagi sepertinya topik yang ingin dibicarakan Gamaliel penting. Jika tak penting, tak mungkin kakak tingkat beda jurusan itu mengajaknya ke sana. Akan tetapi, dia sama sekali tak tahu, hal penting seperti apakah yang akan dibicarakannya. Terlebih, sedari tadi, lelaki di hadapannya malah hanya diam, membuat suasana semakin canggung bercampur tegang.
"Mau pesen makan dulu?"
Tawarannya membuat Celine hanya mengangguk dan langsung memesan empek-empek dan minuman yang biasa dinikmatinya bersama Melati. Sedangkan Gamaliel hanya memesan tekwan dan mengambil teh botol yang tersedia di kulkas. Letak kulkasnya sendiri berada tepat di dekat kasir—sengaja menyingkir sejenak untuk mencairkan rasa canggung—lalu kembali ke tempat duduk. Sayangnya hal itu tak terlalu membantu untuk mencairkan kecanggungan. Akhirnya pun justru kecanggungan itu baru bisa pudar saat pesanan sampai. Makanan memang pengalih perhatian terbaik.
"Celine, apa kita pernah ketemu?" Gamaliel memandang lurus pada gadis itu. Tepat pada kedua bola matanya yang membulat sempurna. Dia jelas tak menyembunyikan bahwa pertanyaan itu terdengar seperti déjà vu untuknya. "Maksud gue, sebelum waktu itu. Apa lo ngerasa kita pernah ketemu sebelumnya?"
Celine menggigit bibir bawahnya. Keraguan untuk menjawab menyelimuti hati. Namun, dia juga merasa bahwa tak ada gunanya untuk menyanggah, karena perasaan itu juga telah lama dirasakannya. Terlebih, mereka juga baru saja mengobrol dalam mimpi—itu pun jika sosok yang berada dalam mimpinya benar-benar Gamaliel. "Mungkin, kita memang pernah bertemu, Kak." Gadis itu menghela napas, mencoba menenangkan hatinya yang bergetar tak karuan untuk memberi sebuah tanya setelah mendengar pertanyaan Gamaliel. "Lalu ... apa itu berarti Kakak melihat mimpi yang sama?"
Lelaki itu tersenyum simpul. "Entahlah. Tapi, kita pernah ngobrol di bawah pohon flamboyan ungu, kan? Juga, gue waktu itu bilang bahwa semua mimpi itu berhubungan dengan kita. Entah apa alasannya."
Celine menundukkan kepala. Sebenarnya dia juga ingin mengaku bahwa mimpi itu memang seolah berhubungan dengan mereka berdua. Dua insan yang tak saling mengenal dan juga tak ada alasan untuk mempertemukannya. Menghubungkan dalam mimpi yang tak pernah dijelaskan mengapa harus mereka lihat.
"Jadi, apa lo mau mencari tahu lebih banyak tentang penghubung kita?"
Senyuman terukir di wajahnya. Bukan sebuah senyuman simpul, tetapi sebuah senyuman hangat dengan kedua mata yang sedikit menyipit. Ekspresi yang tak disangka akan ditunjukan di depan Celine, yang hanya sesosok gadis asing dengan hubungan yang tidak jelas maksud dan tujuannya.
Gadis itu hanya bisa terdiam sembari memandang lelaki yang tampak tak main-main dengan ucapannya. Membalas senyuman kecilnya, dia pun hanya dapat tersenyum.
"Mari, kita coba cari tahu bersama, Kak Gamaliel."
Kedua pasang mata itu saling memandang dengan satu arah tujuan yang sama. Dengan kata hati yang sama. Mencari tahu jawaban sebenarnya, antara hubungan mereka berdua yang awalnya disanggah keberadaannya.
Hubungan yang sebenarnya memang seharusnya telah mereka sadari dari awal.
Hubungan yang berasal dari satu sumber.
Pohon flamboyan.
><
Angin kencang meniup kelopak-kelopak bunga dan daun flamboyan, menyebabkan beberapa kelopak jatuh di bawah rindangnya pohon. Bahkan ada pula beberapa yang tertiup lebih kencang sehingga melewati wajah sosok gadis yang berdiri di bawah rindangnya pohon. Gadis berponi samping yang awalnya memandang bunga-bunga yang bertengger di atas pohon pun segera mengalihkan perhatian. Memandang arah angin bertiup, menerbangkan kelopak-kelopak bunga yang bertengger dan jatuh. Pergi entah ke mana.
Namun, ke mana pun dia pergi, gadis itu tak akan lagi mengikutinya. Dia bukan lagi bagian dari bunga yang memikat pandangan mata. Namun, orang lain.
Sosok flamboyan baru, yang diharapnya akan terus memikat pandangan mata seseorang. Untuk selamanya, menggantikan bunga layu yang tak pernah dikeluarkan dari pot bunganya dan terus terpelihara dengan harapan akan kembali mekar.
Dia.
Jumkat : 690
Published : 5 Maret 2022Catatan penulis
Kenapa sudah berakhir? Karena memang sudah tidak ada lagi yang (menurut pendapat pribadiku) harus digali dalam cerita ini. Sejujurnya, setelah bab 46 pun, aku sudah merasa bahwa cerita ini cukup sampai di sini saja.Kenapa ending-nya gantung? Karena aku memang suka bikin ending gantung. Maaf karena membuat kesal. Namun, terpaksa berhenti di sini karena memang hanya itu yang bisa diceritakan.
Sekian, terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
Fanfiction[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...