16 - Jamuan Makan

116 21 0
                                    

Aku merasa sedang berada di dunia lain begitu Brio merah Ryu melewati pagar tinggi dengan hiasan naga emas dan bunga teratai kemudian memasuki halaman rumah yang luas dan dipenuhi pepohonan rindang yang ada di baliknya. Bangunan dua tingkat yang megah terpampang di belakangnya. Aku meneguk ludah, berharap penampilanku tidak memalukan untuk memasuki rumah itu dan bertemu dengan pemiliknya.

"Ayo!" seru Ryu yang sudah berada di luar mobil sementara aku masih melongo mengagumi betapa bagusnya tempat ini.

"I-iya." Aku buru-buru keluar dari mobil Ryu dan membetulkan gaunku yang sedikit kusut bekas duduk.

"Sudah siap?" tanya Ryu begitu aku sudah berdiri di sebelahnya.

Aku meneguk ludah. "I don't think I'll be ready for this¹," jawabku sembari mengembuskan napas berat.

Benar. Setelah pertemuanku dengan kedua orang tua Ryu di pesta ulang tahun Yuna tempo hari, mereka mengundangku ke kediaman mereka untuk makan malam di hari Sabtu. Namun, aku tidak menyangka kalau tempat yang seperti surga inilah yang mereka sebut rumah. Rumah orang tua Ryu benar-benar seperti rumah orang kaya yang biasa dipakai untuk syuting sinetron.

Ryu tersenyum. "Kenapa mesti nggak siap? Bukannya orang tuaku yang undang kamu kemari setelah perkenalan kita pas ultah Yuna tempo hari? Iya, kan?"

Aku tahu Ryu berusaha memberi semangat tapi itu tidak berguna sama sekali saat ini. Semakin dekat langkahku menuju pintu masuk kediaman keluarga Ryu, semakin kuat keinginanku untuk pergi segera saat itu juga. Semakin dekat aku menuju pintu masuknya, semakin aku menyadari perbedaan kasta kami berdua.

"Everything's gonna be okay²." Ryu menepuk bahuku pelan.

Aku tersenyum sumir. Ryu tidak tahu saja bahwa ini pertama kalinya aku punya pacar jadi otomatis ini juga pertama kalinya aku dikenalkan ke orang tua pacarku dan aku belum siap. Oh, ralat. Aku tidak siap. Tidak akan pernah. Bertemu orang tua pacar itu sama mengerikannya dengan bertemu dosen penguji skripsi yang killer

"Oh, Ganis udah datang ya?"

Ternyata mama dan papa Ryu sudah ada di teras rumah. Sepertinya mereka tengah asyik bercengkrama sambil menikmati pemandangan sore hari ditemani secangkir teh hangat. Tante Delia, mama Ryu, melangkah mendekat padaku lalu memelukku dan menempelkan pipinya ke pipi kiri kananku sedangkan Om Kurnia, papa Ryu, tetap duduk santai di kursi kayu Jepara sambil berkonsentrasi pada bidak catur di depannya.

"Pa, Ganis udah dateng lho masa nggak disambut?" beritahu Tante Delia pada sang suami.

"Siapa?" tanya Om Kurnia dengan tatapan yang masih terpaku pada papan caturnya sampai-sampai Om Kurnia memelorotkan kacamatanya saking seriusnya.

"Ganis, Pa. Calon mantu," tegas Tante Delia.

Aku menggigit bibir untuk menahan diri agar tidak tertawa kegirangan ketika mama Ryu mengucapkan hal itu.

Calon mantu.

Aku sudah dianggap calon menantu oleh orang tua Ryu. Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?

Ryu berdeham untuk menarik perhatianku kemudian dia membentuk kata 'cie-calon-mantu' dengan mulutnya yang tanpa suara ketika aku menoleh ke arahnya. Aku melotot ke arahnya dan dia terkekeh tanpa suara pula.

"Hah?" Om Kurnia menoleh ke arah kami berdiri dan barulah dia sadar bahwa rumahnya kedatangan tamu. "Oh, Ganis. Ya ampun, Om kira siapa. Sehat?"

Aku mendekat dan mencium tangan Om Kurnia. "Alhamdulillah sehat, Om. Om sendiri gimana? Main catur sendirian aja?"

"Om juga sehat tapi ini lagi pusing karena kalah main catur."

Ryu mengerutkan kening. "Main catur sendirian kok bisa kalah?" tanyanya begitu mendekat ke meja di mana papan catur yang sedang dimainkan papanya terbentang.

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang