Part 1

81 6 1
                                    

Malam itu aku melihatnya duduk di kursi bar, yang benar saja? Gadis baik-baik seperti dia, ada di club malam seperti ini? Aku rasa aku belum mabuk, aku baru saja minum seteguk alkohol, dan aku yakin penglihatanku tidaklah salah. Dengan pakaian casualnya, kemeja panjang dan rok selutut, serta flatshoes hitam yang tampak anggun meski dia cenderung terlihat tomboy.

Ria Calista, gadis ceria yang dikenal orang-orang perumahan ciloka sebagai anak yang ramah, namun cuek bagi para laki-laki seumuranku. Aneh? Ya dia memang aneh, jika anak laki-laki tidak menegurnya lebih dulu, kami seperti tak terlihat di mata lentiknya. Namun, jika anak-anak dan orang tua yang ada dalam pandangannya senyumnya akan merkah sehangat mentari pagi.

Dia gadis yang unik menurutku, semua laki-laki yang menembaknya akan dia terima, namun dia tidak akan tega memutuskan seseorang bila alasannya bukan karena selingkuh. Hampir semua teman sebayaku pernah menjadi mantannya. Bukan. Bukan karena dia gadis yang nakal, mereka bahkan berpacaran hanya lewat chat, kecuali bila di perumahan kami ada acara-acara perayaan dia akan terlihat sedikit akrab dengan pacarnya saat itu. Namun ya itu, hampir semua laki-laki berpacaran dengannya untuk bertaruh, apakah Ria akan menerima mereka semua atau tidak. Dan teryata mereka semua diterima, meski di saat yang tidak bersamaan. Intinya Ria akan menerima laki-laki yang menembaknya, namun saat statusnya jomblo, alias single. Dan sampai saat ini, aku pun masih tidak mengetahui apa yang ada di pikiran gadis aneh sepertinya.

Sedikit informasi saja, aku juga pernah berpacaran dengannya, karena waktu itu pacarnya baru saja kepergok selingkuh, dan aku menjadikannya percobaan sebelum menembak Carmila, sahabat yang sekarang menjadi mantan pacarku.

Setengah jam berlalu, minuman dan rokokku sudah tak kusentuh sejak tadi, obrolan teman-temanku juga tak masuk di telinga maupun otakku. Aku masih terpaku dengan gadis yang sama, gadis yang hanya meminum air dingin, di bar yang dipenuhi bau alkohol.

"Woi Jun, kamu memang gak pernah asik ya kalo di bawa ke klub, senangnya nongkrong aja di warung ibunya Cumi" kata Felix dengan sarkas namun setengah bercanda.

"iya nih mamakku sampe cariin kamu kalo kamu gak mampir"

Aku tersentak, dan membalas candaan mereka "Abisnya kalo di warung ibunya cumi kan jajan 10ribu aja aku udah kenyang, di sini bawa duit 50ribu cuma dapet minum, kan kurang hehehe" "Sudah lah aku pulang duluan ya, kalo mau mabar kalian duluan, nanti aku gabung kalo gak mager"

"Yahh, balikan. Masih juga jam 11" kata Bubu agak dibuat-buat.

"Bye".... Setelah mereka tidak lagi memperhatikanku aku duduk tepat di sebelahnya. Masih seperti yang kukatakan, dia tak akan menoleh jika ada laki-laki yang dekat dengan pandangannya. Seperti sesosok laki-laki di sebelah kirinya yang sejak tadi melantur entah membicarakan apa, dia bahkan enggan untuk menengok.

"Kenapa akhir-akhir ini aku sering liat kamu keluar malam ya, biasanya cuma nongkrong di warung makan, sekarang udah berani ke klub malam ternyata" aku buka suara untuk melihat reaksinya, dan yang benar saja dia amat sangat terkejut. Mata lentiknya itu terbelalak, dan dia cepat-cepat meninggalkan uang dimeja bar, lalu menarik lengan kiriku. Sungguh? Responnya terlalu lucu dan menggemaskan untukku.

"Kamu? Kenapa bisa ada di sini?" tanyanya masih dengan menggenggam lengan kiriku, dia membawaku sampai diparkiran bar.

