15 - Ulang Tahun Yuna

120 22 2
                                    

Maap akhir-akhir ini update nya jarang.
Beberapa hari terakhir saya sakit, suami sakit, anak juga ikut sakit.
Jadilah saya nggak sempet buka hp.
Kalian tetep jaga kesehatan ya. 😉

*

La Vanya Beach Cafe sore itu sudah tampak semarak. Lampu gantung yang terpasang di sekeliling tempat makan itu sudah dinyalakan berikut dengan musik ceria khas anak-anak yang mengalun sayup-sayup dari pengeras suara yang dipasang di beberapa sudut tempat makan bertema pantai itu. Beberapa tamu undangan sudah datang dan duduk di bean bag warna-warni yang terhampar di atas pasir pantai sambil bercengkerama atau berfoto bersama.

"Ultah anak SD aja kayak begini, Nis. Kita yang mau seperempat abad kok nggak pernah ngerayain ultah segininya," bisik Hanny.

"Dih, itu sih kamu aja yang nggak pernah. Aku pernah kok ngerayain ultah yang keren kayak gini," elakku.

Hanny mengerutkan glabelanya. "Kapan?"

"Nah, kan, kamu nggak tahu. Aku juga nggak tahu, Han, karena masih belum kesampaian," balasku sambil nyengir dan berakibat ditoyor oleh Hanny.

"Yang dateng crazy rich Pekalongan semua nih?" bisik Hanny lagi sembari ikut bersamaku menyusuri bagian belakang kafe yang langsung menghadap ke laut dan mencari meja yang masih kosong.

Aku mengedik.

Aku hanya memenuhi undangan dari Yuna yang memintaku untuk datang ke acara ulang tahunnya tempo hari secara langsung jadi tentu saja aku agak sungkan untuk menolaknya meski sebetulnya aku merasa tidak nyaman kalau harus berada di sana mengingat kedua orang tua Ryu sebagai kakek-nenek Yuna juga pasti akan hadir di sana sebagai tuan rumah. Ryu sama sekali belum pernah memperkenalkan aku pada kedua orang tuanya dan aku memang tidak memintanya untuk melakukan itu segera. Jadi alih-alih khawatir akan bertemu dengan para crazy rich di kotaku, aku justru khawatir bagaimana harus bersikap di depan orang tua Ryu karena aku belum siap untuk itu.

"Cie, nanti kamu ketemu sama camer dong, Nis," goda Hanny sambil berbisik.

Hanny tentu saja tahu bahwa aku telah berpacaran dengan Ryu karena dialah tempat segala keluh kesahku selama ini. Karena alasan ini pulalah aku mengajaknya untuk memenuhi undangan ulang tahun Yuna karena Ryu tidak bisa menjemputku selagi harus menjadi tuan rumah.

"Apaan sih, Han? Nggak usah sebut-sebut masalah ketemu camer deh. Aku malah jadi grogi tauk gara-gara diingetin!" sergahku. "Dan, please, jangan sebut camer di sini," imbuhku dengan nada setengah memperingatkan. 

"Cielah, grogi. Biasanya juga kamu nggak tahu malu," cibir Hanny.

"Ini beda kondisi, Han. Masa kalau di depan ortunya Ryu aku mau jumpalitan? Aku, kan, kudu jaga imej," tepisku.

"Iya, iya jaga imej. Eh, duduk sini aja ya." Hanny menunjuk sebuah meja yang paling jauh dari laut dan paling pojok, persis di belakang bangunan kafe indoor, sehingga membuatnya sedikit tersembunyi. Aku setuju saja. Toh, aku juga tidak mau terlalu membaur dengan tamu-tamu undangan keluarga Yuna yang sudah pasti beda kasta dengan kami. Selain itu, sepertinya meja di sebelah sana lebih aman dari terpaan angin laut yang kencang di bulan Oktober. Aku tidak begitu suka dengan angin kencang karena mudah masuk angin. Aku bahkan melapisi gaunku dengan kardigan panjang seperti mantel yang berbahan rajutan tebal (dan aku bersumpah tidak akan melepasnya selama masih di tempat itu) dan tidak peduli meski akan terlihat seperti nenek-nenek atau bahkan dikatai tidak matching atau apalah. Persetan olok-olok seperti nenek-nenek dan tidak matching. Aku lebih mementingkan kondisi kesehatanku daripada sekadar urusan fesyen. 

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang