Bab 3 : Di persimpangan

11 0 0
                                    

Aku tak tahu harus pergi ke mana, membawa koper yang sangat berat menghambatku untuk berjalanan dengan cepat. Sedikit menyesal kenapa aku membawa baju sebanyak ini. Berapa lama aku akan pergi dan sampai kapan aku akan kembali. Aku masih duduk di atas bangku pinggir jalan raya, di mana taksi online menurunkan diriku. Aku pun tak tahu arah dan tujuanku. Panas, terik matahari menusuk ubun-ubunku.

Setahuku aku hanya ingin pergi dan meninggalkan apa yang membuatku kalut. Aku tak ingin stay dengan pertengkaran. Mungkin dengan aku pergi akan sedikit menambah pengalaman atau menenangkan pikiranku. Selama pernikahan kami tidak pernah terjadi hal seperti ini. Aku pun bingung bagaimana menyelesaikannya. Karena bagiku penghianatan dalam bercinta tidak boleh diampuni. Yaa.. Itu prinsip hidupku. Tapi masalahnya apakah itu berlaku untuk pernikahan kami yang sudah begitu lama, atau masihkah berlaku untukku yang sudah tidak muda lagi.

Sesekali kubuka ponsel, menyalakannya dan menggeser layar sentuh, mencari - cari nama yang bisa kusinggahi. Ku mencari nama dari abjad a hingga z. Berpikir apa aku lebih baik menemui salah satu temanku saja lalu menginap di rumahnya. Jangan jangan jangan.

Arrggghh.. Tentunya kabar ini akan mudah menyebar jika aku menemui seseorang yang kukenal. Tahu sendiri gosip tentang perselisihan rumah tangga lebih asik dikonsumsi. Bagaimanapun aku tetap akan menjaga nama baik suami dan keluargaku. Tapi.. Kemana harus ku pergi.

Tak sengaja ku melihat neberapa orang menaiki becak, mereka sama sepertiku membawa barang bawaan yang banyak sekali. Aku tertarik untuk mengikuti mereka. Mereka turun dari becak, memberikan selembar uang kepada pengayuh becak lalu berjalanan mengangkat barang bawaan mereka. Pembawaan mereka cukup ramah. Terlihat dari cara mereka memberikan uang kepada pengayuh becak, sopan dan murah senyum.

Ku kenakan kaca mata hitamku, kuatur jarak dengan mereka agar mereka tidak menyadari bahwa aku sedang mengikuti mereka. Mereka pelan, aku ikut memelankan kakiku. Mereka berlari, aku juga mempercepat langkahku walau berat sekali aku menarik koper yang kubawa. Sungguh menyusahkan.

Stasiun kereta api.

Tak kusadari aku memasuki kawasan stasiun kereta api. Sungguh ini sudah seperti game yang setiap langkahku pun aku tak mengerti arah dan tujuan. Jiwaku seperti kembali muda lagi. Adrenalin kembali datang dengan degup jantung yang tak beraturan. Aku sendiri tak tahu kemana aku akan pergi. Tempat mana yang akan ku singgahi.

Perasaan kalut, rombongan orang - orang yang kuikuti tadi sudah membeli tiket. Namun aku masih maju mundur untuk menuju ke loket. Ku berpikir berulang-ulang tentang apa yang akan kuputuskan. Apa langkahku ini benar? Kuhela napas panjang. Ku beranikan langkah kakiku mendekat ke loket.

"Selamat sore kak! "

Seorang petugas loket menyapaku. Aku melihat beberapa arah kereta api sore ini. Beberapa tujuan kota kubaca keberangkatannya. Dari atas daftar kota hingga bawah. Lalu kubaca ulang sambil mengeluarkan suara pelan.

"Semarang"

Jawabku lantang sambil menunjuk ke arah tulisan kota tersebut. Entah kata itu seketika datang dan kuucap kepada petugas loket. Kuberikan Kartu Identitas dan mulai diproses. Mataku melihat ke penjuru stasiun, hati kecilku berharap mas Andrean datang dan mencegahku untuk pergi. Tapi nyatanya tidak.

Kepalaku menduduk, melihat ponsel layar sentuhku yang bahkan tidak ada panggilan dari mas Andrean. Aku sangat berharap ia datang lalu mengajakku untuk pulang. Aku sebetulnya tidak yakin dengan kepergian ini. Sedikit menyesal drama ini harus terjadi.

Apa dia tidak mencariku? Apa dia tidak mengkwatirkanku? Apa kepergianku kesempatan baginya untuk dekat dengan Rita. Entahlah. Aku berkali - kali membuka ponselku bahkan ia sama sekali tak mengirim pesan untuk menanyakan keberadaanku.

"Satu tiket ke Semarang yaa bu, silahkan! "

Satu lembar tiket kuterima. Kuambil kembali kartu Identitas dan ku masukkan ke dalam dompet. Aku melangkah masuk ke ruang tunggu. Ada waktu lima belas menit sebelum kereta datang untuk mempersiapkan diri.