"Kamu sendiri, kenapa bisa sampai sini?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Ria. Karena kalau dipikir-pikir jarak dari perumahan kami ke Club ini 20 menitan, gak mungkinkan kalo dia jalan kaki ke sini, kalo cuma nongkrong-nongkrong di warung makan pinggir jalan sih wajar. Tapi kalo ke sini tanpa menemui orang lain sepertinya aneh.

"Ya naik taksi lah, malem-malem gini masih banyak kali taksi online maupun bukan yang nerima penumpang, ojek juga masih banyak, emang kamu pikir aku jin apa yang bisa ngilang gitu aja"

Respon yang baik, meski kita sudah hampir setahun tidak bertukar kabar. Rumah kami memang dekat, hanya berbeda blok saja, tapi meski sudah jadi mantan kami memang tidak pernah bertengkar hebat. Kadang-kadang masih nyanyi-nyanyian di warung ibunya cumi kalau dia kelaperan malam-malam.

"Wow wow wow, santai mbak selow, aku nanya santai, gak perlu pake ngegas"

"Iya-iya, btw kamu ke sini sama siapa? Siapa lagi yang liat aku ada di sini?"

"Biasalah sama Cumi, Felix dkk. Kayaknya gak ada yang merasakan kehadiran kamu sih selain aku, sama halnya kamu yang gak perduliin sekitar kalo gak ditegur duluan"

"Huft, yaudah kalo gitu, buru anterin aku pulang, tapi turunin aku 10 meter sebelum pos satpam ya, aku males ditanyain sama pak Sapto kalo pulangnya bareng kamu"

"Lah, kok jadi minta anter? Kan kamu bilang masih ada taksi atau ojek yang......"

"Berisik deh, kamu kan nyamperin aku karena mau nyuruh aku pulang kan, yaudah sih sekalian, toh kamu juga pasti bawa motor."

Omonganku yang tadi dipotong gitu aja, terus sekarang minta anterin kek sama abang sendiri, dahal dia cewe cuek kan ya? Haduhh, ya gak salah sih dia minta anter aku, toh aku juga emang mau pulang.

Akhirnya kami pulang menaiki motor beat kesayanganku, diperjalanan Ria yang ceria terus saja memberiku pertanyaan tentang statusku sekarang. Dan akhirnya aku menceritakan semua kegelisahanku tentang percintaan yang biasanya hanya aku utaran kepada Carmila saja.

Ya aku dan mantan kekasihku Carmila tetap menjalin hubungan sebagai sahabat, kata Carmila dia lebih nyaman denganku sebagai sahabat. Akhirnya dia memiliki kekasih, dan aku juga sama. Mantanku yang terakhir bernama Citra, dalam hubungan kami yang toxic dia terlalu mengganggu untukku, jadi aku lebih memilih sendiri saja. Namun ternyata meski hubungan kami sudah usai, aku harus tetap membalas semua pesannya 24/7,  yang tentu saja semakin lama membuatku semakin risih.

Saat aku menceritakannya, Ria tertawa lembut di telingaku, sambil menghentikan tawanya dia berkata.

"Tumben banget kamu mau cerita panjang lebar gitu, biasanya juga paling males nanggepin omongan aku di warung ibunya cumi" "dah dah stop, berenti di sini aja, mau kamu duluan atau aku nih yang masuk perumahan"

"Kamu duluan aja, aku tunggu di sini dulu sampe kamu masuk blok rumahmu"

"Oke siap. Thanks ya Jun"

Aku terlalu hanyut dalam kisahku, hingga tak sadar sudah mendekati perumahan kami. Aku masih mengamati Ria dari jauh, dan hal yang buatku kembali gemas akan tingkahnya terjadi lagi, dengan badannya yang kecil apalagi pakaiannya yang di dominasi warna hitam, dia melewati pos satpam dengan berjongkok. Mengendap sangat perlahan hingga tidak ketahuan pak Sapto yang tengah menonton pertandingan bola. Dengan setengah berlari dia masih memastikan bahwa pak Sapto tidak memperhatikannya.

Setelah itu aku memacu sepeda motorku, dan membunyikan klakson untuk memberitahu pak Sapto bahwa aku ingin masuk, dia segera membuka plangnya untukku. Sampai di blok perumahanku aku masih terus tersenyum mengingat kejadian tadi.

Ria Calista dengan segudang keanehannya.





_TBC_

03-03-2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah untuk RINDROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang