Mengharapkan langit cerah di sebuah negeri hujan memanglah hanya ada dalam sebuah angan. Andai satu hari terdapat keajaiban, mungkin ia akan memasang wajah cerahnya. Mungkin ia juga akan memberi cahaya terang bagi wajah-wajah mendung yang ditemuinya. Sayangnya kehidupannya juga tak kalah kelam dari mereka. Dikatakan masih beruntung pun ia ragu. Mana ada kehilangan keluarga dengan cara mengenaskan bisa disebut masih beruntung. Beruntung karena dirinya masih hidup?Andai bisa, ia lebih memilih pergi bersama dengan keluarganya, daripada hidup tanpa mereka. Meski masih ada sanak saudara yang menyayangi sepenuh hati, tetap saja terasa berbeda. Namun bisik-bisikkan itu terus mengganggu. Bisikan tentang bagaimana beruntungnya dia mendapat perhatian berbeda dari Wali Kota, sedangkan mereka tidak tahu jika karena Wali Kota itulah ia kehilangan keluarga.
Mereka juga tidak tahu jika dirinya juga masih berkerabat dengan sang Wali Kota.
"Bukankah itu si berlian Wali Kota? Jangan-jangan Wali Kota menginginkan dia menjadi ibu bagi anak-anaknya."
Tanpa mengindahkan gunjingan para omega elitーjulukan untuk omega ibu penggantiーkaki bersepatu bot itu melangkah keluar meninggalkan area apartemen mewah berlantai lima yang dikunjunginya. Terhitung hampir satu tahun ia tinggal di Ame. Tiga bulan lalu ia diperkerjakan oleh sang paman untuk memeriksa keadaan para omega hamil. Entah untuk tujuan apa sang paman memerintahkannya seperti itu. Apakah suatu saat pamannya juga akan menjualnya, sehingga ia harus belajar menhadapi suatu keadaan di mana dia menjadi seorang ibu?
Mendongak menatap langit yang tiada henti-hentinya menciptakan warna mendung, remaja dengan pipi bergarisnya membiarkan wajahnya terkena tetesan kecil air dari langit. Membuka tudung jas hujan yang dipakainya, mata biru secerah awannya ia biarkan bersembunyi di balik kelopak mata, meresapi dinginnya air. Rasa dingin itu rasanya sangat familiar di hatinya. Semenjak kehilangan kedua orangtuanya, tak sekalipun ia memandang sang paman dengan pandangan sehangat mentari pagi lagi.
Menerima kenyataan itu sangatlah sulit. Ia pikir ia hanya diculik, nyatanya pamannya membunuh kedua orangtuanya dengan alasan keterpaksaan. Lebih baik pamannya kehilangan kakaknya daripada keturunannya yang suatu saat akan meneruskan garis keturunan. Menghilangkan nyawa seseorang dengan alasan apa pun tidak bisa ia terima. "Uchiha."
"Sebaiknya kau tidak berurusan dengan mereka."
Naruto membuka mata perlahan saat air hujan tidak lagi membasahi wajahnya. Menoleh ke samping, ia mendapati pemuda berambut kuning memegang sebuah payung. "Dei-Chan, apa yang kau lakukan?"
"Ck! Jangan memanggilku dengan embel-embel 'Chan', aku tidak suka."
"Tapi kau memang manis."
Pemuda bernama Deidara mendengkus. Tangannya meraih tangan Naruto, menggenggamnya, kemudian menariknya agar remaja itu mengikuti langkahnya. Ia ditugaskan untuk menjemput Naruto.
"Ngomong-ngomong … untuk apa kau datang?"
"Pamanmu menanyakan keberadaanmu sambil menatapku dengan mata penuh kobaran api."
"Apakah Uchiha begitu menakutkan?" Suara helaan napas terdengar dari samping Naruto.
"Lebih dari yang kau bayangkan. Jika menurutmu pamanmu itu kejam, maka Uchiha lebih kejam lagi karena turun temurun mereka mewarisi adat ini. Berbeda dengan pemimpin perfektur lain yang pasti mengalami pergantian marga dalam kepemimpinannya. Jadi bisa dikatakan Uchiha sudah terbiasa hidup bersembunyi dibalik topeng penuh kewibawaan. Orang-orang biasa tidak akan bisa melihat apa yang ada dibalik topeng tersebut."
"Memangnya apa yang salah dengan omega? Bukankah mereka juga manusia?"
"Jangan mempertanyakan sesuatu yang membuat otakku berpikir keras. Aku tidak sepandai itu. Kau masih muda, carilah jawabannya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied to the Past
FanfictionNaruto disclaimer by Masashi Kishimoto. *** Naruto menikmati hidup damainya bersama kakak serta adiknya selama bertahun-tahun. Namun kedamaian itu perlahan terusik sejak pertemuannya dengan Sasuke. Sebuah kenyataan pahit mulai terkuak perlahan. Pert...