Mataku melihat ke hampir semua sudut berharap ada kamar mandi bersih yang bisa kupakai mencuci muka. Wajahku sudah lengket dengan keringat. Badanku sudah bau sedari pagi sudah ku meninggalkan rumah dan tak menyentuh air sama sekali.

"Kamar mandi sebelah mana ya pak? " Tanyaku pada petugas kebersihan.

Ia memberikan petunjuk dan aku menuju ke kamar mandi. Ku masuk dan meletakkan koperku. Ku basuh muka dengan air yang terasa segar sekali. Ku melihat wajahku, wajah yang sudah tidak muda lagi. Jika dibandingkan dengan Rita mungkin jauh lebih cantik dia. Ditambah dia lebih muda dariku.

Kupandang lagi wajahku, rasanya ingin kupecahkan kaca yang kutatap. Astaghfirullah... Sebenci ini aku dengan situasi yang sangat menyakitiku. Rasanya sakit sekali hatiku.

Bunyi tanda kereta menuju Semarang datang, aku bergegas untuk merapikan baju dan rambutku. Ku tarik koper yang sangat berat sangat melelahkan membawanya.

Kereta perlahan berhenti namun kami penumpang masih belum boleh masuk ke arean pintu masuk. Kami masih menunggu petugas membuka pintu area kereta api. Kakiku semakin berat Ya Allah benar tidak ya apa yang aku lakukan ini. Namun jika mengingat kejadian, bahkan ponselku yang tidak satupun orang mencariku oke fix I wanna to go.

Aku masuk ke dalam kereta, satu persatu orang masuk dengan mudahnya namun aku masih kesusahan mengangkat koper. Orang - orang sudah duduk manis aku masih sibuk dengan bawaaanku. Ku melihat seorang bersama laki-laki. Ia mengangkat barang bawaan seorang perempuan ke atas tempat barang. Aku menunduk melihat kondisiku. Menatap koper itu dalam-dalam. Kasihan sekali diriku.

"Saya bantu ya bu"

Seorang petugas kereta api berseragam datang padaku, entah apa tugasnya ia menawarkan untuk membantu menaruh koperku ke atas. Aku yang sedikit melamun rerpecah oleh suaranya.

"Oh iya, Terima kasih! "

Akhirnya aku bisa duduk di bangku yang sesuai dengan tiket yang kudapat. Aku duduk tepat di samping jendela kaca. Menikmati kereta api yang mulai berjalan yang awalnya pelan lalu kecepatannya semakin tinggi.

Kenapa yaa melihat pemandangan hijau membuatku lebih banyak untuk membayangkan banyak hal. Kebetulan di sampingku juga seorang kakek-kakek aku berencana untuk mengajaknya ngobrol. Tapi ku urungkan, mungkin lebih baik kakek itu perlu beristirahat dari pada sekedar ngobrol bersamaku.

Lagi, kupandang dompet yang masih kupegang sedari tadi. Dompet ini kubeli bersama mas Andrean. Aku memintanya untuk memilihkan karena saat itu banyak pilihan yang membuatku bingung. Aku sedikit tersenyum jika mengingatnya, apalagi ada kenangan uang yang aku punya tidak cukup untuk membelinya. Sementara mas Andrean yang belum gajian saat itu berencana mengajakku makan malam. Karena uang mas Andrean digunakan membelikan dompet ini, akhirnya kami tidak jadi makan malam. Momen itu, momen saat awal - awal pernikahan kami. Belum ada Adinda, atau saat itu Adinda masih dalam kandungan.

Aku menatap ke langit begitu indah pemandangan di luar sana. Aku disuguhkan pemandangan hijau sawah-sawah. Air sungai yang mengalir. Sayangnya pemandangan yang indah sedikit saja mengobati hatiku yang sedang berkecamuk.

Aku hanya berpikir setelah kereta ini berhenti tempat mana yang akan aku tuju. Siapa yang akan kuhubungi. Mungkin sekarang aku bisa mengandalkan taksi online bermodalkan ponsel tapi ada rasa takut jika aku sudah sampai di sana. Amankah aku di sana. Tidak ada orang jahat di sana. Mataku berkaca-kaca membayangkan apa yang akan terjadi.

Bismillah...

Benar, sebetulnya Semarang adalah kota yang ingin aku singgahi. Namun dulu ketika aku masih bujang. Lama sekali ingin aku ke sana menginjakkan kaki ke masjid agung Semarang yang katanya indah itu. Semenjak menikah belum pernah aku kesana.

Lamunanku seketika pecah ketika petugas kereta api datang meminta tiket untuk dicek. Pengecekan tiket dan memberi tanda bahwa aku penumpang legal. Ternyata ia sudah berkali - kali meminta tiket padaku tapi aku tak sadarkan diri. Sehingga kakek -kakek di sampingku menepuk bahuku.

"Maaf maaf"

Lalu kuberikan selembar tiket itu. Ku lemparkan senyum dan permintaan maafku.

....
*mohon vote dan komen ya, supaya saya makin semangat dalam berkarya*

Bunda, Jangan BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang