• 14th line •

450 94 40
                                    

On playing

Beautiful Scars - Maximillian

• selamat membaca
• bila suka boleh meninggalkan jejak yaa

😊😊😊

Detik demi detik berlalu, menunggu akan selalu menjadi pengalaman yang membosankan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Detik demi detik berlalu, menunggu akan selalu menjadi pengalaman yang membosankan. Helaan napas berulang kali terdengar, bahkan tak jarang mulut menguap lebar. Sesekali Juan mencubit paha, membelalakkan mata, atau menampar pipi, mencoba menyadarkan diri karena terus oleng ke sana kemari. Lelaki itu kemudian berdiri dan berjalan menuju pedagang cilok yang berjualan di pinggir halaman gereja.

"Lho, udah selesai ibadahnya, Mas? Tumben."

Juan gelagapan saat baru sampai dan melihat-lihat jajanan di depannya. "Ah, belum, Pak. Saya bukan jemaah di sini."

"Ooh, saya pikir doanya ngebut."

"Ini es apa, Pak?" Juan tertawa kecil, lalu menunjuk wadah besar berwarna biru muda.

"Degan, Mas. Kelapa muda."

"Saya pesan satu dulu, ya. Nanti tambah tiga lagi."

"Siap!"

"Terima kasih, Pak."

Lelaki yang mengenakan kemeja putih itu menyunggingkan senyum, lalu duduk di pinggir jalan--dekat tukang sol sepatu. Ia kemudian menikmati minuman yang diwadahi plastik transparan, menggunakan sedotan berukuran sedang. Sambil memandangi teras gereja yang masih tampak sepi, ia menghabiskan esnya yang tak seberapa banyak.

"Mas-nya muslim?" tanya pedagang cilok yang juga berjualan berbagai minuman tersebut.

"Iya, Pak. Kok tau?"

"Tadi samar-samar saya denger Mas ngucap bismillah. Terus, ada perlu apa di sini? Kan lagi nggak jualan kayak saya, to?"

"Ooh, itu, nunggu seseorang di dalam, Pak," jawabnya ragu, bingung cara mendeskripsikan status Niko sebagai anak yang ia asuh.

Lelaki paruh baya bertubuh tambun itu mengusap peluh menggunakan handuk kecil di pundaknya. "Paling ini kurang sepuluh menit lagi, Mas."

"Sepertinya begitu, Pak."

Juan refleks mengalihkan pandangan pada arlojinya, padahal ia baru saja melihat jam di layar ponsel. Terlalu lelah menanti membuat otaknya sedikit eror dan mengulang kelakuannya berkali-kali. Meski begitu, Juan tetap memijat tengkuknya sendiri agar tetap sadar. Datang ke tempat ini sudah menjadi keputusannya. Tak seharusnya ia mengeluhkan hal kecil yang sebenarnya bisa dianggap tidak ada sama sekali.

Sejak kemarin, bahkan hari-hari sebelumnya, ia sudah menantikan momen pagi ini. Keadaan yang terus dipikirkan dari minggu lalu karena pernah berdiri kikuk di depan--agak ke samping--pintu gereja. Setelah kepulangan Hendra yang berujung janji untuk mengajak Niko beribadah, Juan tak harus susah payah bertengkar dengan batinnya sendiri. Hal yang perlu ia lakukan hanya satu, yaitu tetap mendampingi Niko, meski atap mereka tidaklah sama.

Walk the Line ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang